Prolog

481 Words
[12 Maret 2012] *** Suasana pernikahan ; bunga segar, makanan, minuman, sanak saudara dan kerabat sebagai tamu undangan. Semua mata tertuju pada satu sudut, di mana ijab kabul akan segera dilaksanakan. "Ananda Adam Azwar Rasyidin bin Hasan Rasyidin, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri kandung saya, Suci Zahira Lesmana binti Prawira Lesmana, dengan mas kawin berupa kalung emas sebesar 20,290 gram, tunai." "Saya terima nikah dan kawinnya Suci Zahira Lesmana binti Prawira Lesmana dengan mas kawin tersebut, tunai." "Bagaimana saksi, sah?" "Sah." "Alhamdulillah ...." Aku merunduk seraya memejamkan mata, mengembuskan napas pendek. Menit yang mendebarkan telah berlalu. Lega karena berhasil mengucap kalimat sakral tersebut dengan fasih dan sempurna, juga merasa bangga karena dengan begitu harga diri ini telah terselamatkan. "Cantik sekali pengantin perempuannya." "Masyaa Allah, seperti bidadari." "Pasangan yang serasi, ya?" Kubuka kedua mata karena mendengar bisikan-bisikan itu. Menengokkan kepala, melihat pada arah ke mana semua tatap mata tertuju kali ini. Seorang perempuan dengan kebaya putih pengantin di tubuhnya, berjalan menghampiriku. Ditemani dua perempuan paruh baya di samping kanan kirinya, ibuku dan ibu mertua. Ya, aku sudah mempunyai mertua sekarang. Dialah Suci, perempuan yang baru aku nikahi beberapa detik lalu. Kini duduk di sampingku. Untuk pertama kalinya setelah status kami resmi sebagai pasangan suami istri. "Sekarang kalian sudah menjadi pasangan halal," ucap lelaki yang sedari tadi duduk di depanku. Tentu bisa ditebak, siapa sosok itu? Beliaulah lelaki bernama Prawira Lesmana, ayah mertuaku. Lelaki yang beberapa waktu lalu menjabat tanganku untuk menjadi wali nikah dari putri sulungnya. "Ya, Abi," sahutku disertai senyum. "Suci, cium tangan suamimu," perintah lelaki yang sering dipanggil dengan nama Tuan Wira itu. "Iya, Abi," ujar Suci. Mendengar itu, aku memutar tubuh. Memberikan tangan kanan pada Suci yang langsung disambut olehnya. Diciumnya punggung tanganku dengan takzim selama tiga detik. "Sekarang, kamu boleh mencium kening istrimu, Adam." Aku mengerjapkan mata, menelan saliva atas kegugupan ini. Namun, bagaimana pun juga aku tidak boleh menunjukkannya pada siapa pun. Akhirnya, aku memegang kedua pundak Suci dengan lembut, mendekatkan wajah ke arahnya, mengecup kening itu untuk beberapa saat. Terdengar pujian dan decak kagum di sekeliling. Lagi-lagi aku harus menahan gejolak rasa tak beraturan dalam d**a. Kulepas tangan kanan, beralih memegang puncak kepala Suci. "Allahumma inni as'aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha 'alaih. Aamiin Ya Rabbal Alaamiin," tandasku. Kuturunkan kedua tangan, menatap wajah di depan mata. Selarik senyum Suci berikan, terkesan gugup dan malu. Aku pun membalas senyum lebar, meski terpaksa. Ya, terpaksa. Karena pernikahan yang akan aku jalani sekarang, adalah sebuah perjodohan. Ibu, hanya itu alasanku untuk menikahi Suci. Aku menikahi Suci atas permintaan dari perempuan yang sudah membesarkanku selama dua puluh tujuh tahun ini. Sekarang, aku harus siap menerima konsekuensinya. Tentu saja aku harus bisa bersandiwara seperti ini. Berpura-pura menjadi suami yang baik untuk Suci. Entah sampai kapan. Apa mungkin seumur hidupku? Oh, Tuhan. Tolonglah aku. Aku sudah lelah dengan semua sandiwara ini. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD