"Anda mau mempermainkan saya?"
Ah, aku lupa kalau ini dunia kelam dimana manusia tidak punya kemanusiaan. Kenapa aku harus berpura-pura baik dan menahan tanganku dari mengarahkan pisau bedahku ke arteri karotisnya? Satu sayatan, dan dia akan tahu diri serta tidak akan bersikap seenaknya lagi. Tetapi jika aku menyayatnya, ia tidak akan punya waktu untuk memperbaiki sikapnya.
Lihat, seketika dia diam dan keringat mulai menetes dari dagunya ketika pisauku yang kurang dari setengah senti lagi merobek kulitnya. Dasar tua bangka pengecut. Amoral pula. Ups.
"Jenis manusia seperti Anda sudah sering sekali saya temui dan saya muak menghadapinya. Ingin mendapatkan hasil sebagus-bagusnya, lalu di akhir beragumen kritis seakan kerja saya tidak bagus supaya Anda bisa membayar lebih murah. Tidak salah jika Anda berpikir hal itu bisa terjadi di dunia gelap, karena dasarnya semua orang di sini berengsek. Tapi, Pak Wiryo yang terhormat, jangan lupa, orang yang lebih jahat dari Anda juga ada di sini... dan mungkin saja itu saya." Mataku menatap dingin, kontras dengan nada tenang yang mengalun mengiringi kata-kataku. Tampaknya itu justru membuat Si Bapak Dosen ini gugup.
"Anda yang bilang jika uang adalah dewa. Jadi, biarkan saya menyembahnya." tutupku.
Huh. Sudah menyuruhku 'mengumpulkan daging' padahal itu bukan tugasku, memberikannya untuk ditiduri, lalu membedah sisa santapannya, dan dibayar cuma segini? Aku lebih bahagia jika membunuhmu, sungguh.
"Ck, banyak lagak kau, Adrian!" balasnya.
Wow, berani sekali?
"Memangnya kau semahal apa? Paling kau juga masuk BFE belum ada setahun. Hanya karena pekerjaanmu bagus, bukan berarti kau berbeda denganku. Kita sama-sama penjahat di dunia ini dan tidak ada level yang membedakan!"
Tepuk tangan untuk ucapan Bapak Dosen ini. Sungguh sangat menyedihkan. Tidak kusangka ada orang yang menyebalkannya sejelas ini. Aah, aku berubah pikiran. Aku takut martabatku hancur jika membunuh orang yang akan mati karena ucapannya sendiri seperti ini.
"Hentikan sikap berlagakmu ini, lakukan saja tugasmu dan aku akan lakukan tugasku. Aku akan membayarmu sesuai hasil pekerjaanmu. Jika memang bagus, akan kubayar sesuai. Jika kerjamu tidak bagus, berarti kau pantas menerimanya. Aku hanya ingin mengetesmu karena kulihat kerjamu bagus sejauh ini dan apa untuk kali ini akan bagus juga."
Ya, ya... Mengetes. Lalu saat tesnya berakhir, manipulasi hasil. Dasar dosen.
Wiryo menepis tanganku dengan kasar, menjauhkan pisauku dari lehernya. Setengah wajahnya yang terekspos itu terlihat cemas dan marah. Aduh, harusnya aku yang marah tapi dia menggertakku seakan dia yang lebih marah supaya aku diam. Sungguh, makhluk jenis apa dia.
"Tolonglah, Adrian. Saya hanya percaya pada Anda. Saya sangat menginginkan perempuan ini." Dia malah mulai memohon. Tangannya mengangkat tanganku yang masih menggenggam foto yang dia berikan. Memaksaku memandang objek wanita di dalamnya. Lalu aku kembali hampir terlarut dalam perasaanku saat menatap wajah gadis ini. Jujur saja, gadis itu memang manis.
"Beberapa kali dia ada di kelas saya. Semakin melihatnya saya semakin tidak bisa menahan diri. Dia tidak bisa keluar dari pikiran saya padahal saya sangat sadar kalau dia tidak melakukan apa-apa. Tidak menggoda, tidak memprovokasi. Hanya saja dia membuat saya gila!" Wiryo mulai meracau tidak terkontrol.
"Tolonglah, Adrian. Saya ingin merasakan tubuhnya untuk sekali saja lalu melihatnya dibunuh. Dengan begitu saya bisa kembali ke keluarga saya dengan tenang." mohonnya lagi sambil menggenggam kedua tanganku.
Tidak boleh ya meludah ke wajah client?
Yah, walaupun aku lebih jahat, tapi yang seperti ini tetap saja memuakan. Lihat dia yang tadi meremehkanku, lalu bersikap membela diri, sekarang memohon minta tolong.
Ingin sekali kuhabisi, tapi aku tidak ingin dia cepat mati. Rasanya rasa sakit dan penderitaan cocok untuknya. Meskipun aku orang yang tidak suka membuang-buang waktu, tapi rasanya ada pilihan yang lebih menarik.
Kuikuti saja permainannya sampai ia sadar kalau aku yang mempermainkannya.
"Yah, baiklah kalau begitu." balasku akhirnya. Kupaksakan kedua ujung bibirku tertarik ke atas.
"Saya akan coba dekati dia diam-diam dulu sampai dia bisa saya bawa kepada Anda. Masalah bayaran, bisa nanti." lanjutku, berlagak ramah dan meremehkan dia. Jika dia benar pintar, seharusnya dia curiga dengan sikapku.
"Benarkah? Sudah kuduga kau butuh uang juga 'kan, hahaha!" balasnya.
Alisku sedikit naik, terkejut. Bagaimana bisa orang ini menjadi dosen? Akhlaknya rusak dan ternyata dia sangat bodoh. Aku sampai sulit menutupi keterkejutanku dengan wajah yang tenang.
"Yah, bayarnya bisa nanti..." karena aku ingin kepalamu saja jadi bayarannya, lanjutku dalam hati.
"Baiklah, Adrian. Kau bisa datang ke Universitas tempatku bekerja mulai besok. Dia akan selalu ada di sekitar kampus dari pagi hingga sore. Terserah kau kapan ingin menemuinya."
"Tidak usah banyak bicara dan silakan hubungi saja nomorku untuk detailnya. Aku sulit dalam menghafal profil seseorang." balasku dingin, tanganku menukar foto pemberiannya dengan kartu nama "khusus" untuk sesama anggota BFE.
"Ah iya, baiklah." balasnya girang. Buru-buru dia memindahkan nomorku ke gawai pintarnya. Terlihat sekali dia bahagia, apa dia benar-benar berpikir sudah menang melawanku?
"Sudah. Akan kuhubungi kau nanti malam."
"Ya, silahkan." balasku dingin.
Orang-orang yang bekerja membersihkan akhirnya datang. Mereka mulai bekerja dan perasaan tahu diriku menyuruhku cepat meninggalkan tempat itu.
Aku berjalan melewati clientku tanpa pamit. Salah besar jika dia menganggapku temannya. Langkahku terus tercipta tanpa peduli jika dia juga mengikutiku dari belakang.
Ah, aku harus ke ruang persiapan dulu, tas dan snelliku kutinggalkan di sana, hari juga hampir pagi. Apa aku langsung ke Rumah Sakit saja ya? Ugh, apa kabar dengan apartemenku itu, lama tidak kuhuni.
"Adrian?" panggil Pak Wiryo kembali, membuyarkan lamunanku.
"Apa?" balasku kesal. Untuk apa dia mengikutiku ke ruang persiapan? Pintu keluar ke arah sana.
"Apa kau bisa berjanji kalau tidak akan menikmati dia sebelum aku?" tanyanya dengan senyum yang memuakkan. Tapi benar ya, sepertinya wanita ini sudah meracuni pikirannya. Sampai-sampai berani menggangguku dengan pertanyaan tidak penting.
Aku paksakan tersenyum sekali lagi. "Saya akan bekerja sampai sesuai dengan nominal yang cukup untuk saya." balasku sekenanya. Kuharap setelah ini dia meninggalkanku sendiri.
Aku memutar tubuhku kembali, bersamaan dengan lawan bicaraku yang sepertinya puas dengan jawabanku. Tanganku merogoh saku yang berisikan kunci ruangan dan mengambilnya. Tak sadar, foto itu kembali terambil.
Aku memandanginya lagi, selagi tanganku sibuk membuka pintu. Tunggu, karena tugas kali ini tidak begitu kuanggap penting, aku sampai tidak memperhatikan.
"Pak," panggilku lagi, sebelum dia bertambah jauh.
"Dia ... siapa namanya tadi?" Aku meliriknya dari balik bahuku. Pak Wiryo berhenti sejenak disana.
"Perempuan itu namanya Stefhana."
*
[Stefhana]
Sekilas, hanya sekilas. Meski begitu aku sadar betul perasaan apa yang menyerangku.
Kami tidak saling kenal. Bahkan setengah wajahnya pun terhalangi cangkir kopi miliknya dan matanya terlapisi kacamata lensa tipis, tetapi tatapan lelaki dengan papan nama khas dari Rumah Sakit itu jelas tertuju padaku. Melirik setiap pergerakanku, terasa seperti hewan buas mengintai mangsanya. Membuatku merasa sangat tidak nyaman.
Meski setelah itu temanku mengalihkan perhatian singkatku dari tatapannya, dan kakiku tak sempat berhenti untuk bertanya ada apa, perasaan tidak enak ini tidak hilang.
Untuk pertama kalinya terhadap orang asing, dari dasar hatiku yang paling dalam, aku berharap aku tidak mati di tangan orang itu.