Mira

1105 Words
Mira's POV Aku memandang benci pemandangan di depan sana, sepasang pengantin tengah berbahagia di hari spesialnya ini, mereka terus memasang senyum bahagia nya sambil menyalami satu per-satu tamu yang terus menerus datang tanpa henti. Mereka tampak seperti pasangan yang saling mencintai dan menikah dengan landasan perasaan suka sama suka. Lain dengan nasib percintaanku, aku hanyalah anak bungsu yang harus berkorban demi sang Kakak agar bisa menempuh pendidikan lebih tinggi dengan memaksaku untuk menikah dengan pria yang cukup mapan di desaku, memang aku tidak menikah dengan pria tua ataupun p****************g, tetapi menikah dengan paksaan dan tanpa rasa cinta cukup membuatku tidak bisa menjalani hidup yang bahagia. "Sayang, kamu nggak mau duduk? Kamu dari tadi berdiri terus." Lelaki yang tengah berbicara dengan ku saat ini adalah Aji, lelaki yang 10 tahun lebih tua dariku ini ialah suamiku, aku tak menyahuti perkataannya, aku hanya sedang terhanyut dalam bayangan ku sendiri ketika memandang sepasang pengantin di depan sana. Seharusnya aku yang berdiri di depan sana dengan lelaki itu, bukan Indri, Kakaknya yang selalu bisa mendapatkan apa yang ia mau, mulai dari pendidikan, kebutuhan, sampai lelaki yang telah lama kusukai pun kini sudah jatuh ke pelukkannya. Aku menyesali keputusanku yang akhirnya luluh dengan melihat kondisi orang tua ku yang tengah kesulitan membiayai pendidikan sang Kakak yang tengah berkuliah di luar kota, sedangkan aku? Aku tidak diperbolehkan meneruskan pendidikan lebih lanjut setelah lulus SMA padahal aku sangat menginginkan untuk bisa mendapatkan gelar sarjana dan bisa hidup di kota. Namun, memang hanya aku yang bernasib buruk disini, Kakak ku kini telah menyelesaikan kuliahnya dan bisa bekerja di kota lalu menikah dengan pria kaya yang ada di desaku, pria itu bernama Abyaz. Abyaz adalah anak majikan orang tuaku yang memiliki tanah dan sawah berhektar-hektar, ia memiliki paras tampan yang terkesan lembut dan penyayang. Aku mengagumi Abyaz sejak lama, ia seumuran dengan Kakakku, dan kini mereka telah menikah. Aku memutar bola mataku sebal, wajahku tidak kalah ayu dari Kakakku, aku memiliki kulit yang lebih putih dari Indri, dan tubuh yang lebih berisi dari Indri. Namun, semua itu tidak bisa menarik perhatian Abyaz yang sepertinya menyukai perempuan yang berkulit kuning langsat dan bertubuh langsing seperti Kakakku itu, mungkin juga Abyaz menyukai perempuan yang memiliki tabiat baik seperti Indri. Bukan seperti dirinya yang memiliki tabiat buruk, entah mengapa mataku semakin berkaca-kaca ketika mengingat bahwa dirinya selalu dibanding-bandingkan dengan Indri sejak mereka kecil, saudara-saudara nya itu menganggap bahwa Indri selalu beruntung dalam segala hal karena sifat dan tabiatnya yang lemah lembut dan baik terhadap orang tua maupun orang-orang disekitar, berbeda dengan dirinya yang tidak bisa bersikap lembut seperti sang Kakak, ia bukan orang yang selalu menerima keadaan dan bersabar seperti Indri, tetapi ia sudah mengalah demi sang Kakak bisa berkuliah dan ia sudah merelakan cita-citanya untuk bisa berkuliah. Namun, keadilan tidak pernah datang kepadanya. Ia benci dengan kehidupannya yang sekarang. "Sayang? Kamu mau aku ambilin makan?" Sepasang lengan kekar itu melingkari pinggangku, aku memandang kearah suamiku, ia berbeda dengan Abyaz, Aji memiliki wajah yang kasar dan terkesan maskulin, tubuhnya pun lebih gagah daripada Abyaz. Namun, semua itu masih belum bisa membuatku jatuh cinta kepada Aji. "Nggak usah." Aku melepaskan lengannya yang berada di pinggangku, aku berjalan menjauh darinya dan sepertinya suamiku mengikutiku. "Kamu mau kemana?" "Pulang." "Tapi-" Aku tidak memperdulikan perkataannya, aku berjalan keluar dari tempat resepsi pernikahan Indri dan Abyaz dengan d**a sesak, sudah tidak ada lagi yang tersisa dalam hidupku, hidupku sudah hampa dan kosong semenjak aku mengalah demi sang Kakak, dan sekarang sudah tidak ada lagi jalan keluar dari itu semua. ****** Author POV "Sayang, aku pergi ke kebun dulu." Pamit Aji kepada sang istri yang masih terlelap dengan mengecup lembut pipi Mira. Mira hanya diam dan semakin menyerukkan wajahnya kedalam bantal dan menaikkan selimutnya. Aji memang bukan lelaki yang berasal dari keluarga kaya, tetapi Aji memiliki kebun dan beberapa sawah miliknya sendiri dan ekonominya pun cenderung mapan walaupun tidak sekaya Abyaz, gaya hidup Aji sangat sederhana dan hanya membeli kebutuhan yang penting-penting saja. Aji sudah menyukai Mira dari perempuan itu masih duduk di bangku SMP, Aji memiliki kebun yang berada di dekat rumah keluarga Mira, dan ia kerap bertemu dengan Mira ketika ia menggarap kebun tersebut, mulai dari situlah Aji tumbuh perasaan suka bahkan cinta kepada perempuan itu. Namun, Aji bukanlah lelaki yang pandai merayu, ia berniat melamar gadis itu setelah lulus SMA, dan keinginan itu bertepatan dengan kesulitan yang tengah dialami keluarga Mira, dan ia pun menawarkan bantuan dengan syarat bahwa Mira akan menjadi istrinya. Tetapi Mira tampaknya tidak suka dengan dirinya, dan ia pun menyadari hal tersebut, ia berusaha semaksimal mungkin menjadi suami yang baik dan bertanggung jawab terhadap Mira, tetapi hingga bulan ketiga pernikahan mereka pun Mira masih bersikap dingin kepadanya. Setelah keberangkatan Aji ke kebun, Mira perlahan meregangkan tubuhnya dan mulai beranjak dari tempat tidur, ia sedikit tidak enak badan, tubuhnya terasa begitu lemas dan perut Mira terasa begitu mual, ditambah mood nya yang memburuk setelah menghadiri pernikahan Indri kemarin. Namun, keanehan yang terjadi pada tubuhnya sekarang tidak bisa begitu saja Mira abaikan, ia sudah membeli alat tes kehamilan yang ia beli secara diam-diam tanpa sepengetahuan Aji. ****** Waktu sudah memasukki sore hari, Aji tengah menuju perjalanan ke rumah setelah mengecek kebun dan sawahnya yang tengah di kerjakan oleh beberapa orang, tak lupa ia membawa bermacam-macam buah kesukaan sang istri, meskipun hidup Aji awalnya sederhana tetapi ketika ia menikahi Mira, ia selalu memanjakan perempuan itu dengan hal-hal kesukaannya, seperti perhiasan, baju, dan lain-lain, ia bahagia ketika bisa memenuhi permintaan sang istri. Mira membuka pintu ketika mendengar suara motor Aji sampai ke halaman rumah mereka, sedangkan Aji senang ketika Mira menyambutnya selepas pulang bekerja, Mira memiliki wajah yang cantik meskipun perempuan itu jarang memasang senyuman di bibirnya. "Mas bawa buah semangka, melon, sama alpukat kesukaan kamu," Ucap Aji. "Makasih, Mas," Jawab Mira sedikit senang melihat apa yang suaminya itu bawa. Aji mengecup kening Mira sayang ketika perempuan itu selesai menyalimi tangannya. "Mas, aku hamil," Ucap Mira tiba-tiba, ia tak bisa menahan hal itu lebih lama lagi ia hanya merasa belum siap dengan kehamilannya ini. Sementara Aji menahan napasnya sejenak mendengar ucapan sang istri, ia merasa kaget sekaligus senang mengetahui kenyataan bahwa Mira hamil, ini berarti kehamilan Mira membuat mereka semakin terikat dan semoga saja Mira bisa mencintai dirinya. "Makasih, Sayang." Aji memeluk erat sang istri sambil membisikkan kata-kata sayangnya. Entah mengapa Mira menangis ketika Aji memeluknya, ia merasakan perasaan yang bercampur aduk, di satu sisi ia belum bisa menerima pernikahannya dengan Aji, namun Mira juga merasa tersiksa jika harus terus-menerus melihat kearah sang Kakak yang memiliki apa yang tidak ia miliki. Mira hanya butuh tempat bersandar sebagai pengobat luka dari dendam yang ia tanam dalam hatinya sendiri. End.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD