BAB 3. Keraguan

1313 Words
Bukankah itu menyakitkan? Mengetahui raganya masih menjadi milikmu, tapi hatinya entah dalam genggaman siapa. Untuk pertama kalinya aku menyesal atas keteledoran yang telah kuperbuat. Selama ini, semua hal yang aku lakukan pada Suci tak pernah menjadi pikiran apalagi beban. Akan tetapi, sekarang bertolak belakang. Hanya karena menolak permintaan Suci untuk menjemput Salwa, semua jalan kehidupan seolah berbanding terbalik, berputar, dan akulah yang merasa terhimpit. Seakan, aku adalah dalang dari semua kekacauan ini. Menyebabkan Suci kecelakaan, lalu koma dan ... hilang ingatan. Aku berdiri menempelkan kening dan kedua telapak tangan pada jendela kamar. Menatap Suci yang terlelap tidur, dengan bisikkan dalam hati, terus menginginkan jika amnesia itu hanya bualan. Atau mungkin, cuma kebohongan Suci semata. Agar aku bisa menyayanginya sebagai istri. Semua rasa kini berkumpul menjadi satu dalam hati ; kecewa dan emosi yang terpendam. Yang jelas, aku benar-benar malu mengetahui Suci tidak mengenaliku sama sekali. *** "Selamat pagi, Pak Adam," sapa Andini. "Pagi," sahutku. Mundur selangkah setelah teringat sesuatu. "Andini, sudah carikan apa yang aku minta?" "Saya sudah mengirimkan tautannya lewat surel Anda, Pak." "Baik, terima kasih," tandasku. "Pak Adam," panggil Andini kembali. "Ya?" Aku mengurungkan langkah kaki. "Apa salah satu kerabat Anda mengalami amnesia?" tanya Andini dengan ekspresi ragu. Aku menaikkan satu sudut bibir. "Aku masuk dulu," tandasku. Andini hanya menganggukkan kepala, tanpa berkata apa-apa lagi. Aku duduk di kursi kebesaranku, lalu membuka laptop. Memeriksa email yang sudah dikirimkan oleh Andini. 'Beberapa Kasus Amnesia Yang Terjadi Akibat Kecelakaan' Hampir tangan ini menekan tautan yang dia kirim, tapi entah kenapa aku menjadi ragu. Ah, baru membaca judulnya saja aku sudah muak. *** Jam di tangan menunjukkan angka dua saat Bayu dan Cakra berpamitan pulang. Bayu beralasan akan mengantar Mamanya check up, sedang Cakra memiliki janji untuk menemani istrinya belanja. Diantara kami berempat hanya Bayu yang masih betah melajang. Masih menunggu belahan jiwa yang pas katanya. Tinggal aku dan Dodi yang duduk berdampingan dengan meja persegi di hadapan. Lelaki berkaos merah itu masih mempunyai waktu luang untuk bersamaku. Berdalih istrinya sedang menghadiri acara arisan keluarga dan dia malas menemani. "Itu istri lo, kayaknya masih trauma ya, Dam?" Dodi memasang mimik prihatin. Ya, ketiga sahabatku itu baru saja menengok keadaan Suci. Mereka memang cukup loyal dan sangat menghormati istriku, terlebih karena dia adalah putri dari pemilik perusahaan tempat mereka bekerja. Mungkin. "Trauma apa?" Kusimpan gelas berisi kopi di meja setelah meneguknya. "Ya, kecelakaan mobil 'kan pasti meninggalkan pengalaman buruk," paparnya. "Biasanya istri lo ramah, enggak pendiem kayak tadi." Aku tak menjawab, memilih menggerakkan jemari di atas meja hingga menimbulkan bunyi tuk-tuk secara bersahutan. Kembali mengingat kejadian di ruang rawat tadi. Biasanya Suci selalu bertanya tentang keadaan ibunya Bayu, anak perempuan Cakra yang berusia tiga tahun, juga adiknya Dodi yang adalah teman semasa SMA-nya. "Sabar," ucap Dodi sambil menepuk bahuku. "Tugas lo sekarang sembuhin kondisi psikisnya, Dam." Aku menoleh perlahan. "Seandainya dia enggak sembuh, gimana?" Dodi tertawa, seakan mengejek pertanyaanku. "Biasanya, rasa trauma pada seseorang akan hilang kalau dia hidup dipenuhi cinta dan kasih sayang. Lo 'kan udah biasa bersikap lembut sama Suci, paling cuma ditingkatin kadarnya." "Suci amnesia. Jangankan memenuhi hidupnya dengan cinta dan kasih sayang, tiap gue deketin aja, dia menghindar." "Amnesia?" Dodi tercengang. "Iya, amnesia anterograde. Suci kehilangan separuh ingatannya," terangku, lalu membuang muka demi menyembunyikan kekesalanku. Dodi menggelengkan kepala. "Ckckck, enggak mungkin. Amnesia cuma ada di sinetron," cibirnya. Aku meneguk sisa cappuccino di gelas. "Dalam pikirannya, dia merasa belum memiliki suami dan anak." "Maksudnya?" Kali ini wajahnya berubah drastis. Mungkin karena melihatku yang tetap dalam sikap serius meski dia terus mengajak bercanda. Aku menggenggam paper cup di tangan, meremasnya penuh emosi. "Dia inget siapa orang tua dan adiknya, tapi dia enggak inget siapa gue sama Salwa." Dodi menyandarkan punggung sambil mengusap wajah. "Astaga, lo serius?" Kedua matanya melebar. "Jadi ... tadi dia enggak ngomong-ngomong waktu kita tengok .... itu--" "Dia lupa sama lo, Bayu sama Cakra juga," tegasku. Kemudian melempar cup yang sudah tak jelas rupanya ke tempat sampah tak jauh dari tempat duduk. Dodi tak sanggup lagi berkata. Hanya ada suara riuh dari para pengunjung kantin rumah sakit. Hingga akhirnya tak lama kemudian Dodi pun berpamitan pulang. *** Genap tiga minggu Suci dirawat, dan semenjak dia sadar dari koma aku tak lagi harus direpotkan dengan merawat dan menungguinya. Jika ingin ke masjid, aku cukup pamit padanya. Dia hanya mengangguk kecil. Jika aku bertanya dia ingin apa atau perlu apa, maka dia selalu menggelengkan kepala. Hingga akhirnya di malam hari, aku harus tidur di depan kamar kadang di ruang khusus penunggu. Hah, lama-lama aku merasa menjadi manusia paling bodoh! Seperti pagi ini, saat perawat mengantarkan sarapan. Aku masuk, berniat menawarkan diri untuk menyuapinya. "Dokter Winda bilang, kalau kondisi kamu membaik, siang ini bisa pulang," ujarku setelah duduk, lalu meraih piring di atas meja. "Makan," lanjutku sambil mengangkat sendok. Suci menggeser kepalanya. "Makan." Aku menaikkan sedikit intonasi suaraku. Dia menggelengkan kepala. "Suci!" "Tidak." "Kenapa?" "Aku tidak percaya kalau kamu suamiku." Aku menyipitkan mata. "Kenapa tidak percaya? Bukankah Abi dan Ami pun sudah mengatakan kalau aku suamimu?" "Tapi hatiku mengatakan kalau kamu tidak mencintaiku," sanggahnya. Aku menurunkan sendok, bersamaan dengan tangan kiri yang menyimpan piring di atas meja. "Lihat aku." Suci bergeming. "Suci, lihat aku!" Aku mulai emosi. Perempuan dengan kerudung hitam itu malah mengusap kedua belah pipinya. Dia menangis. Muak dengan drama yang dia lakukan, aku menarik dagunya agar sejajar dengan wajahku. Kutatap lekat kedua netra itu. Menelisik cahaya yang terpancar darinya. Dia tidak sedang berbohong. Dia tidak sedang bercanda. Dia ... memang bukan Suci istriku. . Jika Suci tidak bisa merasakan cinta dari setiap kata dan sikapku, maka aku pun bisa melihat perasaannya dari tatapan mata itu. Kenyataannya, Suci benar-benar amnesia. "b******k!" Tahu-tahu Satria datang dan memukulku. Aku yang memang tidak menyadari kehadirannya, jelas tidak mengetahui ini akan terjadi. Akibatnya aku terguling dari kursi besi, dan berakhir di atas lantai. "Ini semua gara-gara lo!" makinya di depan wajahku, lalu kembali menonjok lagi. "Lo ... bunuh gue sekali pun, Suci tetap amnesia," bisikku. "Sialan!" teriak Satria yang semakin kalap. Terdengar langkah kaki bersahutan. Security menarik bahu Satria, lalu seorang perawat membantuku bangun. "Terima kasih," ucapku, kemudian duduk kembali. Masih bisa kulihat Satria digiring keluar oleh lelaki bertubuh tinggi tegap. "Selamat siang, Pak Adam." Aku menoleh cepat. "Dokter Winda?" "Anda terluka?" Tatap matanya menelisik. "Tidak apa, nanti saya obati," ujarku. "Anda sudah selesai memeriksa Suci?" Dokter Winda mengangguk. "Ibu Suci sudah bisa pulang hari ini." "Pulang?" "Iya." "Lalu amnesianya?" Dokter Winda tersenyum tipis. "Kita tau jika amnesia itu tidak ada obatnya," tukasnya. "Hanya masalah waktu." Hanya masalah waktu dia bilang? . Pukul empat sore, Ami sudah membereskan semua barang Suci ke dalam tas ketika aku masuk ke kamar inap kelas VVIP itu. "Abi sudah menunggu di parkiran, Mi," ucapku. "Sudah beres semua administrasi dan obatnya?" tanya Ami. "Sudah," sahutku sambil meraih tas hitam di atas kasur. "Mari," ajakku mempersilahkan ibu mertua. "Ayo, Suci." Ami mengulurkan tangannya. Suci yang duduk di tepian ranjang pun mengangguk, turun lalu meraih tangan Ami. Sempat dia melirikku. Rasanya ingin segera sampai di rumah agar aku tidak harus berpura-pura sabar terus di depan Ami dan Abi. Sampai di parkiran, tampak Abi berdiri bersama Pak Jamal --supirnya. Suci mencium tangan ayahnya, mungkin karena memang baru melihat beliau kembali. Sejak sadar dari koma Pak Wira belum menengok Suci lagi akibat kesibukannya. Aku menyimpan tas di jok belakang. Setelah menutup pintu mobil kemudian menghampiri Suci untuk segera mengajaknya pulang. "Ayo, masuk. Kamu enggak boleh kelamaan di luar, kondisimu belum sepenuhnya sehat," ucapku lembut. Suci menatapku, dengan pandangan terkesan ragu "Adam benar, kamu masih harus banyak istirahat," ujar Ami. "Oya, Adam. Salwa biar malam ini menginap lagi, besok pulang sekolah Ami antar dia sekalian menengok Suci." Kini dia menatapku. "Iya, Ami." Aku mengangguk. "Ayo, Suci." Lalu kuulurkan tangan. Suci menatapku, menatap orang tuanya bergantian. Kembali menatapku lagi, lalu menggelengkan kepala. "Suci ... mau pulang ke rumah Abi sama Ami saja." Aku menautkan kedua alis, dengan kedua tangan terkepal. Suci ...!!! ***** -- bersambung --
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD