Terkadang memang seperti itu. Kamu mengatakan benci padanya, tapi kamu tak ingin berjauhan dengannya. Kenapa? Karena kamu enggan dia bebas tertawa.
Suci turun dari mobil Abi. Aku? Mengendarai mobil sendirian. Sepanjang jalan aku mengumpat, melampiaskan kekesalan. Wajah polos Suci saat menolak pulang denganku terus terbayang. Arghh ...!
"Masuk, Adam!" ajak Abi selepas aku menutup pintu mobil.
"Iya, Bi," aku mengangguk.
"Masyaa Allah, Mbak Suci!" seruan itu terdengar setelah pintu terbuka lebar.
"Bi Marni?" Suci memeluk perempuan berdaster di depannya.
"Alhamdulillah, Bibi bahagia sekali waktu tau Mbak Suci sembuh."
"Makasih, Bi." Suci tersenyum lebar.
"Bunda!"
Aku menatap tanpa berkedip. Salwa berlari, lalu memeluk pinggang ibunya.
"Bunda, Sawa kangen. Oma, Opa sama Om enggak bolehin Sawa lihat Bunda di rumah sakit."
Suci menoleh, "Ini ... Salwa, Mi?" tanyanya ragu.
"Iya, ini Salwa. Putri kamu sama Adam. Cantik, 'kan?" jawab Ami.
Suci tersenyum, tapi terkesan dipaksakan. Lalu senyum itu hilang, saat tatap matanya berserobok denganku.
"Ayo, masuk! Bunda kamu masih harus banyak istirahat." Abi menepuk lembut puncak kepala Salwa.
Salwa mengangguk semringah, lalu mendongkak, menatap Suci. Dia ... menunggu. Aku tahu itu. Salwa menunggu belaian pipi dari ibunya, kecupan hangat di keningnya, atau mungkin gendongan penuh kasih sayang untuknya. Nyatanya, Suci melangkah masuk, tanpa menghiraukan anak itu.
.
Makan malam dilalui dengan keadaan tak biasa. Ya, tak biasa. Teringat beberapa minggu lalu, jika makan malam bersama keluarga mertuaku, suasana akan terasa hangat. Bukan, bukan aku yang menghidupkan suasana, tapi Suci dan Salwa. Sebelum dan sesudah makan mereka pasti banyak berbincang dan mengobrol. Tak jarang Abi harus menegur salah satu dari mereka karena berbicara selama menikmati makan malam juga. Aku juga sesekali menegur mereka, tapi tentu saja cara aku menegur berbeda sekali dengan ketika berada di rumah sendiri.
"Sawa, ayo dimakan. Apa mau disuapin sama Om?" Satria menegur Salwa yang masih mengetuk-ngetuk sendok di atas piring.
Salwa menggelengkan kepala, lalu mengarahkan pandangannya ke depan. Menatap ibunya. Sayang, Suci asyik sendiri menikmati santapannya.
"Salwa."
Dia menoleh ke arahku.
"Makan."
"Iya, Ayah," sahutnya pelan. Kemudian merunduk, memasukkan sendok berisi nasi dan potongan wortel ke dalam mulut dengan gerak lesu.
Satria mengusap kepala Salwa, lalu menoleh ke arahku. Aku berpaling segera, melanjutkan acara makan walau dengan perasaan sedikit aneh--bagiku. Abi duduk di kursi utama, lalu Satria, Salwa dan aku di bagian kanan. Sedang Suci dan Ami duduk di sisi lainnya. Ini ... tak biasa.
.
"Bunda, Sawa ada PR!"
"Bunda, mau dengar enggak kejadian lucu di sekolah tadi?"
"Bunda, kemarin Ibu Aisyah kasih nilai sepuluh. Katanya gambar Sawa bagus!"
Akan tetapi, semua celotehan anak itu hanya mendapat tanggapan berupa senyuman. Senyum kecil, bahkan terkesan kaku dari Suci.
"Bunda, malam ini Sawa mau dibacain kisah Nabi Musa, ya?"
"Bacainnya sama Ayah saja. Bunda ... mau tidur sama Ami," ucap Suci dengan raut tak nyaman.
Semua diam, termasuk aku. Salwa merunduk, memilin ujung piyama bermotif Doraemon.
"Salwa, kita pulang." Akhirnya aku memutuskan untuk bicara.
"Tapi Ayah ...." Matanya berkaca-kaca menatapku.
"Pulang. Nanti Ayah bacakan cerita buat kamu," ucapku dengan nada lembut.
Suci menatap kami, aku tahu karena melihatnya dari ekor mata. Namun, saat aku berpaling ke arahnya, dia membuang muka.
Hampir pukul sembilan ketika aku dan Salwa sampai di rumah. Beruntungnya anak itu sudah tertidur sejak masih di perjalanan. Janji untuk membacakan cerita untuknya bisa kuhindari.
Aku merebahkan tubuh Salwa di atas ranjang, menutupi tubuhnya dengan selimut bergambar Winnie The Pooh. Kusempatkan menyingkirkan rambut di keningnya. Lalu beranjak kembali untuk keluar dari kamar. Ya, gadis kecil itu memang sudah terbiasa tidur di kamarnya sendiri sejak berusia lima tahun, Suci yang mengajarkan.
Hampir aku menutup pintu. Entah kenapa, melihat wajah polos yang terlelap itu membuatku teringat pada perkataan Satria beberapa waktu lalu.
"Gue sempet seneng, waktu tau Kak Suci lupa sama lo. Sampai akhirnya gue inget sama Salwa."
Aku yang sedang memasukkan buku sekolah Salwa ke dalam tasnya, mendengarkan dengan gaya acuh tak acuh.
"Adam," panggilnya.
Aku berdiri tegak, menenteng tas di tangan kanan dan kiri. "Ya?"
"Korban lo bertambah," tukasnya dengan raut wajah datar, dan ternyata dia sudah berdiri tak jauh dariku.
"Korban apa?" Aku bertanya dengan nada heran.
"Korban keegoisan lo," desisnya. "Gue tau, Kak Suci enggak pernah bahagia nikah sama lo. Mungkin, ini jawaban yang dia dapat atas kenyataan pahit pernikahan kalian. Sayangnya, Salwa yang enggak tau apa-apa juga harus merasakan imbas dari amnesia ibunya. Ini semua gara-gara lo, Adam. Dan lo harus tanggung jawab atas semuanya."
Aku mendekatkan wajah, menatapnya tajam. "Lo ... enggak tau apa-apa soal hidup gue sama Suci, jangan asal ngomong."
"Lo pikir gue enggak tau, waktu lagi koma Kak Suci panggil-panggil nama Kak Malik."
Aku memundurkan wajah.
"Gue sempet nengok Kak Suci, tapi ... gue memilih diam, demi Abi sama Ami." Raut wajahnya tidak menunjukkan beban sedikit pun.
"Siapa Malik?"
Satria menaikkan satu sudut bibirnya. "Lelaki yang paling dicintai Kak Suci, jauh ... sebelum dia ketemu lo." Lalu tersenyum mengejek dan memutar tubuh.
"Satria!"
Dia menghentikan langkah, berbalik kembali.
"Di mana?"
"Lo cari tau aja sendiri," sahutnya, ternyata dia mengerti maksud perkataanku. Satria terdiam beberapa detik. "Lo tau 'kan, amnesia sulit disembuhkan?" tanyanya kemudian.
"Hanya masalah waktu," sanggahku.
"Hanya?" Satria tertawa. "Berapa lama? Sebulan, setahun, atau ... selamanya?"
Aku membuang wajah, muak dengan ejekannya.
"Lo tau, kenapa gue tau Kak Suci enggak bahagia nikah sama lo?"
Aku tak menghiraukannya.
"Karena gue bisa melihat perubahan yang terjadi sama dia. Kak Suci berubah. Dulu, dia enggak gitu. Masa lalu Kak Suci itu menyenangkan, penuh tawa. Hanya saja dia berubah jadi pendiam sejak tau harus menikah karena dijodohkan," pungkasnya. Lalu terdengar pintu berdentum.
Aku mengacak rambut. Muak dengan drama hidup ini. Beberapa waktu lalu aku selalu menjadi pemenang, kenapa sekarang ... kalah?
***
Aku terjaga, kala mendengar sayup-sayup suara iqomah. Astaga, kenapa bisa bangun terlambat? Aku bergegas bangkit, duduk mengusap wajah. Lalu menengok ke arah kanan.
"Suci, kamu enggak bangunin aku?"
Hening.
Tertegun, lalu tersadar. Ah, kenapa aku harus teringat dia?
.
"Ayah, bangun. Ayah ...."
"Apa?" Aku memincingkan mata.
"Udah jam enam. Kenapa Ayah bobo lagi?"
Aku melirik ke arah bawah. Sarung dan baju koko masih ada di tubuh. Ck, karena masih mengantuk sampai tertidur di sofa ruang tengah.
"Ayah, Sawa mau sekolah," rengeknya. Dia duduk di sebelahku.
"Hmm."
"Siapa yang antar?" Kini suaranya terdengar sendu.
Aku menegakkan tubuh, melepas peci dari kepala.
Salwa merunduk, memainkan jemari kakinya. "Bunda ... enggak sayang lagi sama Sawa."
Aku mengembuskan napas. "Ayah yang anterin kamu. Mandi sana, Ayah juga mau mandi," ucapku sambil berdiri.
.
Selepas mandi, aku berjalan menuju lemari pakaian. Memilih kemeja, dasi dan jas. Mana yang harus aku pakai?
"Ayah! Ayah ...!"
Astaga, anak itu. "Apa?" tanyaku setelah membuka pintu.
"Baju sekolah Sawa kusut," ujarnya menunjukkan kemeja dan rok terlipat di kedua tangan, masih memakai kaos dalam dan celana sebatas paha.
Mungkin karena kemarin aku memasukkan asal ke dalam tas, baju yang sudah digosok itu pun kusut kembali.
"Tunggu sebentar, Ayah pakai baju dulu," tandasku. Kemudian menutup pintu. Kembali memilih kemeja mana yang harus aku kenakan.
Mau tak mau kuraih saja kemeja hitam dan jas abu-abu, berikut celana hitam dan dasi. Selesai berpakaian, kubuka lagi pintu. Salwa masih berdiri di sana. Persis seperti Suci yang selalu menungguku setiap pagi. Beberapa minggu lalu tentunya.
"Ayo!" ajakku setelah mengerjapkan mata.
"Ayah!"
"Apa?"
"Bunda kalau nyetrika baju di sana," tunjuknya ke kamar ujung, di sebelah kamarnya.
"Hmm," aku menyahut sambil berbalik arah.
Rumah ini memang terbilang besar, tiga kamar di lantai atas dan dua kamar di lantai bawah. Seperti pada umumnya, ada ruang tamu, ruang keluarga dan ruang makan yang berdampingan dengan dapur. Aku membeli rumah ini tiga tahun setelah menikah dengan Suci. Tentu saja, berkat gaji sebagai direktur.
Di kamar yang Suci jadikan penatu, aku mencari meja setrika. Kebingungan, karena selama lima tahun tinggal di rumah ini, tidak pernah sekali pun memasuki ruangan ini.
"Ayah!"
"Apa?"
"Itu mejanya."
Aku melirik. Salwa menunjuk ke satu arah. Benar, meja itu disandarkan pada dinding samping lemari.
"Ini," ucap Salwa lagi berdiri di samping meja kecil, di mana terdapat setrika beserta botol pengharum pakaian. "Bunda suka gosok baju di sini," lanjutnya.
Sepertinya anak ini tahu segala hal tentang keseharian ibunya.
"Sini bajunya," pintaku setelah menegakkan meja dan menghidupkan setrika.
Salwa tersenyum memerlihatkan gigi susunya. Aku menggelengkan kepala melihat kelakuannya. Sambil menggosok baju seragamnya, sesekali kulirik dia. Salwa sedang melantunkan Asmaul Husna sambil menggoyangkan kedua tangannya yang terangkat ke atas.
"Ini bajunya udah, pakai dulu," perintahku.
"Iya, Ayah," jawabnya.
Salwa mengancingkan kemejanya sendiri, sementara aku masih menggosok rok panjang berwarna hijau tosca.
"Ternyata, apa yang Bunda bilang itu bener. Ayah baik," celotehnya.
"Emang Bunda bilang apa?" tanyaku tak acuh.
"Ayah baik, tampan, soleh. Tapi ... kadang suka galak kalau lagi cape. Tapi ... Bunda bilang itu wajar. Jadi ... kalau Ayah lagi cape jangan diganggu," paparnya dengan raut wajah polos dan lugu khas anak-anak. "Semalam, Sawa berdoa, biar Ayah enggak cape, biar Ayah enggak galak."
Aku berdecak mendengarnya. Ada-ada saja.
Setelah memastikan roknya rapi, kupanggil Salwa kembali. Kali ini dia sedang berdiri di depan cermin, bernyanyi sendiri.
"Sawa mau sarapan--"
"Kita beli aja di luar, Ayah enggak punya waktu siapin sarapan," tandasku.
"Iya," ucapnya lesu sembari memakai rok.
Aku keluar dari ruang penatu, menuju kamar untuk mengambil tas. Merapikan tampilan rambut dan pakaian sebelum memutuskan keluar. Ketika membuka pintu, anak kecil itu sudah berdiri di depan kamar.
Lagi-lagi aku harus mengedipkan mata, demi mengusir bayang-bayang itu. Suci.
***
Sabtu, hari di mana aku bisa lebih santai setelah salat Subuh. Rasanya butuh tambahan tidur karena dua malam ini membacakan cerita untuk Salwa. Mengesalkan sekali anak itu. Berkali protes karena cerita yang k****a tidak enak terdengar, lalu saat tokohnya sedang marah suaraku tidak seperti orang marah dan tidak terdengar sedih saat menangis. Alhasil, dia baru bisa tertidur menjelang tengah malam. Ugh.
Suara bel terdengar samar, aku abaikan. Hingga kemudian terasa guncangan di lengan.
"Ayah, ada Bunda di depan!" pekik Salwa.
"Bunda?" Aku menyipitkan mata.
"Iya, sama Om Satia!" teriaknya dengan wajah semringah. "Ayo, Ayah. Buka pintunya," pintanya, kemudian keluar dari kamar.
Sontak aku pun turun dari ranjang, mengikuti Salwa yang sudah berlari-lari sendiri.
"Salwa, jangan kenceng-kenceng larinya," peringatku.
"Cepetan, Ayah! Nanti Bunda lama nunggu," sahutnya tak peduli.
Aku melebarkan mata ke arahnya, dia malah melompat-lompat menggapai anak kunci yang aku gantung di pintu. Anak ini!
"Ya, sebentar," ucapku sembari menarik handle pintu.
Benar saja, Suci dan Satria berdiri di sana.
"Bunda!" seru Salwa.
Suci menarik sudut bibirnya, sedikit.
"Hore, Bunda pulang!" teriak Salwa lagi.
"Assalamualaikum, Cantiknya, Om!" sapa Satria.
"Waalaikumsalam, Om Satia!" Salwa menjawab riang.
"Masuk, Sat ... tria, S-Su ... ci," aku berucap gugup.
"Gue ke sini antar Kak Suci, katanya dia mau ambil sesuatu," terang Satria.
"Sesuatu?" Aku menatap Suci.
"Aku mau ambil ... tasbih. Kamu ... ma-maksud aku ... Mas Adam, lihat?" Dia berucap dengan segan.
"Tasbih?" Aku mengerutkan kening.
"Iya, yang dari batu, warnanya hitam," ucapnya agak pelan.
Aku mengembuskan napas pendek. "Di kamar atas," ketusku.
"Oh, aku permisi ambil," pamitnya.
"Bunda! Bunda enggak ke rumah Oma lagi, 'kan?" Salwa menggapai lengan Suci.
"Salwa, nanyanya nanti aja. Temenin Bunda ke kamar, bantuin cari tasbihnya." Aku menggerakkan kepala.
"Iya, Ayah." Kepalanya mengangguk. "Ayo, Bunda!" Salwa meraih tangan Suci.
Kuperhatikan langkah dua perempuan itu. Salwa melompat-lompat kecil dengan satu tangan menarik lengan Suci, sedang Suci berjalan dengan gerak kaku. Kepalanya menengok ke kanan dan kiri, seperti tamu yang baru pertama kali memasuki rumah ini.
"Adam."
"Ya?" Aku menoleh ke arah suara.
"Sorry, gue kira Kak Suci mau nengok kalian. Sejak kemarin dia minta gue anterin ke rumah ini, tapi waktu di jalan tadi gue tanya tujuannya, ternyata cuma pingin ambil tasbihnya."
Aku mengangkat satu sudut bibir. "Kenapa lo harus minta maaf?"
"Gue enggak enak aja," jawabnya. "Jujur aja, gue prihatin juga lihat Kak Suci ngelamun terus. Kayak mikirin sesuatu. Mungkin dia masih shock atas kejadian ini."
Aku tertawa kecil. Merasa aneh dengan sikap Satria.
"Ke mana?"
Aku berbalik, memberi isyarat pada Satria. "Ini rumah gue," ucapku. Lalu kembali melanjutkan langkah.
"Jangan apa-apain Kak Suci," ujarnya menekan.
Aku hanya menengokkan kepala. Tak peduli dengan ucapannya. Ketika menginjakkan kaki di depan pintu kamar, tampak Suci sedang memegang sebuah pigura.
"Ini foto Bunda sama Ayah waktu nikah," ucap Salwa. "Ini foto Sawa waktu kecil. Bunda bilang waktu kecil aku lucu, jadi Bunda suka fotoin aku," lanjutnya, menunjukkan satu pigura lain dari pelukannya.
Aku tidak tahu ekspresi Suci seperti apa, karena dia berdiri membelakangiku. Namun, bisa kulihat tangannya bergerak, mengusap bagian depan pigura itu.
"Kamu masih belum percaya, kalau kita ini suami istri?" Aku bertanya dengan langkah pelan menghampirinya.
Suci berbalik, menyimpan --atau lebih tepatnya setengah melempar pigura itu ke atas kasur.
"Bunda, lihat ini." Salwa mengulurkan lagi figura lain di tangannya.
"Tidak mungkin," gumam Suci sambil menggelengkan kepala.
"Kamu tidak bisa mengelak lagi, Suci," bisikku di depan wajahnya.
Suci mendongkak, menatap kedua mataku. "Aku tidak percaya," bisiknya.
"Kenapa harus tidak percaya?"
"Aku tidak percaya, jika aku ... pernah mencintai kamu. Aku tidak mungkin menikah dengan lelaki yang tidak aku cintai," tukasnya.
"Kita bahkan sudah punya anak," tunjukku pada Salwa.
Suci memutar kepalanya ke belakang, Salwa sudah menangis memeluk benda di tangannya.
"A ... aku mau pulang."
"Ini rumah kamu, di sini tempatmu," cegahku, mencekal lengannya.
"Lepas!" Suci memberontak.
"Adam!"
Ah, Satria!
"Gue bil ...." Bibirnya terkatup menyadari ada Salwa bersama kami. Lalu Satria berjalan mendekat. "Gue bilang jangan sakitin Kak Suci," desisnya.
"Udah, Satria. Kakak enggak apa-apa. Kita pulang," ajak Suci.
"Suci!"
"Suci!"
"Suci ...!!!" Kedua tanganku sudah mengepal.
"Bunda ...." Lalu tangisan itu pecah.
Sayangnya, Suci tak menghiraukan aku dan Salwa.
Terngiang kembali pertanyaan Satria di malam itu.
Berapa lama? Sebulan, setahun, atau selamanya?
Selamanya?
Apa mungkin Suci akan seperti itu ... selamanya?
*****
--bersambung--