Siang dan malam bagi Adrian benar-benar berputar 180 derajat.
Di bawah matahari, kakinya lihai menyusuri lorong Rumah Sakit yang sudah seperti rumah keduanya. Snelli putih bersihnya sedikit tersibak angin, begitu juga stetoskop yang setia bertengger di lehernya. Kacamata berlensa tipis melapisi sorot mata tajamnya yang menyimpan banyak rahasia kelam, untuk sedikit mengelabui para pasien yang datang padanya.
Bakat dan prestasinya di dunia Kedokteran modern sangat terkenal. Meski baru memasuki usia matang, Adrian sudah menjadi Dokter Spesialis Bedah yang cukup dicari oleh Rumah Sakit. Cepat belajar merupakan bakatnya sejak lahir. Belum lagi popularitas sosialnya di kalangan wanita karena parasnya yang tampan, tubuhnya yang cukup kekar dan sikapnya yang social butterfly.
Tubuh kekar? Tentu. Adrian harus lebih kuat agar 'pasien-pasien' nya tidak menang melawannya.
Adrian tersenyum tipis. Dalam hatinya, ia sedikit berterima kasih pada keingintahuannya akan organ dalam makhluk hidup yang sudah ia miliki sejak kecil. Tidak ia sangka, hal itu membawanya pada terang-gelap dunia ini.
Sebab,
di bawah sinar bulan, snelli putih itu digantikan pakaian lusuh yang bercorak darah kering. Meski sudah dicuci berkali-kali, bekas itu tidak kunjung hilang. Apakah itu tanda jika Adrian dihantui oleh sang pemilik darah? Benar atau tidaknya tidak akan mempengaruhi si ahli bedah yang kini siap beraksi di pekerjaan 'sampingan'nya.
Cahaya merah remang menerangi ruang 'persiapan' ini. Wajah Adrian kini tertutup oleh topeng silikon berbentuk kepala babi. Kaus lusuh dilapisi kemeja yang bercorak darah itu menutupi tubuhnya. Tangannya sibuk mempersiapkan alat-alat bedahnya dan dengan teliti, matanya memeriksa apa semuanya sudah cukup tajam.
"Sebetulnya lebih sakit jika pisaunya tumpul. Proses kematiannya lebih akan lama dan menyakitkan. Tapi client ingin potongan yang rapi. Sepertinya korban kali ini untuk dijual dagingnya." Adrian bicara dalam hati.
Matanya melirik tajam dari balik topeng babi itu. Seorang wanita calon korbannya tengah menangis, memohon untuk belas kasihan. Kain yang menyumpal mulutnya melarang wanita itu mengucapkan kata-kata berarti. Hanya erangan putus asa saja yang terdengar. Lipstik murahnya sudah mengotori kain itu bahkan sampai mongotori pipinya. Tetapi, salahkan tali yang mengikat tangan dan kakinya itu, dia jadi tidak bisa merapikan dirinya.
Tunggu, apa itu masih penting?
Adrian melangkah mendekatinya. Berkenalan sedikit dengan calon korbannya, sepertinya tidak apa-apa. Bukankah berkenalan dengan pasien juga merupakan esensi dalam Kedokteran? Meskipun tiap langkah yang pria itu ambil justru semakin memojokan calon korbannya itu.
"Hai, halo ... Namanya siapa?" tanya Adrian dengan helaan napas. Pria itu ragu apa wanita di depannya bisa melihat matanya di balik topeng ini meski ia sudah berjongkok agar tinggi mereka sama.
Tangannya meraih dagu wanita itu dan seketika wanita tersebut gemetaran hebat. Erangan-erangan tertahan semakin keras, persis seperti tikus yang memohon hidup pada kucing yang siap mencabiknya.
Adrian menarik kain yang menyumpal mulut wanita itu. Bau menjijikan menyeruak begitu kain itu ditarik. Wanita yang tampaknya jalang itu sepertinya sempat muntah lalu karena tertahan kain, terpaksa harus menelan muntahnya lagi. Meski begitu, Adrian tidak mundur. Lagi pula bau yang lebih busuk sudah menjadi makanan sehari-harinya.
Wanita itu terbatuk-batuk, tetapi sebelum Adrian kembali bicara, wanita itu menjerit.
"Kumohon!! Aku lakukan apa saja!! Jangan bunuh aku!!" jeritnya diikuti tangis.
"Aku tanya, namamu siapa?" balas Adrian santai. Tampaknya tidak didengar oleh lawan bicaranya.
"Aku ditipu! Si tua bangka itu bilang akan membawaku ke Bali untuk menemaninya liburan! Aku tidak tahu apa-apa, sungguh! Sungguh! Aku tidak salah!! Aku mohon lepaskan akuuuu...! Hiks!" Wanita itu semakin menjerit kacau.
Nona, tidak ada yang bersalah yang akan dibunuh di sini. Justru yang tidak bersalah lah yang akan mati. Adrian membatin.
... Yah, tidak juga sih. Kalau saja kau tidak menjual dirimu kepada sembarang orang. Andai kau tahu Sugar Daddy mu itu anggota BFE... lanjut pria itu tak acuh.
"Tolong!! Aku mohon!! Lepaskan akuuu. Aku tidak salah ... Jangan bunuh aku! Hiks." mohonnya lagi. Terima kasih pada topeng babi itu, wanita jalang di depannya tidak bisa melihat Adrian menggulirkan bola matanya muak.
"Okaaay, aku akan membantumu sebisaku. Tapi janji kau harus diam, ya?" Telunjuk Adrian mengadah pada bibir merah yang bukan miliknya. Isyarat untuk diam itu segera diterima dengan baik. Bibir itu segera terkatup, tidak lagi bising.
Adrian sedikit terkejut. Ingin tertawa melihat begitu mudahnya orang di depannya ini percaya padanya.
"Selain harus diam, matamu juga harus ditutup. Karena, yah, kau tahu, untuk melepaskanmu, aku harus bertaruh nyawa juga. Kalau kau tahu sebetulnya tempat ini ada dimana, bukan hanya nyawaku, nyawamu juga terancam." Adrian semakin mempermainkannya.
"M-memangnya ini ada dimana-"
"Ssshhh, kubilang diam."
Tangan Adrian melipat kain lembab bekas mulut wanita itu untuk dijadikan penutup mata. Dengan cepat, kain kini menutupi mata sembab milik wanita itu, meski si empunya mata sempat jijik begitu bersentuhan dengan fabrik kotor tersebut. Kini sinar merah lampu ruangan tidak bisa menembus masuk ke matanya.
"Nah, sekarang bangun, aku bantu naik ke kursi." Adrian mengarahkan.
"Kau tidak melepaskan kakiku saja? Kita bisa lari dari sini!" tawarnya.
"Tidak, lari bukan keputusan bagus. Mereka akan menangkap kita." Adrian membantu wanita itu duduk di kursi roda reyot yang tersedia. Senyumnya tidak lagi tertahan di balik topeng itu.
"Tetaplah diam, aku akan menutupimu dengan kain sehingga orang akan melihatku sedang membuang mayat. Jangan bergerak sedikit pun." Adrian berusaha mengucapkan itu dengan tenang, meski jelas menahan tawa.
"Uh-hum." jawab wanita itu.
"Uhm, Mr. Pig?" Wanita itu memanggilnya tepat sebelum Adrian menutupinya dengan kain lusuh. Hal itu menahan tangan Adrian.
"Ya?"
Mr.Pig, katanya...
"Aku tidak punya uang untuk membayarmu. Jika kita keluar nanti, aku akan menghisap milikmu dengan mulutku sebagai bayaran."
Kali ini Adrian harus mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menahan tawa. Ia menutup moncong topengnya agar suaranya tidak kedengaran. Menggelikan dan memuakkan bercampur menjadi kesan utama Adrian untuk wanita di depannya.
Jalang ini benar-benar harus disingkirkan.
"Oh well. We'll see..." jawab Adrian sekenanya.
Adrian mengambil peralatan bedahnya sebelum akhirnya mendorong kursi roda reyot itu keluar. Ruang temaram merah itu akhirnya mereka tinggalkan. Sejenak sebelum keluar, Adrian berbisik lirih pada dirinya sendiri.
"Lagi pula, sudah waktunya."
Suara bising yang samar terdengar, perlahan semakin jelas. Alis wanita itu berkerut di balik kain. Detik demi detik perasaannya hanya semakin buruk. Mulai memilih untuk tidak percaya pada Adrian, wanita itu pun akhirnya bertanya juga kemana dirinya sebetulnya dibawa.
"Mr. Pig?" panggilnya dari balik kain.
Bersamaan setelah dia selesai memanggil, kain yang menutupinya ditarik. Ia bisa merasakan bau apek kain itu meninggalkannya. Sedetik setelah itu, terdengar banyak sekali suara manusia. Wanita itu pun melihat sekeliling dan menjadi pucat pasi.
"Ini ... Dimana?" tanyanya lagi, kini terdengar putus asa. Oh, tapi belum, keputusasaan yang sesungguhnya justru akan dimulai sekarang.
"Ini? Nerakamu." Adrian menjawab santai seakan hal ini bukan masalah besar.
Meja besi besar dengan banyak darah kering terpampang di depan matanya. Dan puluhan, tidak, ratusan manusia menggunakan topeng hewan mengelilinginya. Tatapan-tatapan mata yang dingin dari topeng hewan itu menatap wanita yang menjadi pusat perhatian 'acara' ini. Wanita tanpa nama itu seketika gemetaran hebat. Tidak perlu ditanya tentang mentalnya yang seketika hancur berantakan.
"T-t-tolong... Mr.Pig?" panggilnya bergetar. Ia menoleh ke belakang dan Adrian sudah menatapnya.
"Ya?" balas Adrian.
"Ka-kamu... tidak menolongku?"
"Untuk apa?"
"Kamu bilang kamu akan menolongku sebisamu!!"
"Nona, coba perhatikan baik-baik. Aku ini lebih mirip mereka, atau kamu?" tanya Adrian seraya menunjuk wajahnya yang juga tertutup topeng babi. Hal itu berhasil membuat wanita itu membeku. Sepertinya, sepertinya wanita malang itu akhirnya sadar akan kesalahan yang telah ia buat.
Pandangan wanita itu bergoyang. Seketika kepalanya terasa ringan sekali dan ingin jatuh. Bisikan-bisikan dari para manusia berkepala hewan itu semakin terdengar, mengantarnya pada ketidaksadaran.
Namun sebelum hal itu terjadi, dengan cepat, Adrian menusukkan jarum ke lengan wanita itu secara sembarangan. Sakitnya membuatnya sedikit sadar kembali.
"Aaahh!!"
"Ups, aku tidak akan membiarkanmu pingsan. Aku menyuntikanmu dengan adrenalin agar kau tetap sadar sampai semuanya selesai."
"Lepaskan aku, dasar babi!!!" jeritnya marah.
Adrian mengunci bibirnya selagi menggendong wanita itu ke atas 'meja pemotongan'. Wanita itu meronta, persis seperti hewan ternak yang akan disembelih.
"Tidak, kau yang babi." balas Adrian.
"Lepas!! Jangan pegang!! Ah... Aaaaahhh!!! Jangan ke sinii!!!" Wanita itu semakin menjerit begitu tubuhnya bersentuhan dengan meja dingin bekas pemotongan itu. Semakin menjerit lagi begitu orang-orang mendekat dan Adrian mengeluarkan alat medisnya.
"Ah.. Tolong... Tolong... Jangan bunuh aku..." Suaranya melemah. Namun, hal itu tidak menghentikan orang-orang yang mendekat hendak menyentuhnya.
"Wah, Ad, yang ini berisik ya?" Seorang dengan topeng beruang berkata pada Adrian.
"Perlu didiamkan? Sepertinya dia juga bersedia untuk memanjakan kelamin tuan-tuan sekalian dengan mulutnya. Dia menawarkanku tadi." jawab Adrian. Pria itu mengambil tang kecil yang cukup untuk mencabut gigi satu-persatu. Suhu tubuh wanita itu seketika mendingin begitu melihat benda berlogam tajam itu keluar dari saku Adrian.
"Wah, serius? Cabut saja semua giginya sekarang! Biarkan dia memanjakan kami dulu!" jawab si beruang itu semangat. Wanita itu semakin kacau.
"Hey, Adrian!!" Seorang yang memakai topeng harimau menyelak. Suara berat khas laki-laki paruh baya terdengar di balik topeng itu, terdengar familiar di telinga sang wanita.
"Jangan menyakitinya terlalu banyak! Kalau dagingnya hancur, saya jadi tidak bisa menjualnya!!" serunya. Adrian hanya memandangnya selagi dia bicara. Berbeda dengan wanita di atas meja itu. Ia justru terbelalak.
"Om...?" Panggil wanita itu pada si harimau.
"Itu kamu 'kan, Om..?" tanya wanita itu sekali lagi.
Si Harimau sadar akan ucapan itu. Tetapi dia hanya menatap dingin wanita yang tubuhnya mulai digerayangi 'orang-orang' di sekelilingnya.
"Dasar jalang!" makinya.
Adrian terdiam. Apa jalang lebih rendah dari kami? pikirnya.
Wanita itu kembali histeris. "Jalang?! Jalang, Om bilang?! Terus Om apa yang mendekati aku tanpa peduli sama keluarga Om?! Membayarku!! Tidur denganku!! Untuk apa semuanya itu?!!" makinya kacau.
"Supaya kamu ada di sini. That's it." sela Adrian menjawab pertanyaan sang wanita.
Wanita itu melongo tidak percaya.
"Tidak semua orang gila seks seperti yang kamu pikirkan." Adrian melanjutkan. Pandangan wanita itu mulai bergoyang dan pudar. Tangan-tangan manusia di sekelilingnya mulai terasa menyakitkan saat menyentuhnya tubuhnya.
"Tidak semua orang hanya mencari perhatian yang dia tidak dapat dari istri atau rumahnya." Adrian mendekatkan tang itu begitu tangannya menggenggam dagu wanita itu hingga rahangnya terbuka.
"Sungguh, beberapa orang lebih buruk dari yang kau pikirkan."
Sakit yang menyetrum tajam menyerang mulut wanita tak bernama itu. Adrian mulai mencabut giginya satu persatu. Tubuh yang sudah lemah, dipaksa untuk tetap sadar karena adrenalin yang terinjeksi ke tubuhnya. Juga, sentuhan orang-orang di sekitarnya memperlakukannya sudah seperti hewan tidak punya harga diri. Darah mulai mengalir memenuhi rongga mulutnya seiring Adrian mulai mencabut gigi yang kedua.
Ini neraka.
Lampu remang menatap dingin wanita di bawahnya yang sedang meregang nyawa. Berdarah, telanjang, cacat dan tidak punya harga diri. Orang-orang bergantian mendatanginya begitu semua giginya sudah tercabut demi kepuasan klise dari orang yang hampir mati. Tetapi, tak ada sedikit pun kemanusiaan terlintas. Yang bisa dilakukan hanya menerima semua rasa sakit dan penghinaan ini.
"Tuan-tuan,.. ehh.. Dan nona-nona?" sela Adrian sejenak. Mereka pun berhenti.
"Maaf tapi sesi 'memanjakan' sudah selesai. Saya harus memastikan wanita ini tetap segar. Mari kita selesaikan semuanya dan harap menikmati adegan ini dengan tenang."
Wanita hampir mati itu melirik pada Adrian seiring orang-orang mengerang kecewa dan meninggalkannya. Ingin berterima kasih, tetapi tidak juga.
"Berterima kasihlah, ini hampir berakhir. Berterima kasih jugalah pada Om mu itu, dia ingin kau dipotong dengan cepat dan rapih. Kau spesial, kau tidak akan merasakan sesakit itu."
Wanita itu menatap Adrian lesu, meski begitu terlihat dendam yang amat sangat besar di dalamnya. Berdoa? tidak. Dengan sedikit sisa tenaga yang wanita itu miliki, ia justru meludahi Adrian, ludah yang penuh dengan darah.
Adrian terdiam, matanya memicing tajam melihat ludah itu menciptakan noda merah baru di pakaiannya.
"Terserah " jawab Adrian tak ingin ambil pusing. Tangannya yang berlapis sarung tangan mulai mengambil beberapa alat.
"Main course nya dimulai sekarang..." lirih Adrian saat mulai membedah.
*
Cairan merah kental mengalir deras dari atas meja pemotongan ke dalam kantong plastik besar di bawahnya. Lalat yang tidak tahu apa-apa, hinggap di atas bola mata tubuh kaku wanita yang baru saja kehilangan nyawa dengan cara yang sadis. Mata itu terbelalak. Jelas jika ia tidak mati dengan damai.
Seiring tempat itu mulai sepi, Adrian masih sibuk membungkus potongan-potongan organ tubuh wanita itu ke dalam plastic wrap dengan rapi. Seorang laki-laki paruh baya bertopeng harimau tadi menemaninya.
"Adrian, terima kasih. Istriku sedang ingin sekali makan daging spesial ini dan selirku mulai sangat mengganggu. Jadi kuputuskan untuk membawa dia ke sini."
Adrian menatapnya dingin. Tetapi setelah itu ia tertawa renyah.
"Tidak, terima kasih, tuan. Saya juga tertolong. Pekerjaan ini sangat membantu melampiaskan hasrat saya."
Orang ini ... kalau tidak salah dia salah satu pemilik restoran besar dan hotel bintang lima di ibukota. Punya kekuasaan, uang yang banyak. Pantas saja, hiburan normal tidak lagi menarik perhatiannya, batin Adrian.
"Ngomong-ngomong, kemana Anda akan membawa daging-daging ini?" tanya Adrian basa basi.
"Oh, semua ini akan dikirim langsung ke dapur restoran kami. Kami biasanya menjual daging ini sebagai menu tengah malam. Mampirlah jika anda sempat, kami akan berikan diskon." tawar orang itu. Adrian hanya tersenyum simpul.
"Menarik. Nanti saya datang jika sempat." jawabnya sekenanya.
"Ad,"
Adrian menoleh, seseorang di belakangnya memanggil. Tampak di sana seorang yang sudah mengangkat topeng anjingnya hingga menunjukan setengah wajahnya dari hidung hingga dagu.
"Ya?"
"New order." jawabnya. Adrian seketika menjadi serius.
Begitu client pertamanya meninggalkan mereka setelah sepakat soal pembayaran, Adrian mendekat untuk membicarakan perkerjaan barunya.
Namun, belum sampai ia mengucapkan sesuatu, sebuah foto tersodor di depan wajahnya. Heran, tetapi Adrian segera mengambil foto itu.
Seorang wanita cantik dalam foto itu segera mengambil penuh perhatian Adrian. Pupilnya sedikit membesar melihat senyum di dalam foto itu. Sebuah perasaan asing bergejolak di dalam dadanya, entah mengapa. Ingin lebih banyak menaruh perhatian pada hal itu, tetapi Adrian memilih segera kembali bersikap profesional.
"Namanya Stefhana Genesis. Dia mahasiswiku. Tolong dapatkan dia sebulan dari sekarang."
Adrian menatap client barunya, tertarik.
[Adrian]
"Stefhana?"
Pria itu menyerigai penuh maksud. Foto yang kugenggam itu hendak ditariknya kembali tetapi tanganku lihai mengelak lebih cepat.
"Jangan memandanginya terlalu lama, aku tidak mau justru kau yang menikmati dia." sindirnya disertai tawa kelam.
Aku menatapnya bosan. Otakku yang sedari tadi berusaha mengingat namanya, akhirnya berhasil menemukan namanya. Orang ini bernama Wiryo.
Tapi aku sedikit penasaran, tidakkah orang ini anggota baru? Beraninya bersikap seperti itu padaku. Memintaku melakukan sesuatu padanya pula. Ah, atau apa aku yang terlalu merendah di organisasi ini, sehingga banyak yang mulai seenaknya padaku? Benar apa kata Ayah memang, organisasi ini mulai bobrok dan melenceng dari peraturan.
Tetapi melihat pembunuhan dari jauh seperti para pemimpin organisasi sama sekali tidak memuaskanku. Aku ingin melakukannya dengan tanganku sendiri.
"Anda ingin saya menculiknya? Mengumpulkan daging bukan tugas saya, lho, tuan." ujarku tenang selagi melepas sarung tangan berlumur darah ini.
Tanganku mengepal-lebar menikmati kebebasan begitu terlepas dari sarung tangan kotor tersebut. Langsung kujatuhkan dan seketika benda itu menyatu dengan kekacauan sekitar. Mana mereka yang bertugas membersihkan, dasar pekerja lambat!
"Memang bukan." sahutnya.
"Tapi aku lebih percaya padamu dari pada para pengumpul daging. Kerjamu sangat rapi, terlebih, kau sangat tenang. Aku bertaruh kau tidak akan melakukan kesalahan, bukan?"
Kalimat terakhir ucapannya membuatku muak.
Aku hanya tertawa renyah. Lucu melihat seseorang yang bisa-bisanya mempercayai seseorang yang sama-sama berasal dari dunia kelam seperti ini. Naif atau bodoh atau keduanya, yang jelas orang ini kurang bijak.
Aku menyisir ke belakang rambutku dengan jari. Terasa lengket. Sepertinya beberapa cipratan darah mengotorinya. Ah, kacamataku juga. Harus direndam di air hangat lagi supaya bekasnya hilang.
"Hei, Adrian! Kau mendengarkanku tidak?!" tanyanya geram. Oh iya, aku sampai lupa ada dia.
"Dengar, Pak Wiryo. Tapi Anda seharusnya mengerti kenapa saya diam." Aku menjeda untuk memberinya isyarat jari yang mengartikan uang.
"Masalah ini." Aku tersenyum padanya.
Wiryo yang tadi sempat terkejut karena aku memanggilnya dengan namanya, mulai tekekeh dengan suara rendah. "Memang dimana-mana uang adalah dewa. Ini,"
Diikuti dengan suaranya yang berakhir, sejumlah uang dilemparkannya kepadaku. Terima kasih pada reflekku yang bagus, nominal-nominal merah itu tidak jatuh berserakan. Jika terkena darah, akan sangat repot memakainya atau menjelaskannya.
Aku memicingkan mata pada lembaran-lembaran merah uang itu. Dua hal mengganggu perhatianku. Pertama, apa-apaan ini? Jumlah uang yang sedikit ini? Dia meremehkanku? Kedua, kenapa tidak transfer saja, sih? Dia seperti bocah yang ingin belanja online tapi tidak punya rekening.
"Sisanya akan kubayar saat kau sudah membawanya ke sini." aturnya seenaknya. Membuatku tambah kesal saja.
Tidak, tidak, aku harus professional.
"Ah, hahaha... Maaf kalau kurang sopan, tapi, apa Anda tidak salah? Jumlah segini,.. Hmm. Bagaimana, ya?" tawaku garing lengkap dengan senyum palsu.
"Hahaha, ayo lah Adrian. Aku akan membayarmu penuh saat semuanya sudah terkumpul. Lagi pula, kau 'kan dokter, penghasilanmu dari Rumah Sakit pasti sudah besar. Kau tidak membutuhkan uang sebanyak itu-"
"Anda ingin mempermainkan saya?"