BAB 37 Kenyataan Pahit

1763 Words
Rei berteriak kencang saat itu juga saat melihat kedua orang tuanya bersimpahan darah. “Tidak .... Ma! Pa!” Rei berlari ke arah orang tuanya berusaha untuk menyelamatkannya. Ibu Rei yang masih sadar melihat anaknya yang kini berlari ke arahnya. Padangannya mulai kabur. “Rei ...” lirih wanita paruh baya itu. Saat jarak antar Rei dan orang tuanya satu meter saat itu juga sang monster meninjak tubuh tak berdaya orang tuanya. “Tidak Ma .... Pa ....” Tubuh Rei seketika lemas. Ia tak bisa mempertahankan kedua kakinya dan akhirnya ia biarkan saja tubuhnya terjatuh di tanah dengan terduduk. Hancur sudah perasaan Rei melihat kedua orang tuanya meninggal tepat di depannya sendiri. Orang tua yang telah merawatnya sejak ia lahir kini telah tiada. Kini ia sendiri, ia tidak punya siap-siap lagi. Monster yang menyerang orang tuanya berjalan ke arahnya. Rei menatap monster itu dengan nanar. Mati menyusul orang tuannya adalah ide yang baik pikirnya. Di dunia ini ia tidak punya siapa-siapa lagi. Maka mati pun ia rela. Ia bisa menyusul orang tuanya nantinya. “Bunuhlah aku ....” lirihnya. Monster itu pun bersiap-siap menyerang dengan menginjakkannya. Rei menutup kedua matanya bersiap-siap menerima kematiannya. Ia tidak melawan. Ia hanya bisa pasrah saat itu juga. Air mata mengalir di pelupuk wajahnya. “Ma ... Pa ... tunggu Rei, Rei akan menyusul kalian berdua ...” guamamnya pelan dan pasrah menghadapi kematian. Dan saat beberapa inci lagi kaki monster itu mengenai tubuhnya seorang lelaki yang sebaya dengannya segera menolong Rei. Membawa lelaki itu menjauh dari monster tersebut. Kini keduanya bersebunyi di sebuah bangunan yang runtuh. Keduanya saling berhadapan. Rei kaget melihat lelaki yang ada di hadapannya. “Ap_” Baru saja Rei ingin bertanya. Sebuah tamparan telak di wajahnya hingga memotong perkataannya. Tubuhnya membeku menatap lelaki yang ada di hadapannya. “APA YANG KAU LAKUKAN! KAU INGIN MATI YAH!” Bental lelaki itu yang ternyata adalah Gin. “Orang tuaku sudah tiada. Kini aku seorang diri ...” ujar Rei dan terisak di hadapan Gin. Melihat Rei menangis lelaki itu juga ikut menangis. Ia kembali mengingat kejadian sebelum ia menyelamatkan Rei. Tepat di hadapannya, ia melihat orang tuanya juga di bunuh. “Kenapa kau menangis ....” tanya Rei heran. “Orang tuaku juga sudah tiada.” Keduanya pun berpelukan sambil menangis. Keduanya sama-sama telah kehilangan orang yang mereka sayang. “Jika kau juga pergi aku benar-benar akan sendiri ... jadi aku mohon jangan tinggalkan aku ... bukankah kau adalah sahabatku? Seorang sahabat sejati tidak akan meninggalkan temannya kan ...” lirih Gin membujuk Rei untuk tidak meninggalkannya. Ia tak ingin sendirian. Ia tak tahu apa yang akan ia lakukan jika tak ada Rei. Hanya Rei satu-satunya yang ia miliki saat ini. Rei hanya bisa diam mendengar perkataan Gin. Ia senang Gin mengakuinya sebagai sahabat. Hanya saja kepergian orang tuannya tidak bisa ia terima. “Tapi ... tanpa mereka aku tidak tahu tujuan hidupku. Kini aku tidak punya alasan untuk hidup di dunia ini ...” lirih Rei. “Setidaknya balaskan dendammu pada monster-monster itu,” ujar Gin. Rei pun melepaskan pelukannya pada Gin. Apa yang di katakan Gin benar. Ia harus membalaskan dendam orang tuanya. Rei berdiri dan menatap monster-mosnter yang sedang menghancurkan desa mereka. “Benar apa katamu. Aku harus membalaskan dendam orang tuaku. Membunuh monster-monster yang telah membunuhnya.” Gin pun menghapus air matanya. Berdiri di samping Rei lalu memengang tangan Rei. “Kita lakukan bersama-sama. Kita balaskan dendam kedua orang tua kita.” Rei dan Gin mulai bertarung melawan monster dibantu oleh beberapa teman sebaya mereka. Dua mnster telah mereka kalahkan. Namun, beberapa temannya juga satu persatu meninggal. Walau begitu mereka tetap berjuang melawan. Hingga tak terasa sisa satu monster lagi. monster yang paling besar dan sangat kuat. Di atas monster itu telihat seorang lelaki bertopeng kini berdiri di sana. Seseorang yang di duga sebagai pengendali monster. “Apa kau yang mengendalikan monster-monster ini?” tanya Rei geram. “Menurutmu bagaimana? Apa aku terlihat sebagai pengendali mosnter?” ujar lelaki misterius itu. “Suara itu ... mirip dengannya ...” batin Rei. Seorang lelaki yang sangat hormati suaranya mirip dengan lelaki misterius si pengendali monster. “Tapi, itu tidak mungkin. Guku sudah pergi berkelana beberapa bulan yang lalu. Ia tidak mungkin kembali menyerang desa,” batinnya lagi. sambil menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menghilangkan keraguannya pada sang Guru. Ia harus mempercayai gurunya. Gurunya bukanlah orang yang akan menyerang desa. “Bisakah kau membuku topengmu? Aku ingin melihat siapakah kau gerangan yang telah menghancurkan desa kami,” ujar Rei pada lelaki itu. “Bagaimana yah. Aku tidak bisa membukanya dengan percuma. Sebaikanya kau cepat kalahkan aku dengan begitu kau akan melihat jelas rupa wajahku yang membuatmu sangat penasaran ...” ujar lelaki itu mengejek sambil tertawa terbakah-bahak di hadapan Rei dan teman-temannya. “Tidak usah menghiraukannya. Sebaiknya kita menyerang bersama-sama,” ujar Gin teman-temanya pun mengangguk. “SERANG!” Teriak Gin lalu disambut oleh sorakan teman-temamnya. Dan dalam hitungan detik. Gin dan teman-temannya pun mulai menyerak. Mereka membagi posisi, ada yang di bagian depan, di belakan, di samping kanan dan ada juga yang di bagian kiri. Lalu secara besamaan. Rei, Gin dan teman-temannya pun mulai mengeluarkan serangan sesuai apa yang mereka kuasai. Ada yang mengeluarkan panah es, panah api dan block of ice. Sedangkan Rei dan Gin menyerang jarak dekat menggunakan pedang es dan pedang api. Namun, baru beberapa menit menyerang. Rei dan teman-temannya berhasil dikalahkan. Dua temannya lagi-lagi meninggal. Sekarang mereka sisa berempat. “Bagaimana ini? Harus kah kita kabur saja?” ujar salah satu teman Rei. “Tidak! Kita tidak bisa kabur. Apa kau lupa bagaimana perjuangan teman-teman kita untuk mengalahkan monster tersebut?” “Pikirkan orang tua kalian yang telah dibunuh olehnya. Setidaknya kita telah berjuang untuk membalaskan dendam orang tua kita.” Mereka pun kembali bersemangat untuk menyerang. Rei dan Gin kembali mengeluarkan pedang mereka. Sedangkan dua temannya yang lain mengeluarkan panah api dan es. “Kita serang bersama-sama,” gumam Rei. Gin dan dua temannya yang lain mengangguk. Mereka pun mulai bersiap-siap. Dua anak panah kini membidik ke arah monster tersebut. Lalu tak lama kemudian, keempat s*****n itu pun mulai menyerang. Di tengah-tengah p*********n mereka Rei menyeringai lalu dengan langkah cepat lelaki itu menyerang lelaki yang ada di atas monster. Sebuah tebasan berhasil Rei ukir di lengan sang pengendali monster. Setelah itu Rei dan teman-temannya menjauh. “Rencana kita untuk melukai si pengendali itu berhasil.” “Sekali lagi!” pekik Rei. Gin dan yang lainnya mengangguk. Keemat s*****n itu kembali menyerang dengan cara yang sama. namun, sayangnya rencana mereka gagal. Sebelum Rei berhasil menyerang sang pengendali lelaki itu menyeringai dan dalam hitungan detik kini Rei berada di tangan sang pengendali. Pedang es yang Rei pegangs angat erat itu pun terjatuh di tanah begitu saja. Rei meringis kesakitan. Lehernya dicekik cukup kuat membuatnya kesulitan untuk bernapas. “Lepas ...” Rei berusaha memberontak, berusaha agarelas dari cengkeraman si pengendali itu. Namun sayangnya, tubuhnya terlalu lemah di hadapan lelaki itu. Gin dan teman-temannya menghentikan serangan. Menatap Rei cemas dan takut. “Lepaskan dia berengsek!” maki Gin. Namun, makiannya tidak dihiraukan oleh sang pengendali monster. Rei berusaha menggapai topeng yang di kenakan lelaki yang di mencekiknya. Sayangnya usahanya hanya sia-sia saja. “Sudah saatnya untuk melenyapkanmu. Permainan kalian sudah berakhir,” ujar lelaki itu masih dengan wajah menyeringai. Kedua mata Rei pun membulat seketika. Ia menatap takut lelaki yang ada di hadapannya saat lelaki itu mengeluarkan pedang es. Mungkinkah ia akan menusuknya tepat di jantung? Tidak ia tidak boleh berakhir di sini. ia harus membalaskan dendam orang tuanya. “REI ...” Sebuah teriakan mengilangkan konsentrasi lelaki itu. Saat pedangnya hampir menangcap di tubuh Rei. Gin segera melayangkan serangan dekat membuat cekikan lelaki itu lepas di leher Rei. Saat itu Rei pun terjatuh dari tubuh sang monster dan dua temannya yang lain membantu Rei untuk menjauh. Namun, tidak dengan Gin. Lelaki itu tak sempat kabur. Saat akan melompat tubuhnya berhasil di tangkap oleh sang pengendali monster. “Ternyata kau berani juga menukar nyawamu dengannya.” Kini Gin lah yang di cekik. Tangan lelaki itu mengerat membuat Gin mengeram kesakitan. Ia berusaha untuk melepaskan diri. “s**l ... kalau begini aku bisa mati,” batin Gin. Gin pun mengeratkan pegangannya pada pedang api di tangannya. Salah satunya cara adalah dengan menusuk lelaki di hadapannya. Dan Terdengar suara tebasan saat itu juga. “GIN!” Teriak Rei dan teman-temannya. Darah segar pun keluar di mulut Gin yang saat ini terbatuk-batuk. Tepat sebelum Gin berhasil menebas lelaki itu. Dia lah yang terlebih dahulu terkena serangan. Lelaki itu menusuknya tepat di jantung mengguankan pedang es. Pandangan Gin mulai kabur. Menatap Rei dengan tatapan sedih. Dan tak lama kemudian tubuhnya pun dilempar jatuh ke tanah. Rei segera menghampir Gin yang terluka parah. “Gin ... bertahanlah ... aku mohon ...” lirih Rei. Dua teman Gin yang tak terima akhirnya memutuskan untuk menyerang secara bertubi-tubi dan akhirnya keduanya pun berhasil di kalahkan. Kedunya terlempar cukup kuat hingga menabrak bangunan yang telah roboh. Keduanya seketika mati di tempat. Rei meletakkan tubuh Gin. Berdiri dan menatap lelaki si pengendali monster itu dengan wajah benci. “Aku tidak akan pernah melepasmu.” Lelaki itu melompat turun. Sedangkan monter itu pun duduk diam menatap keduanya. “Saatnya giliranmu.” Dan keduanya pun bertarung secara serius. Serangan Rei selalu berhasil di tangkis oleh lelaki itu membuatnya mulai kewalahan menghadapinya. Kini keduanya saling berjauhan. Rei mengistirahatkan sejenak tubunya. Ia terlalu lelah setelah beberapa jam bertarung. Keringat dingin menghiasi tubuh lelahnya. Napasnya pun memburu sangat cepat. Setelah beberapa detik beristirahat, Rei sekali lagi mencoba menyerang. Serangan keduanya terlihat tak seimbang. Lelaki itu seakan mempermainkan Rei yang terus berjuang. Walau begitu Rei tak patah semangat demi orang tua dan teman-temannya yang telah gugur ia harus kuat. Monster yang semula tenang itu tiba-tiba saja mengaum keras. “s**l, waktunya sudah habis. Aku harus menyelesaikan ini secepatnnya,” batin sang penegndali monster. Kini lelaki itu tak hanya menangkis serangan Rei tapi juga mulai menyerang. Hingga akhirnya tubuh Rei terbanting cukup keras. Darah segar keluar dari mulutnya saat itu juga. menatap lelaki yang ada di hadapannya dengan tatapan sendu. Sebuah pedang es mengarah di leher Rei yang terbaring tak berdaya di tanah. “Mungkinkah ini waktunya aku menyusul mereka,” batin Rei. Lelaki itu menyeringai dan pedangnya pun mengilang tiba-tiba. Salah satu tangan lelaki itu terangkat dan melepas topeng yang menutupi wajahnya. Saat itu lah tubuh Rei semakin melemas saking kagetnya dengan kenyataan pahit yang harus ia hadapi. Ia tak pernah menyangka dan tak menduganganya. Air mata kembali mengalir di peluk wajahnya. “Guru ...” lirih Rei sebelum akhirnya ia tak sadarkan diri. FLASHBACK END
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD