BAB 1. PERNIKAHAN

2488 Words
[19 Januari 2021] *** Aku Adam. Putra semata wayang dari Aidah Fatmawati. Seorang perempuan yang baik, lembut dan bersahaja. Dialah perempuan yang paling aku sayangi selama hidupku, yang jika meminta sesuatu maka sekuat tenaga akan aku turuti, dan apabila melihat dia menangis maka hatiku terasa disayat. Aku Adam. Putra satu-satunya dari Hasan Rasyidin. Lelaki yang bisa kurasakan kasih sayangnya hanya sampai umur sebelas tahun saja. Walau begitu, selama hidup beliau banyak menanamkan pesan moral padaku. Aku Adam. Karena orang tuaku lah, aku harus menikahi Suci. Perempuan, yang selalu aku anggap bencana dalam hidupku. *** Jarum jam di lengan kiri menunjukkan angka empat. Aku berdiri, menarik kedua sisi bagian depan jas, mengaitkan kancingnya. Menatap sekilas beberapa map di atas meja yang sudah bertumpuk dengan rapi. Kemudian menutup laptop, memasukkannya ke dalam tas. Selesai. Aku bisa keluar dari ruangan kerja. Seorang Office Boy menyapa ketika baru saja menutup pintu. Kubalas senyum tipis disertai anggukkan kecil. Andini, sekretarisku pun sempat mengangguk hormat. Kuberi anggukkan kepala kembali. Sepanjang langkah menuju lift, entah berapa kali aku membalas sapaan para karyawan. "Pak Direktur!" Aku menoleh untuk sekadar menaikkan kedua alis. "Mau langsung pulang?" Dodi bertanya setelah berdiri tak jauh di depanku. "Mau jemput anak sama istri di rumah mertua," sahutku akhirnya. "Yah, enggak asik! Enggak bisa ikut nongkrong, dong!" Dodi memasang wajah kecewa. "Libur dulu," dalihku, bersamaan dengan terbukanya pintu lift. Segera aku melangkahkan kaki. "Okelah, dari pada dipecat dari status menantu. Bisa turun jabatan, deh!" kelakar Dodi yang ikut masuk ke dalam ruangan lift dan berdiri dua langkah di samping kiriku. Sempat aku berdecak diiringi gelengan kepala. Agak kesal dengan celetukannya, tapi bagiku ini sudah biasa. Orang-orang memandang sebagai direktur hanya karena aku adalah menantu dari pemilik perusahaan. Kadang pertanyaan itu berkelebat tanpa kenal waktu. Kenapa harus menjadi menantu dari seorang Prawira Lesmana? . Aku menghentikan mobil di depan rumah megah dan besar bercat putih. Kediaman keluarga Lesmana, orang tua dari istriku. Tentu saja mertuaku itu bukan orang biasa. Bukan hanya kantor tempatku bekerja yang Tuan Wira miliki, tapi juga beberapa cabang perusahaan di kota lain. Beruntung? Entahlah, yang jelas ini tidak pernah terbayangkan. "Tuan Adam, silakan masuk." Bi Marni menyambut dengan hormat ketika pintu sudah terbuka. "Mana Suci?" Aku bertanya setelah masuk lebih dalam. "Mbak Suci ada di belakang, Tuan," tunjuknya ramah. "Beri tahu dia kalau saya sudah datang," pintaku. "Baik, Tuan." Bi Marni menganggukkan kepala. Hampir aku memutar tubuh, tapi urung ketika menyadari kedatangan sosok mereka. "Ayah!" Suara itu pun berhasil mengalihkan perhatianku. "Oh, itu ternyata Mbak Suci dan Non Salwa ke sini. Saya permisi, Tuan," pamit Bi Marni. Kuanggukkan kepala sebagai isyarat. "Ayah ...!" teriakan itu semakin kencang seiring sosoknya yang juga semakin dekat. Aku hanya terdiam menatapnya. "Asyik, Ayah datang!" Seorang anak perempuan berusia enam tahun memeluk bagian bawah tubuhku. Membuatku sedikit bergeser ke belakang. Namun, tetap saja aku enggan membalas sikap manjanya itu. "Sayang, enggak boleh gitu. Ayah cape." Kini suara lembut dari seorang perempuan dewasa yang terdengar di telinga. Dialah Suci, istriku. "Sawa 'kan kangen sama Ayah, Bunda!" Gadis kecil berambut sepundak itu kembali merengek. Suci tersenyum kecut. "Kita pulang aja, ya," ajaknya sambil mengamit tangan Salwa. Pelukan anak itu pun terlepas dari tubuhku. "Bi, Suci pulang dulu. Titip salam aja sama Ami, maaf Suci enggak bisa tunggu sampai pulang. Maaf juga Suci enggak bantuin Bibi sampai selesai, ya." "Iya, enggak apa Mbak Suci. Nanti Bibi sampaikan sama Nyonya." Bi Marni yang sedang membersihkan meja menyempatkan menengok ke arah kami. "Ada acara apa memang?" Aku terheran, karena ada banyak gelas yang Bi Marni bereskan, juga toples kue di atas meja ruang tamu. "Kemarin ada Tante Alma, menginap semalam. Sekarang pulang lagi ke Medan, dianter Ami sama Satria ke bandara," sahut Suci dengan nada yang terdengar gugup. Aku menoleh, menatap Suci. Lalu menaikkan satu sudut bibir. "Ayah, masa tadi Oma Alma nanyain kapan Sawa punya adik!" "Hust, Sawa. Nanti aja bicaranya di rumah," sela Suci. Kali ini aku memutar bola mata. Sudah kuduga. Beruntung aku datang ke sini setelah kepergian Tante Bawel itu. "Maaf, Bunda." Salwa merunduk. "Ayo, pulang," cetusku segera sambil memutar tubuh. Melangkah menuju mobil. Masuk dan duduk di belakang kemudi dengan perasaan kesal. Tak lama, Suci dan Salwa pun masuk ke dalam mobil. Setelah memastikan mereka duduk dengan nyaman, aku lajukan kendaraan. Ibu dan anak itu mengisi waktu perjalanan mereka sambil mengobrol. Membicarakan banyak hal yang tak ada habisnya. Entah apa itu. Sedang aku lebih memilih mengendalikan kemudi dalam diam, walau sesekali kulirik mereka yang duduk di samping kiriku. *** Azan Subuh membuatku terjaga. Perlahan menarik tubuh, bersandar pada ujung ranjang. Mengerjapkan mata beberapa kali demi mengusir kantuk yang tersisa. Hampir kedua kaki ini menginjak lantai, tapi entah kenapa ada sesuatu yang menarik minat untuk menoleh ke satu arah. Tampak Suci duduk di atas sajadah, memegang tasbih kesayangannya--setahuku. Terbersit dalam pikiran, lelaki mana yang tak bahagia, memiliki istri sebaik dia? Berkali aku memerhatikan wajah Suci di kala dia terlelap. Cantik, hanya itu yang sanggup aku deskripsikan. Suci mengangkat wajah. Bersamaan dengan itu aku pun berpaling, melanjutkan niat awal untuk pergi ke kamar mandi. Setelah membersihkan diri dan mengambil wudhu, aku berjalan menghampiri ranjang. Di mana sudah tersedia pakaian bersih untukku pergi ke masjid. Tentu saja Suci yang menyiapkan. Perlu diketahui, bukan hanya baju untuk salat. Pakaian kantor pun Suci yang mempersiapkan. Setiap pagi, selepas mandi. Aku selalu menemukan kemeja beserta setelan jas dan celana bahan, di sampingnya ada dasi yang berwarna senada. Tak lupa kaos kaki dan sepatu yang sudah mengkilap di dekat ranjang. Semua dia lakukan tanpa pernah mengeluh sedikit pun. . Seperti pagi ini, dan pagi-pagi sebelumnya. Selesai bersiap, aku keluar dari kamar. "Sarapan, Mas," sambut Suci yang sudah berdiri di undakan anak tangga paling bawah. "Hm," sahutku pendek. Melangkahkan kaki menuju ruang makan, yang--tentu saja diikuti Suci di belakang. "Bunda! Sawa mau telor ceplok, bukan dadar!" Salwa merengek ketika aku baru saja mengempaskan tubuh di atas kursi. "Iya, Bunda udah gorengin buat Salwa." Dengan gerak cepat Suci menyimpan telur dadar di atas nasi goreng bumbu kuning, lalu menyodorkan padaku. Kemudian mengambil telur mata sapi dan meletakkannya di atas nasi goreng kecap milik Salwa. "Habiskan, ya?" ucapnya sambil mengusap kepala Salwa. Salwa mengangguk semringah. Diraihnya sendok di atas piring. Entah kenapa, bukannya langsung menyuapkan nasi, tapi dia malah melontarkan pertanyaan yang kupikir masih selalu menggelitik naluri keingintahuannya. "Ayah, kok suka telor dadar pakai cabe, enggak pedes?" "Lagi makan enggak boleh banyak ngomong," tegurku. Mendelik ke arah Suci yang tampak gugup. Kembali menatap lurus Salwa yang sudah mengatupkan bibir dan memalingkan wajah ke arah ibunya. Suci mengedipkan mata, mengusap pipi putri kecilnya. "Ayo, makan. Nanti kesiangan sekolahnya," bujuk Suci. Salwa pun menunduk sebentar untuk membaca doa sebelum makan. Hingga kemudian tak terdengar lagi suaranya, asyik menikmati nasi goreng kesukaannya. Aku pun bisa memulai sarapan pagi. Aku tahu, Salwa bertanya seperti itu mungkin hanya sekadar membuka obrolan di pagi hari. Bisa jadi masih banyak pertanyaan lainnya dalam benak putriku, tentang sosok ayahnya ini. Namun, entah kenapa aku tak pernah menanggapi lebih cara dia menarik perhatianku. Karena pada kenyataannya, bagiku Salwa tak ubahnya seperti Suci. Sama-sama kebal dan keras. Padahal dua perempuan itu setiap hari jarang aku acuhkan. Kadang aku harus menyentak dan menunjukkan raut tak suka pada istri dan anakku jika sedang kesal, tapi anehnya mereka seperti tidak pernah merasa tersinggung atau marah. Kami menikmati sarapan tanpa obrolan apapun. Hanya ada suara denting dari sendok yang beradu dengan piring porselen. Sampai akhirnya acara makan pagi selesai, dan aku siap pergi bekerja. Suci mengiringi langkahku hingga ambang pintu. Meraih tangan, mencium penuh takzim. "Assalamualaikum," pamitku. "Waalaikumsalam," sahut Suci yang sedari tadi selalu memberikan senyum lembutnya. Aku pun masuk ke dalam mobil, melajukannya keluar dari gerbang. Sempat kulihat dari kaca spion, istriku masih berdiri sambil melambaikan tangan. Suci memang seperti bidadari. Baik, bahkan terlalu baik. Semua orang memujinya, tetapi entah kenapa semua yang ada pada Suci belum sanggup mencairkan kebekuan hatiku. Bukan karena ada perempuan lain, tapi memang hingga detik ini tak pernah ada setitik pun cinta yang kumiliki untuknya. Jika memang seperti itu, lalu sebutan apa yang pantas kusematkan pada hidupku ini? Pentas drama? Akting? Bagus. Maka Adam Azwar Rasyidin adalah aktor hebat yang patut mendapatkan Awards. . Ponsel bergetar. Aku mengalihkan fokus dari layar laptop. Suci menelepon. "Ada apa?" Tanpa basa-basi apa pun aku bertanya dengan nada malas. "Assalamualaikum. Mas, bisa jemput Salwa di sekolah enggak? Dari pagi kepalaku agak pusing." "Enggak bisa, aku mau makan siang sama klien." Aku menutup sambungan telepon. Mengembuskan napas lalu bersandar pada kursi. Memejamkan mata, menepis rasa kesal. Entah kenapa aku selalu kesal bila mendengar suara Suci di waktu yang tidak tepat. Karena jika sudah begini, maka akan merusak isi otak. Bagiku, cukup selama di rumah saja harus mendengar suara, apalagi menatap wajahnya. Ini hanya akan mengganggu mood bekerjaku. . Pukul empat lebih lima menit aku sudah keluar dari kantor. Menemui Dodi yang sudah menunggu di depan mobilnya, juga dua kawan lain ; Bayu dan Cakra yang sudah berada dalam satu mobil--milik Cakra. Cukup isyarat tangan sebagai kode di antara kami. Masing-masing sudah hafal, tanpa harus diucapkan. Karena inilah kebiasaanku bersama mereka. Setiap Rabu sore waktunya kami pergi ke tempat bowling. Di hari Jumat, kami memiliki jadwal fitness bersama. Lalu Senin, waktunya bermain billiard. Kadang di hari Minggu pun kami pergi golf bersama. Ini kesenanganku bersama mereka. Jauh sebelum menikah dengan Suci. Kami memang sudah bersahabat sejak aku masih menjabat sebagai karyawan biasa. Sampai sekarang pun sama, tak ada yang berubah selain posisi jabatan. Karena bagiku, lebih baik melepas semua kepenatan di luar bersama mereka, dibanding harus berdiam di rumah bersama istri dan anak. "Woy, Dam! Hape lu bunyi terus!" Bayu berteriak. "Siapa?!" Aku membalas teriak. "Satria!" Satria? Ada apa gerangan adik iparku itu menelepon, tidak biasanya? Tak kuindahkan. Kutepiskan tangan pertanda enggan menerima panggilan itu. Kembali mengambil bola bowling dan menatap pin yang berjajar di depan sana. "Dam!" Kali ini Bayu berlari sambil berteriak menghampiri. "Apa lagi?" Aku melirik sekilas, melanjutkan ancang-ancang melempar bola. "Satria lagi? Udah diemin aja, males ngomong sama bocah songong--" "Bukan! Ini bokapnya Suci, mertua lu! " Bayu memperlihatkan layar ponsel. Repleks tanganku melempar asal bola, hingga menggelinding dengan arah miring. Tanpa menyentuh satu pin pun. Sial! Abi is calling Terlihat jelas di layar ponsel, membuat kedua mataku membeliak. "Assalamualaikum, Abi," sapaku segera setelah merebut ponsel dari tangan Bayu. "Waalaikumsalam. Adam, kamu ke mana saja, dari tadi ditelepon kenapa tidak diangkat?" "Maaf, Abi. Adam sedang--" "Ini sudah hampir Magrib. Apa kamu masih di kantor?" "Tidak, Abi. Adam ...." Kedua bola mataku berputar ke sana ke mari, bingung harus menjawab apa. Ditambah lagi nada suara Abi yang agak tinggi, membuatku gugup. Tidak biasanya Tuan Wira seperti ini. "Kamu tau, Suci masuk rumah sakit. Dia mengalami kecelakaan." "Kecelakaan? Di mana?" Tanpa menunda waktu, aku segera berlari meninggalkan keterpakuan para sahabatku untuk menuju rumah sakit. . Aku mengusap wajah gelisah. Kecelakaan? Bodoh! Kenapa bisa? Mati aku! Aku terus merutuki diri sendiri sepanjang jalan. Bukan. Bukan Suci yang aku cemaskan, tapi harga diriku. Selama ini aku tahu Suci selalu berbohong pada orang tuanya soal pernikahan kami. Benar adanya. Suci, dia adalah bidadari berwujud manusia. Selalu memuji dan menyanjungku di depan semua orang, terutama Abi dan Ami. Walau tak cinta, tapi penghormatanku pada kedua mertua tetaplah ada. Bagaimana pun kalau bukan karena Tuan Wira, aku bukanlah apa-apa. Sering kudengar Suci berkata pada orang tuanya, "Suci bahagia Ami, Abi. Suci beruntung punya suami sebaik Mas Adam." Ketika itu aku merasa kagum luar biasa. Kagum atas kebohongannya selama ini, yang sudah berhasil menutupi kehambaran rumah tangga kami. Tentu saja aku pun merasa bangga pada diri sendiri karena orang-orang di sekeliling kami tidak pernah mencurigai sandiwaraku selama ini. Lalu, bagaimana sekarang? Jika benar Suci mengalami kecelakaan, maka akulah orang pertama yang akan disalahkan. Pasti aku dianggap ceroboh dan tidak sanggup menjaga putri sulung keluarga Lesmana. "Abi, Ami," panggilku saat melihat mereka berdiri dengan raut cemas di depan pintu ICU. "Adam?" Ami menoleh. Kedua pipinya basah, tetes air bahkan masih berderai dari mata sendunya. Beberapa langkah lagi untuk sampai di depan mereka, tapi gerak kakiku berubah haluan. Tubuhku limbung, membuat lengan kanan membentur tembok. Aku meringis, mengusap rahang kiri. "Lihat, Bi! Udah Satria bilang dia ini enggak becus jaga Kak Suci!" Baru saja aku berdiri, dengan satu tangan bertumpu pada dinding. Namun, Satria kembali menonjokku. "Satria, cukup!" Abi menahan tubuh anak bungsunya yang hendak melayangkan kembali kepalan tangan. "Permisi, tolong jangan buat keributan." Seorang suster datang memperingatkan. "Maaf, Suster. Ada sedikit kesalahpahaman." Abi pun menarik lengan Satria. "Berhenti, ingat kakakmu sedang kritis di dalam," desisnya dengan nada menekan. Aku kembali berdiri, mengusap rasa perih di bagian bibir. Kalau bukan di depan mertuaku, ingin rasanya membalas perbuatan bocah itu! Pintu ICU terbuka, mengalihkan semua perhatian. Seorang dokter pun keluar. "Anda semua keluarga pasien?" tanyanya, menatap kami bergantian. "Saya ayahnya, dan dia suaminya," tunjuk Abi. "Bagaimana keadaan putri saya, Dok?" lanjutnya seraya menghampiri dokter. "Putri Anda masih dalam masa kritis, semoga dia kuat dan bisa melewatinya. Saya harap keluarga bisa bersabar. Sekarang kita hanya perlu berdoa semaksimal mungkin. Oya, untuk malam ini, pasien hanya bisa ditemani oleh satu orang saja. Silakan dirundingkan. Saya permisi." Dokter perempuan dengan hijab coklat tua itu pun berlalu. Ami menatap Abi, lalu Abi menatapku. "Bi-biar ... Adam yang jaga, Bi," ucapku segera sambil melangkah menghampiri mereka. "Enggak usah! Lu cuman bikin kakak gue susah," tukas Satria dengan nada sinis. "Satria, Adam suaminya. Biar dia yang jaga untuk malam ini, besok pagi kita kembali." Abi menatap Satria tajam. Satria tak berbicara, hanya menampakkan ekspresi kesal. Akhirnya pergi begitu saja dari hadapan kami. "Adam, Ami titip Suci. Kasihan Salwa, dia pasti menanyakan bundanya. Ami pulang dulu, kalau ada apa-apa, beri kabar secepatnya." "Iya, Ami. Maaf merepotkan. Adam titip Salwa dulu selama keadaan Suci belum membaik." Ami mengangguk lesu disertai senyum, kemudian berlalu dengan langkah pelan. "Abi pulang dulu. Abi percayakan Suci sama kamu." Abi menepuk pundakku, yang kuisyaratkan sebagai pertanda menyerahkan sebuah tanggung jawab besar. *** Enam hari berlalu dan Suci masih dalam masa koma. Setiap hari aku menjaganya, bahkan meninggalkan semua pekerjaan demi istriku. Harus aku akui, ada sedikit rasa bersalah yang akhirnya membuatku bertahan seperti ini. Kalau saja waktu itu aku menuruti permintaan Suci untuk menjemput Salwa, mungkin saja kecelakaan ini tidak akan terjadi. Akan tetapi, aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkan diri. Bukankah ini takdir, dan kita tidak pernah tahu seperti apa takdir seseorang? . Aku menatap wajah itu, memastikan keadaannya baik-baik saja. Botol infusan, jarum di pergelangan tangan, selang oksigen juga layar monitor. Semua kulihat satu persatu sebelum memutuskan keluar untuk salat Asar. "Kak ...." Aku yang hendak memutar tubuh, berbalik kembali. Suara siapa itu? Apa mungkin ... Suci? Aku mencondongkan tubuh, mendengarkan lagi secara seksama. Apa benar suara itu berasal dari bibir Suci? Suci menggerakkan bibirnya. "Suci," bisikku sambil menatap wajahnya. "Ini aku, Adam, suami kamu." Bibirnya terbuka kembali. Seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi sulit terucap. Aku semakin mendekatkan wajah. "Ma ... Ma ... Ma ... lik ... Malik ...." Jelas saja aku terperangah. Aku menegakkan tubuh dengan kedua mata terbuka lebar. Siapa Malik? ***** -- bersambung --
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD