19. Jeremy

1108 Words
"Kenapa diam?" Shaka kali ini menatap adik ipar dengan tatapan menyelidik. "Aman. Bapak tenang aja. Saya bukan istri lemah kayak di FTV yang cuma bisa nangis saat ditindas suami," sahut Amanda "Benar juga. Harusnya saya bertanya kayak gitu sama suami kamu," balas Shaka yang kemudian mengalihkan tatapan kembali pada pintu lift yang baru saja terbuka. Amanda menatap keki. "Maksud Bapak, saya gitu yang memperlakukan dia gak baik?" "Saya gak bilang. Kamu sendiri yang ngomong." Amanda hendak membalas tetapi urung. Cemberut sambil menyusul masuk ke dalam. Berdiri di sudut lift sambil menatap sebal kakak ipar. Shaka menekan tombol untuk menahan pintu lift saat melihat Aldin sedang berjalan cepat menuju lift. Aldin hanya mengangguk sopan sebagai ucapan terima kasih. Tak ada percakapan yang terjadi selama benda itu meluncur turun. Hingga berhenti di salah satu lantai, beberapa orang masuk dengan tujuan yang sama. "Kamu yakin gak ikut makan siang?" Sekali lagi Shaka bertanya untuk memastikan. "Yakin, Pak. Tuh, kurir yang nganterin makanan saya udah datang," tunjuk Amanda sembari berjalan lebih cepat. "Ibu Amanda?" Sang kurir yang memakai help full face itu bersuara. "Iya." Amanda mengangguk. Merasa heran. Selama ini sering memesan makanan melalui ojek online, tetapi tidak pernah ada kurir yang memakai helm seperti itu. Agak aneh. "Mas kok bisa masuk ke lobi? Harusnya nggak boleh nggak pakai helm yang menutupi wajah." "Boleh, Bu. Saya kan udah sering datang ke sini. Jadi udah kenal sama security-nya." "Iya?" Amanda sangsi, tetapi mungkin itu benar. Jika tidak, tidak mungkin security mengizinkannya masuk. "Ya sudah. Makasih." "Tunggu!" Sang kurir mencegah saat Amanda hendak pergi. "Siapa yang mengizinkan Anda masuk ke sini dengan memakai helm seperti itu?" Shaka sudah berdiri di samping Amanda. Sudah jelas peraturan di kantor, semua orang tidak dibenarkan menginjakan kaki di sana dengan wajah tertutup meski hanya sebagian untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. "Maaf, Pak." Sang pria langsung membuka helmnya. "Saya sudah membuka helm tadi. Saya pakai lagi setelah berada di sini," ujarnya sambil menoleh pada wanita di depan. Tersenyum saat melihat keterkejutan di wajah cantiknya. "Je-Jeremy?" gumam Amanda, terbata. Kedua bola mata membulat mengisyaratkan rasa terkejut saay melihat pria di depan. "Kamu kenal?" Shaka bertanya. "I-Iya. Teman, Pak." Amanda mengangguk. "Lain kali jangan ulangi. Peraturan berlaku untuk semua orang. Gak perduli kamu kenal dia atau owner sekalipun!" tegas Shaka dengan tatapan tajam dan tak terbantahkan. "Baik, Pak. Maaf. Saya tidak akan mengulanginya." Pria bernama Jeremy itu menunduk patuh, tidak berani membalas tatapan yang tampak tidak bersahabat pria yang ia tahu adalah CEO di kantor Itu. Shaka mengalihkan tatapan pada sang sekretaris. "Kalau udah selesai, cepat naik!" perintahnya, penuh penekanan. "Iya, Pak." Amanda mengangguk. Shaka tak bicara lagi. Berlaku dari sana. Begitu juga dengan Aldin. Sekilas menatap istri dan teman prianya. Ingat nama itu pernah ia dengar saat Amanda bicara dengan ibu mertua. Jadi itu adalah kekasih yang tak direstui ibu, pikirnya. "Kamu kaget?" Jeremy tersenyum sambil menatap lekat Amanda. "Lumayan. Kenapa kamu gak bilang kalau kamu udah balik?" "Sengaja. Mau bikin kejutan," jawab sang pria yang baru saja kembali dari perjalanan bisnis ke luar kota. "Ya sudah, aku balik dulu. Ini makanan yang aku pesan kan?" "Iya, aku ketemu sama kurirnya tadi di depan. Jadi aku ambil aja. Kamu gak akan aku makan bareng?" Amanda diam sejenak sebelum akhirnya bicara. "Gak bisa." Mengedarkan pandangan ke sekitar, khawatir ada mata-mata ibunya di sana. Meski sering berdebat sekalipun, ia tidak ingin sampai berkonflik dengan wanita yang melahirkannya. "Kamu takut ada yang laporin ke ibu kamu ya?" Jeremy bisa membaca pikiran teman dekatnya tersebut. Ia tahu pasti bahwa ibu Amanda tidak suka padanya. Entah kenapa. "Ya sudah. Aku naik dulu." Jeremy mengangguk. "Kita ketemu di tempat lain. Nanti aku chat." Amanda tidak serta merta setuju, tetapi tak juga menolak. Gegas berlalu dari sana. *** Aldin hanya melirik sekilas saat tiba di rumah dan berpapasan dengan istri yang baru keluar dari kamar dengan memakai daster motif batik berwarna cerah. Heran, wanita itu suka sekali memakai baju tanpa lengan. Pun Amanda, acuh tak acuh. Melangkah pergi ke dapur sambil mengikat rambut sembarang. "Gak ada makanan apa ya? Lapar. Harusnya tadi aku beli apa gitu pas jalan pulang. Tapi gak bisa. Macet parah. Gak bisa turun dari mobil." Berdiri di depan lemari pendingin. Bukan tidak ada bahan masakan. Tidak bisa mengolahnya. "Ibu ... aku lapar. Tapi gak ada yang bisa aku makan," rengek Amanda, bicara sendiri. Jika di rumah orang tua, kapan pun ingin, makanan selalu tersedia. "Mau keluar lagi, males. Mau order gak bisa nunggu." "Mau ampai kapan kamu berdiri di situ?" Amanda melonjak terkejut. Menoleh. "Bisa kali gak usah pakai acara ngagetin orang," protesnya lalu mengambil satu buah telur. Menutup lemari pendingin lalu membuka lemari. Ingat masih ada mi instan. "Jangan makan mi terus. Nanti kamu sakit saya juga yang disalahkan," kata Aldin sambil menyambar bungkus mi instan dari tangan istri. "Pada mati kelaparan." Aldin memukul pelan kepala istri dengan mi instan. "Gak ada orang mati cuma karena beberapa jam gak makan." "Udahlah saya pulang aja ke rumah ibu saya. Di sini saya nggak boleh makan," rajuk Amanda sambil melangkah pergi. Aldin dengan cepat menahan tangan wanita itu. "Duduk!" titahnya dengan tegas. "Gak mau!" "Duduk, Amanda!" "Enggak." Tak ingin berdebat, Aldin menekan kedua bahu istri agar duduk di kursi dapur. "Duduk!" Amanda dengan cepat berdiri. "Memangnya harus banget saya nurut sama Bapak?" "Gak harus. Tapi kalau kamu gak mau saya bilang ke ibu kalau pacar kamu datang ke kantor, kamu gak punya pilihan lain." Amanda melotot. "Dia bukan pacar saya!" "Pacar atau bukan, yang jelas ibu gak suka kalau kamu masih berhubungan sama dia." "Bapak ngancem saya?" "Enggak. Saya cuma ngasih kamu pilihan." "Terus Bapak pikir saya bakal takut gitu?" Aldin mengangkat bahu acuh tak acuh. "Semua terserah kamu." Amanda cemberut. Terpaksa menurut, duduk di kursi meski dengan hati dongkol dan tatapan kesal setengah hidup. "Coba dari tadi. Gak ada waktu terbuang percuma," komentar Aldin sambil meraih apron lalu memakainya. Amanda hanya menatap keki, bersandar pada kursi seraya melipat kedua tangan di depan dadda. Tak lagi bicara. Menatap setiap gerak yang dilakukan suami yang tampak ahli dalam menggunakan alat memasak. "Bapak mau saya nontonin Bapak masak?" tanya Amanda. Aldin hanya melirik sekilas, tanpa kata. Amanda sudah terbiasa diabaikan pria itu. Tak terlalu memikirkannya. Yang jelas saat ini ia mulai merasa bosan. Menguap. "Pak, masih lama gak? Saya bosan," keluhnya kemudian. Aldin tidak menjawab. Amanda berdecak sebal. "Mendadak bisu dan tuli," gumamnya sambil bangkit dari kursi. "Duduk!" "Bapak ini dari tadi nyuruh saya duduk terus. Saya ini lapar bukan pegal. Lebih baik saya ke kamar dan tidur daripada nontonin Bapak." Aldin meletakkan piring berisi makanan di atas meja. Amanda menelan ludah saat melihat santapan yang tampak menggiurkan. "Saya pegal juga ternyata," ujarnya, kembali duduk.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD