BAB 40 Tumbal

1267 Words
Kini Nao sedang terikat di sebuah kayu kokoh dengan kedua kaki berada di atas dan kedua kaki berada di bawah jika diperhatikan akan membentuk huruf X. Tubuh Nao di kelilingi oleh beberapa manusia sambil bernyanyi seakan telah melakukan ritual yang sakral. Nao hanya bisa pasrah terikat. Ia tidak bisa melakukan apa-apa. Memeberontak pun percuma karena ikatan pada kedua kaki dan tangannya sangat erat. Semalam ia sempat memberontak. Namun, buannya lepas tubuhnya hanya akan semakin sakit. Tak jauh dari tempat Nao. Lelaki itu melihat tema-temannya terkurung. Salah satu dari orang yang mengelilingi Nao mendekati sambil membawa sesuatu pada tangannya. “Aku mohon lepaskan teman-temanku. Aku akan melakukan apa pun yang kalian inginkan,” bujuk Nao. Namun perkataaannya hanya dianggap sebagai angin lalu. Mereka tak perduli. Lelaki itu mengoleskan cairan merah pada tubuh Nao.” Apa ini?” tanya Nao. Tapi, lagi-lagi ia tidak di tanggapi. Nao menajamkan penciumannya. “Apa ini darah,’ batinnya. “Untuk apa darah ini dioleskan pada tubuhku,” lanjutnya dalam hati. Lelaki itu membisikkan sesuatu padanya. Namun, ia kesulitan mencerna apa yang lelaki itu bisikkan karena orang-orang yang mengelilinginya bernyanyi dan bersorak. Setelah itu lelaki itu pun meninggalkan Nao. Nao yang masih sibuk mencerna perkataan lelaki itu tiba-tiba memekik kaget. Orang-orang itu menghentikan nyanyian lalu secara bergotong royong mengangkat kayu yang di atasnya ada Nao yang terikat. “Yak! Apa yang kalian lakukan! Lepaskan aku ...” pekik Nao yang mulai memberontak. Saat ini ia sangat ketakutan. Melihat Nao yang di bawa pergi membuat Ken, Gin dan Rei mulai cemas. “Nao ... yak apa yang kalian lakukan cepat lepaskan dia!” Ken mulai berteriak panik menatap saudaranya yang di bawa pergi entah ke mana. *** Beberapa jam telah berlalu dan Nao masih saja digiring entah ke mana. “Kalian mau membawaku ke mana?” tanya Nao sekali lagi walau ia tahu pertanyaannya tidak akan pernah dijawab. Tak lama kemudian mereka pun berhenti. Nao memeperhatikan sekelilingnya. Saat ini mereka berada di depan sebuah gua yang sangat besar. “Masukkan dia ke sana,” ujar salah satu dari mereka. Beberapa dari meraku pun membawa Nao masuk dan sebagian hanya menunggu di luar gua. Saat memasuki gua. Nao pun di sambut oleh hawa dingin yang luar biasa hingga membuat bulu kudungnya meremang. Keadaan sangat hening dan gelap saat memasuki gua. Minimnya cahaya membuat Nao tidak tahu keaadaan gua yang ia masuki saat ini. Semakin Nao di bawa masuk. Tubuhnya semakin merasakan hawa membunh di dalam sana. Tak lama kemudian tibalah mereka di tengah gua. Tubuhnya pun letakkan di tanah. lalu salah seorang lelaki mendekati Nao lalu mengeluarkan sesatu dari kantung bajunya. “Apa yang ingin kalian lakukan. Lepaskan aku ...” Nao kembali memberontak. Secara paksa lelaki itu meminumkan Nao sesuatu. “Tidak aku mohon. Apa ini lepaskan aku ...” Nao mengelengkan kepalanya ke kiri dan ke kanan untuk mencegah air itu masuk ke dalam mulutnya. Tak hilang akal lelaki itu pun memencet hidung Nao membuat lelaki itu kesulitan bernapas jadi mau tidak mau ia harus membuka mulut untuk mengambil pasokan udara dan saat itu juga lelaki itu mengambil kesempatan itu untuk meminumkan Nao cairan tersebut. “Maafkan kami. Satidaknya kau tidak akan merasakan sakit nantinya,” ujar lelaki itu. “Tidak akan sakit? Apa maksudmu?” tanya Nao bingung. Namun lelaki itu tak menagnggapi dan pada akhirnya mereka pun meninggalkan Nao seorang diri di gua itu. “Hey. Apa yang kalian lakukan! Lepaskan aku .... aku mohon jangan tinggalkan aku sendiri di sini!" Nao terus berteriak nyaring meminta para warga itu kembali dan melepaskannya. Hingga akhirnya, Nao mulai kelah untuk berteriak. Ia hanya bisa meratapi nasibnya yang malang. "Ma ... Pa ... aku harus bagaimana ...." Pada akhirnya air mata itu pun mengalir di pelupuk wajah Nao. Lama Nao menangis dalam kesendiriannya hingga membuat air matanya mulai kering bengkak. Ia tidak mengis lagi. Ia hanya bisa menatap sekitarnya dengan tatapan kosong. Karena menangis pun percuma tak ada yang akan menyelamatkannya. Tatapan Nao sedikit sayu. Ia sangat mengantuk. Namun ia berusaha untuk mempertahankan kesadarannya. Ia tidak ingin terjadi sesuatu saat itu tertidur. Tiba-tiba ia merasakan tanah di sekitarnya berguncang-guncang. “Apa yang terjadi ...” lirihnya. Guncangan yang ia rasakan semakin kuat seakan guncangan itu kini mengarah padanya. Dan tak lama kemudian tubuhnya pun membeku. Di dadapannya kini berdiri monster yang juga sedang menatapnya. “Apa aku di jadikan sebagai tumbal untuk monster itu,” batin Nao. Nao menggeleng-gelengkan kepalanya yang mulai sangat pening dan pandangannya mulai kabur. “Apa jangan-jangan cairan itu adalah obat bius. Sehingga saat monster itu akan memakanku dalam keadaan tidak sadar sehingga aku tidak merasakan sakit,” batinnya. “Ahh. Sepertinya dugaanku benar ... hehehe aku akan dijadikan tumbal ... hahaha ...” Nao mulai tertawa konyol manatap monster itu. Padahal tujuannya untuk berkelana adalah untuk mencari buku sihir untuk menyembuhkan ibunya. Tapi ia malah dijadikan tumbal. Ia bahkan belum berpamitan dengan teman-temannya. Tak hanya itu, bagaimana perasaan ibu dan ayahnya saat tahu ia telah tiada. Mereka pasti akan sedih sekali. Rasa ngantuk itu semakin menguat. “Ma ... Pa ... Ken ... maafkan Nao yang tidak bisa lagi menemui kalian ...” lirih Nao dan pada akhirnya kedua mata itu pun tertutup rapa. Terlihat setetes air mata mengalir di wajahnya saat menemui alam mimpi. *** Kini Ken dan teman-temannya kini terduduk sedih. Mereka tidak bisa melakukan apa-apa saat melihat Nao di bawa pergi. “Kira-kira apa yang mereka lakukan pada Nao ...” “Semoga saja Nao tidak apa-apa.” Tanpa ketiganya sadari seorang anak lelaki kini mengendap-endap menaiki pohon besar yang menjadi pusat ikat kurungan Ken dan dua temannya. “Iya, semoga saja Na_ ” gumaman Gin pun terpotong tergantikan suara teriakan dan diikuti oleh Ken dan Rei. Ketiganya berteriak nyaring saat mereka terjun bebes ke tanah. “Arkh ...” Ringis ketiga saat mereka mendarat di tanah. “Apa kalian tidak apa-apa?” tanya Ken. “Iya aku tidak apa-apa.” “Sama aku juga tidak apa-apa.” ujar Gin dan Rei bersamaan. “Apa kalian tidak apa-apa?” tanya seorang anak lelaki yang menjadi dalang terjatuhnya mereka bertiga. “Jadi kamu yang melakukan ini,” ujar Rei marah. “Sudah-sudah ... jangan marah ...” Gin berusaha menengakan Rei yang terlihat sangat emosi setelah kejadian tadi. “Maafkan aku. Aku terpaksa mnjatuhkan kalian begitu saja. karen aku terlalu terburu-buru. Aku takut para warga akan kembali.” Anak lelaki itu pun membuka pintu masuk kurungan tersebut dengan mudah. Ketiganya pun keluar. “Cepatlah pergi selamatkan temanmu,” ujar anak lelaki itu. Namun, Rei masih terlalu emosi dan segera mencengkram baju anak itu kasar. “Apa yang mereka lakukan pada teman kami?” tanya Rei mengancam. “Rei ... sudah ... jangan terlalu kasar. dia telah menyelamatkan kita,” sekali lagi Gin membujuk. Dan akhirnya Rei pun luluh dan melepas anak lelaki itu. “Itu ... dia akan dijadikan tumbal.” “APA!” Kali ini Ken yang memekik emosi. Anak lelaki itu berlutut takut pada Ken dan Rei. “Maafkan kami. kami lakukan ini semua karena kami tidak bisa melawan monster yang mengekang desa kami. Tiap bulan desa kami harus memberikan sebuah tumbal untuknya. Jika tidak monster itu akan meyerang desa. Sama seperti yang telah kalian lihat pada desa kami. Kemarin monster itu mengamuk dan menghancurkan banguna dan rumah-rumah kami karena telat memberikan tumbal.” Gin mendekat meminta anak itu untuk tidak berlutut lagi. ia mengerti dengan perasaan anak itu. Mereka pasti sangat ketakutan. “Bisakah kau menunjukkan pada kami ke mana mereka membawa teman kami.” “Tentu saja. Ikut aku ...” ketiga lelaki itu pun mengikuti anak lelaki tersebut. “Nao bertahanlah ...”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD