Chapter 3

2148 Words
Pagi-pagi buta Ibran dikagetkan dengan penampakan Anta di dalam kamarnya. Cowok itu terbangun karena rasa tidak nyaman yang terus menggerayangi wajahnya akibat ada masker oksigen yang masih bertengger. Padahal, napasnya sudah baik-baik saja dan tidak butuh benda itu. Lalu saat ia membalikkan badan, ia disambut oleh Anta yang tertidur pulas dengan piyama hitam. Ibran tidak terlalu ingat apa yang terjadi semalam. Terakhir yang ada di ingatannya adalah omelan Anta yang sepanjang jalan kenangan. Ibran mengguncangkan tubuh Anta keras hingga membuat si empunya terusik. Anta berdecak lalu membalik badannya, memunggungi Ibran. Ibran tak berhenti sampai di sana dan melanjutkan aksinya dengan menendangi kaki Anta tanpa perasaan. Anta mengaduh beberapa kali sebelum membalas tendangan Ibran dengan tidak setimpal. Tidak setimpal karena Ibran sampai berguling dan jatuh dari kasur. "Eh anjir kekencengan," ujar Anta saat sadar sang keponakan malah jatuh dari kasur. Ia hendak kembali tidur, tetapi urung karena merasakan sesuatu yang aneh. Ia tidak mendengar suara sumpah serapah atau setidaknya rintihan dari Ibran yang berciuman dengan lantai. Anta langsung buru-buru turun dari kasur untuk mengecek keadaan Ibran. Matanya membola sempurna kala melihat Ibran tergeletak dengan mata tertutup. "Bran ... Bran! Nggak usah bercanda deh, gue nendang elo pake tenaga biasa masa sampe mental." Ia menepuk-nepuk pipi Ibran mencoba menyadarkan cowok itu. "Bran, enggak lucu elah. Jangan bercanda pagi-pagi gini," kata Anta sambil terus mencoba mendapatkan respon dari Ibran. Lelaki itu mendengus kemudian menggendong Ibran untuk ditaruh di atas ranjang. Cowok itu masih betah terpejam dan tak memberikan respon apa pun pada Anta. Tangan Anta mulai gemetar. Anta lantas memberanikan diri untuk mengecek denyut nadi Ibran. "Weh anjer nadinya mana, kok kaga ketemu." Anta panik sendiri karena tak bisa menemukan denyut nadi Ibran. "Bran, anjing ya lo kalo bercanda lo gue usir dari sini," balas Anta dibarengi dengan ketakutan yang mulai tumbuh. "Ibran, lo bercanda enggak sih? Lo jangan bikin gue takut dong ah." "Gue telponin ayah lo nih." Anta mengambil ponselnya dan bersiap mendial nomor seseorang, bukan nomor ayah Ibran yang jelas. Bisa dipenggal jika ia ketahuan mencelakai putra dari pewaris utama perusahaan keluarga Mahawira. Suara tersambung terdengar. Anta menunggu reaksi Ibran, tetapi tak kunjung mendapatkannya. Hingga akhirnya telepon tersebut dijawab. "Halo, ini--" "Anta jangan, anjing!" Ibran langsung bangkit dan merampas ponsel Anta, tetapi sebelum hal itu terjadi Anta sudah memegangi lengan Ibran agar tak bisa bangkit. "Ta, enggak usah telpon-telpon ayah!" Anta terkekeh pelan, lalu menunjukkan siapa yang ia telpon. Dan disambut desisan rendah oleh Ibran yang akhirnya kembali berbaring. "Anjing lo emang." "Sorry, Ta. Lagian lo nendangnya enggak berperasaan anjir punggung gue kaya kebelah dua jadinya," ujar Ibran seraya menahan lengan Anta yang hendak beranjak pergi. Cowok itu memberikan wajah semelas mungkin agar hati batu Anta dapat tergerak sedikit. "Gak lucu." Anta segera bangkit dan menepis tangan Ibran dengan kasar. "Ta, maafin elah. Lo juga 'kan salah." "Ta-- anjir, sakit tau!" rintih Ibran ketika tak sengaja siku Anta mengenai pundaknya cukup keras. "Anta--" "Gue udah sering bilang, gue enggak suka dibecandain kayak gitu! Selama lima tahun lo hidup sama gue masih enggak ngerti? Lo pikir lucu bikin orang lain khawatir? Sama aja lo sama si Esa-Esa itu. Otak ada tapi enggak dipake," sentak Anta berapi-api. Pada dasarnya Anta memang orang yang gampang emosi, jadi tidak heran kalau lelaki itu tiba-tiba meledak seperti ini. Anta dalam mode emosi dan mode tenang adalah dua manusia yang berbeda, setidaknya begitu di mata Ibran. "Iya, tau, Ta. Tapi, sumpah--" "Jangan mentang-mentang gue enggak mengedepankan perbedaan umur di antara kita, lo bisa seenaknya gini. Biar gimanapun juga gue tetep om lo." "Iya gue tau, Anta! Tapi lo kelewatan kalo sampe bawa-bawa Esa. Gue enggak sama kayak Esa," balas Ibran ikut tersulut emosi. Mendengar nama Esa dari Anta membuatnya menjadi otomatis teringat apa yang cowok itu katakan padanya. Dan tentu saja ia marah jika Anta menyebutnya sama dengan Esa. Anta mendecih. "Nyesel gue sekarang mau ngasih pelajaran buat si Esa. Gue kasih masukan aja, Bran. Lebih baik lo berdua temenan aja. Lo sama dia cocok banget." "Lo berlebihan banget sih, Ta. Gue cuma bercanda dan lo malah serius kayak gini. Beneran dua lima lo?" "Ya lo udah tau gue gimana masih aja kayak gitu. Yang lo lakuin selama ini apa aja?" seru Anta berang. Amarahnya sudah terlanjur membuncah dan tak bisa untuk ditahan lagi. Meski melihat bagaimana Ibran mulai lepas kontrol dan membahayakan dirinya sendiri. Mereka sebenarnya sama saja, yang satunya keras kepala dan satunya keras hati. Ibran mengatur napasnya yang tersengal. Ia menunduk sambil menekan dadanya. "Okay, Ta. Sorry gue yang salah. Calm down, please." Cowok itu kemudian mengerang. Ibran menutup matanya sambil meringis. Perlahan ia kembali terduduk di atas ranjang. Harusnya tadi ia diam saja dan membiarkan Anta marah untuk beberapa jam. Namun, sekarang ia malah memperparah masalah dan keadaannya sendiri. Ibran hampir menangis kala mendengar suara derap langkah Anta yang menjauh. Namun, setelah itu ia dilempari beberapa tabung obat. Dan kaki Anta kembali terlihat. "Ta ..." lirih Ibran. Ingin kembali berucap, tetapi Anta sudah terlebih dahulu duduk di hadapannya dan membantu Ibran menegak obat. "Gue tarik kata-kata gue. Lo pake otak dan lo enggak kayak Esa." Kepala Ibran berakhir jatuh ke d**a bidang milik Anta. Napasnya masih berat, tetapi sudah lebih baik. "Maaf, Ta. Gue malah ikut emosi juga. Harusnya gue diem aja dan biarin lo marah." "Gue yang minta maaf. Karena jadi orang yang terlalu emosian. And finally hurt you, I'm so sorry." "No, don't need to say sorry. I know you didn't mean to hurt me," kata Ibran lalu mengangkat kepalanya dan beralih pada dekapan Anta. Lelaki itu mendekapnya begitu erat. "Gue enggak minta lo buat rubah kepribadian lo, but you have to control it. Gue enggak mau kayak gini keulang lagi. Padahal, sepele doang." "You're good person. That's what I believe in." "Gue childish banget, ya?" "Not gonna lie. Yes, you are." Ibran menjeda kalimatnya sejenak. Mengambil napas sekaligus menghirup aroma parfum milik Anta yang baunya masih terasa. "But, that's okay. Gue ngerti. Lo emang seorang Mahawira dengan sikap yang kayak gitu." "Emang semua Mahawira gitu?" "Enggak tau. Tapi, lo, ayah, tante Kejora, sama om Angkasa gitu. Suka marah karena hal-hal kecil. Dan enggak suka dibercandain." "Selama ini kayaknya gue sering nyakitin lo tanpa sadar," ujar Anta. "Iya. Apa lagi kalo lo wasted," balas Ibran seraya terkekeh. Hidup bersama seorang Mahawira muda seperti Anta itu susah-susah gampang. "Lo pernah ngelempar gue sampe pingsan waktu itu--tapi, untungnya pas pagi gue bangun lagi. Jadi, gue enggak kaget waktu tadi lo meledak, cuma lo tau sendiri jantung gue enggak bisa diajak kompromi kalo dibentak-bentak. Lo kalo mabok lebih parah. Makanya gue sering larang lo main malem, tapi tetep aja enggak didenger." "Kenapa masih mau tinggal sama gue?" tanya Anta penasaran. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana jika ia berada di posisi Ibran. Terbesit perasaan bersalah selama ini. Ia terlalu tidak peduli pada sekitar dan menganggap semua yang ia lakukan baik-baik saja. "Karena kalo enggak sama lo, gue mau sama siapa lagi?" "Lo masih punya orang tua yang lengkap." "Iya, sih. Lengkap tapi kalo mereka pisah 'kan sama aja bohong. Lagian gue lebih suka kayak gini. Dari awal gue bukan sesuatu yang diinginkan sama orang tua gue, lo tau itu dan enggak bisa menyangkal. Gue lahir dari kesalahan. Waktu gue lahir, gue enggak diterima dimana-mana. Dan akhirnya gue harus hidup di panti asuhan sampe umur 12 tahun." Tanpa disadari, air mata Ibran turun membasahi pipi. "Selama 12 tahun di panti, gue ngerasa capek. Gue kira setelah itu gue bakal dapet orang tua yang baik. Tapi, mereka ternyata malah berantem ngerebutin gue." "Gue tau kelanjutannya. Lo milih tinggal sama gue dan sekarang kita tinggal bareng kayak anak perantauan." Ibran terkekeh menanggapi perkataan Anta. "Lo yang ngajak gue tinggal bareng sama gue, by the way. Waktu itu lo umur berapa, Ta? Duapuluh apa sembilanbelas?" "Dua puluh, kali. Gue kan sekarang dualima dan lo tujuh belas." "Kenapa lo mau ngajak gue tinggal bareng?" tanya Ibran. Penasaran mengenai keputusan Anta lima tahun silam. "Gue enggak suka tinggal sendiri, tapi mau pisah dari papa mama. Jadi, gue ajak lo dan syukur alhamdullilah lo mau." "Ta ..." lirih Ibran. Kemudian melepaskan pelukan Anta. Ia menatap mata Anta lekat. "Enggak selamanya gue ada bareng lo. I mean, someday pasti gue pergi. Entah kemanapun itu. Dan ... lo enggak pa-pa kan kalo itu terjadi?" "Tergantung. Lo perginya kemana." "Kalo dipanggil Tuhan gimana, Ta?" Anta terdiam mendengar pertanyaan Ibran. Kemudian membuang pandangannya. Tak mau menatap sepasang mata bulat milik Ibran yang diwariskan daru sang kakak. "C'mon, Ta. Lo tau kan setiap manusia yang hidup pasti bakal mati. Dan udah ada takdirnya masing-masing. Di agama lo diajarin itu juga, 'kan?" "Udah, Bran. Gue enggak mau ngelanjutin ini. Terlalu jauh dan lo butuh istirahat." Anta lantas bangkit dan meninggalkan Ibran yang terpaku di tempat. Ada sedikit kelegaan di d**a Ibran karena berhasil meluluhkan Anta yang hatinya terlalu keras. Mungkin alasan itu juga yang membuat pemuda itu tidak memiliki seorang gadis pun di sampingnya. *** Hari Ibran kesiangan akibat diajak begadang oleh Anta dan sialnya lelaki itu juga mematikan alarm yang ia pasang. Pukul enam pagi Ibran baru membuka mata dan langsung melompat dari atas tempat tidur. Secepat mungkin ia mandi dan bersiap sekolah. Ia mendesah keras kala ingat ia belum menyiapkan apa pun untuk sarapan. Bisa-bisa lelaki itu mengomel dan Ibran akan terlambat berangkat ke sekolah. "Enggak usah keburu-buru, gue udah masak. Nanti sekolahnya gue anter. Sarapan dulu sini," ujar Anta di meja makan sambil menyendokkan nasi goreng ke dalam mulut. Ibran terperangah. Sepatu yang ia tenteng bahkan sampai lepas dari kedua tangannya. Anta sangat aneh pagi ini. "Ta, lo kenapa? Serem." "Serem pala lo botak! Udah duduk, gue mau kerja hari ini." "Lo enggak kejeduk pas lagi tidur 'kan, Ta?" tanya Ibran masih menatap Anta aneh. Entah ada angin dari mana yang membuat Anta menjadi lebih tenang tanpa omelan. Bahkan sekarang lelaki itu memasak. Wah, mukjizat Tuhan macam apa ini? "Hari ini lo keluar dari OSIS, enggak ada tapi." "Ta! Lo apaan sih? Lo kenapa?" Ibran menganga. "Cukup kemaren lo meledak karena gue bercandain. Kasianin jantung gue, tolong. Cuma ada satu, Ta. Nyari donornya susah." "Kalo lo enggak mau keluar, gue bisa bikin lo dikeluar secara enggak hormat," lanjut Anta tanpa mengindahkan perkataan Ibran. Cowok itu mendelik. "Gue enggak bisa keluar gitu aja, Ta. Dua bulan lalu gue sempet mau keluar, tapi Esa ngelarang. Dan karena guru-guru takut sama bapaknya, jadi lah gue tetep di OSIS. Lo pikir gue mau gitu dijadiin babu mereka terus? Gue enggak mau, Ta. Capek. Tapi, yaudahlah dua bulan lagi masa jabatan gue kelas kok." "Besar mana keluarga Mahawira sama Danadyaksa?" tanya Anta santai. "Ta–– please, jangan bilang lo mau pake kekuasaan lo." "Satu-satunya cara lo bisa bebas dari Esa ya cuma itu. Mau enggak mau," kata lelaki itu santai. "Makasih banyak. Tapi, gue enggak mau jadi gosip karena lo suddenly ke sekolah dan minta gue dikeluarin. Gue takut mereka malah semakin benci sama gue." "Gue udah bilang tadi, enggak ada tapi." "Cuma dua bulan aja, Ta. Gue enggak pa-pa. Buktinya kemaren-kemaren yang gue sampe drop aja gue masih bertahan." Ibran memberikan tatapan memohonnya. Ia benar-benar tidak mau membuat skandal. Apa lagi Mahawira bukanlah sekedar marga keluarga yang disematkan di belakang nama. Mahawira mencakup arti yang lebih dalam lagi. Entah kegemparan apa yang akan terjadi jika Ibran kedapatn bersama seorang Mahawira. "Well, okay. Lo enggak mau gue yang dateng langsuk, 'kan? Gue bisa suruh orang dan semuanya selesai. So simple." "Mereka taunya gue miskin, Ta." "Terus kenapa? Lo sering bilang kalo lo enggak hidup dari perkataan orang lain," balas Anta telak. Ibran bungkam di tempat. "Okay, fine!" Anta mengulas senyum tipis. "Minum dulu obat lo, abisin sarapannya." Ibran mengangguk, lalu melirik ke jam tangannya. "Ok–– a***y Anta ini udah mau setengah tujuh!" Ia langsung buru-buru bangkit dan memasukkan semua obatnya ke dalam tas. Anta melongo sesaat. Kemudian mengikuti Ibran yang sudah berjalan ke luar sambil memakai sepatu dengan kewalahan. "Gue anter!" Anta menarik Ibran yang hendak menggunakan sepedanya. Ibran tidak memiliki celah untuk menolak kali ini. "Nanti istirahat langsung ke kantin. Obatnya di minum sekarang," kata Anta sambil menyodorkan sebotol air minum pada Ibran. Dengan cekatan Ibran mengambil botol itu dan meneguk habis obatnya yang beraneka ragam. "Makasih, Ta." "Anytime." Anta memberhentikan mobilnya tepat di depan gerbang SMA Pelita Indah. Beruntung gerbangnya belum ditutup. "Jaga diri. Gue enggak mau tiba-tiba dapet telpon dari Dokter Ryan." "Iya, Ta. Bawel banget sih lo heran." Ibran memakai dasinya sebentar. Kemudian berkaca di kaca spion. Membenahi rambutny yang berantakan. Ia lalu menyalami tangan Anta. "Dadah, gue berangkat! Langsung pergi, ya!" Ibran buru-buru berjalan ke dalam sebelum gerbang benar-benar ditutup. Paginya kali berbeda. Seorang Antariksa Gumelar Mahawira mulai membuka dirinya yang sebenarnya. Ibran sudah bilang, Anta itu sebenarnya baik. Hanya saja hatinya terlalu keras. Dan keberadaan Ibran di sisi pemuda itu adalah untuk meluluhkannya perlahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD