11

1330 Words
Hari semakin larut malam. Hujan pun belum reda tapi tidak sederas tadi. Seusai makan malam, Rey kembali menemani Candra di ruang tengah. Mereka minum kopi bersama sambil berbincang dengan seru. Kebetulan Rey itu memiliki wawasan yang sangat luas. Jadi, tema apapun, ia bisa mengikuti dengan baik. Belum lagi gayanya yang soft spoken dan sama sekali tidak terlihat ingin hebat di mata Candra. Lova sendiri memilih kembali naik ke atas setelah makan malam selesai. Sebenarnya makanan Mama Ayu itu enak -enak semua dan semuanya adalah makanan kesukaan Lova. Tapi, entah kenapa, Lova itu malah tidak nafsu makan. Semua makanan terasa tidak menggairahkan untuk dinikmati. Apalagi ia harus duduk di dekat Rey yang terlihat mencari kesempatan melirik Lova. Mungkin karena Lova pakai celana super pendek dan ketat serta kaos yang tipis. Pasati lelaki tua itu punya pikiran kotor. Dasar m3sum. Umpat Lova semakin kesal sendiri. Tubuh Lova sudah terlentang di atas kasur yang luas dan terasa dingin. Kasur itu belum dipakai sejak tadi, jadi terasa sanagt nyaman saat dipakai. Pikirannay kembali melayang ke arah Rey, sang dosen yang mendadak sekali menjadi kekasih pura -puranya untuk satu bulan. Bayangkan ini baru satu hari dan masih ada dua puluh sembilan hari lagi. Sanggup tidak, Lova menjalani hal konyol ini lagi. Mana Mama Sela menyuruh Lova sering -sering main dan masak bareng. Sumpah ini sangat menyebalkan sekali. Atau memang begitu kalau sudah punya pacara sungguhan? Memang seperti ini rasanya? Suara tawa Candra dan Rey dari bawah begitu keras hingga terdengar sampai di lantai dua. Mereka bersenda gurau tanpa batasan. Lova pun bangun dari kasurnya dan melangkah keluar kamar untuk mendengar apa yang mereka bicarakan. Yang satu memang sudah tua, karena Papa Candra memang usianya sudah diatas empat puluh tahun. Dan yang satu baru mnejelang tua. Siapa lagi kalau bukan Rey, dosennya yang katanya baru sekali pacaran. Lova mengintip dari atas. Ia mengendap seperti maling yang sedang beramin petak umpet. "Ngapain kamu jingkat -jingkat disitu. Kalau mau ngobrol sama Rey langsung turun saja," titah Ayu yang tiba -tiba saja ada dibelakang Lova. Entah dari mana datangnya Mama Ayu itu. Padahal kamar orang tuanya ada dibawah. "Mama! Kenapa sih bikin jantung LOva mau copot," ucap Lova spontan dnegan keras. "Lho ... Kok malah marah sama mama? Kamu ini kenapa?" tanya Ayu bingung. "Ishhh ... Nyebelin," ucap Lova kesal. Ia akan berbalik ke kamarnya lagi dan Ayu malah tertawa keras membuat Lova menoleh ke arah Ayu. "Gak usag salah tingkah gitu. Kalau mau ikut nimbrung, tinggal ikutan aja," jelas Ayu yang hapal betul dengan sikap putri semata wayangnya itu. "Enggak. Lova cuma mau mastiin itu Pak Tua amsih diruamh atau enggak," jelas Lova kelepasan bicara tidak sopan. "Lova! Kamu itu gak sopan banget sih. Pak Rey itu dosne kamu lho. Dia sudah baik sama kamu. Mau anter kamu. Lagi pula, dia gak tua, cuma matang. Laki -laki gitu yang lagi banyak dicari di jaman ini. Kamu aja yang ngikutin tren sih. Malah suka sama tepung tapioka. Awas kamu nanti cuma dibuat ngembang. Laki -laki muda itu banyak ngomong doan tapi gak bisa buktiin apa -apa," jelas Ayu lagi. Lova memutar dua bola matanay dengan malas. Pembicaraan yang semakin tidak berfaedah sekali. Kenapa harus bahas tentang laki -laki. Apa karena Mama Ayu dan Papa Candra itu juga memiliki usia yang jauh berbeda. Papa Candra itu malah sudah hampir lima puluh tahun. Sedangkan Mama Ayu baru empat puluh tahun. "Ish ... Berarti Mama Ayu itu menikah muda dong?" Batin Lova di dalam hati. Memang selama ini, Lova tidak pernah tanya apapun tentang masa lalu Papa dan Mamanya. Lova hanay tahu, kedua orang tua mereka baik dan sangat romantis sekali. Lova beberapa kali memergoki, Papa Candra berbucin ria dengan sang Mama. Memang tidak salah juga, dan mereka tahu tempat. Lova saja yang saat itu salah waktu mendekati mereka yang sedang bermesraan. Tatapan Papa Candra kepada Mama Ayu itu sangat dalam dan penuh cinta. Terkadang Lova menginginkan pacar yang sifat dan sikapnya seperti sang Papa. Sangat baik, royal, dan bucin. Cakra? Ya, dia baik. Kelebihannya hanya baik, lembut dan ramah. Ternyata br3ngsek juga. Baru sekali pacaran langsung kena trauma buruk. "Lova ngantuk Ma. Mau tidur. Bye bye Mama. Good night," ucap Lova yang langsung masuk ke dalam kamarnya dan menjatuhkan dirinya lagi diatas kasur lalu terlelap. Kejadian yang cukup membuat Lova merasa aneh pun ditutup dengan mimpi yang sangat indah. *** Ponsel Lova berdering nyaring sekali. Suara ini bukan alarma tapi suara telepon masuk. Lova masih malah untuk membuka kedua matanya. Kepala dan pipinya masih nyaman menempel pada bantal kesayanagnnya. "Ah! Siapa sih yang telepon pagi -pagi! Nyebelin banget!" umpat Lova yang membalikkan tubuhnya dan meraba nakas disamping ranjang untuk mengambil ponslenya yang ia letakkan disana semalam. Kedua matanya masih lengket dan Lova mengangkat dering teleepon yang masik dengan jempolnya tanpa melihat siapa yang menelepon. "Iya halo. Siapa sih pagi -pagi yang telepon Lova. Ganggu aja sih! Gak tahu apa, ini masih pagi buta," ucap Lova menyerang sang penelepon dengan kata -kata umpatan karena kesal. "Lova sayang. Ini sudah jam enam pagi. Saya dibawah, kita joging keliling kompleks kamu, sekarang. Saya tunggu," ucap Rey yang begitu lembut membuat Lova langsung terperanjant dan membuka kedua matanya. Spontan Lova terduduk di kasur sambil memegang kepalanya yang seidkit pusing. "Ini Pak Rey?" tanya Lova memastikan. Ia malas melihat ke arah ponselnya. Tapi, Lova belum punya nomor Pak Rey. Dia tahu dari mana ya? Lova menatap layar untuk memastikan nama yang yang tertera di layar ponselnya. Dan benar saja, hanya nomor yang masuk dan tidak ada namanya. Rey tersenyum dari balik ponselnya. Ternyata gadis itu hapal dengan suaranya. "Benar. Saya tunggu dibawah ya?" ucap Rey lagi. "Pak! Ini weekend lho. Terus, Bapak tahu nomor saya dari mana sih?" tanya Lova sambil menggaruk -garuk kepalanya yang sama sekali tidak gatal. "Apa informasi itu penting buat kamu?" tanya Rey serius. "Pentinglah. Ini informasi sangat penting. Siapa yang berani membocorkan hal privasi Lova. Karena nomor ponsle itu privasi," jelas Lova ketus. "Papa Candra yang kasih," jawab Rey santai. "Hah! Apa?! Papa?" ucap Lova begitu kaget. Bisa -bisanya Papa ini campur urusan Lova dan Pak Rey. "Kan saya memang sudah tahu nomor kamu dari kemarin. Tetapi, nomor itu sering tidak aktif kan? Jadi saya dikasih Papa nomor kamu yang sellau aktif dan tidak boleh mati. Ini nomor keluarga kan?" ucap Rey tertawa penuh kemenangan. "Iya. Dan Pak Rey bukan anggota keluarga," ucap Lova ketus. "Tapi saya pacar kamu, dan saya sudah mengantongi restu dari Papa dan Mama kamu," jelas Rey lagi tanpa berdosa. "Pak, fokus saja sama urusan kita. Kita ini cuma satu bulan jadi pacar pura -pura. Bukan pacar sungguhan," jelas Lova kesal. "Kita lihat saja nanti. Sekarang joging, biar sehat, biar gak mageran dan biar gak kayak botol yakult," ucap Rey terkekeh. "Ehh! Bapak bilang apa?" teriak Lova keras. "Botol yakult ..." ucap Rey lagi semakin tertawa. Kata -kata itu sungguh lucu. Memang menggambarkan Lova sekali. Kecil, imut, mengemaskan dan memiliki khas tersendiri. "Nyebelin!" teriak Lova menutup ponselnya karena kesal. Lova penasaran, mana mungkin Rey sudah datang sepagi ini. Ia turun dari ranjang dan benar saja, mobil Rey sudah ada di depan rumahnya. Lelaki tua itu sangat serius. Tidak main -main. Lova membuak kaca jendela dan berdiri diatas balkon untuk melihat ke bawah. Tapi suara Rey terengar dari teras bersama sang Papa. "Wah bener -bener udah jadi bestie ini sih," batin Lova lagi. Lova masuk ke dalam dan menatap cermin. "Cermin ... Cermin ajaib. Tolong jawab pertanyaan Lova ... Siapa sih sebenarnya jodoh Lova? Jangan sampai Pak Tua itu yang jadi jodoh Lova. Ini bakal menjadi hal yang memalukan ..." Lova menatap cerimin yang sama sekali diam dan tak bersuara. Lova tahu, cerminnya bukan cermin ajaib. Tapi, ia sangat penasaran sekali. "Lova! Bangun sayang ... Rey udah dateng tuh. Katanya mau joging. Papa dan Mama sudah siap lho ... Tinggal kamu yang belum siap ..." teriak Mama Ayu dari luar kamar Lova. Lova menatap pintu kamarnya. Suara sang mama kemudian hilang begitu saja. "Apa? Mama dan Papa udah siap? Itu tandanya, Papa dan Mama ikut joging? Arghhhhhhhh ...."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD