Part 9

881 Words
"Kin, kemeja biru saya sudah kering belum?" "Kinera, tolong ambilkan saya minum." "Kamu bisa masak sup enggak?" Baru satu hari aku menginjakkan kaki di rumah Pak Arvian, ia sudah berhasil membuat kepalaku hampir pecah. Jika melakukan tindak kekerasan tidak akan dipenjara, maka sudah dari dua jam yang lalu aku smack down Pak Arvian. "Pak, saya ini bukan pembantu loh!" "Muka kamu mengingatkan saya dengan Mbok saya, gimana dong?" Aku berjalan ke dapur untuk mengambil segelas air putih. Mungkin untuk sekarang kegiatan ini cukup efektif kala emosiku sedang memuncak. Aku menatap miris galon air yang sebelumnya masih penuh, kini hanya dalam hitungan jam sudah hampir ludes. "Kinera..." Suara menyebalkan Pak Arvian kembali terdengar. Ia benar-benar membuatku ingin segera menulikan pendengaranku sejenak. "Saya enggak dengar!" Teriakku sembari kembali minum air putih. Aku memegang perutku yang terasa penuh dengan banyaknya air putih yang dari tadi aku minum. Alamak, rupanya perutku sudah terasa begah. Semua gara-gara Pak Arvian! "Kalau enggak dengar kenapa bisa respon?" "Bodo amat. Saya mau tidur, ngantuk habis pindahan. Bukannya disuruh istirahat, malah disuruh kerja. Memang punya atasan kelakuan kayak setan nih gini, bikin naik darah." Gumamku seraya berjalan menuju kamar. Pak Arvian menghalangi langkahku, "Kamu bilang apa tadi? Setan?" "Oh, itu nama peliharaan saya Pak, mohon jangan dimasukkan ke dalam hati." "Maksud kamu saya peliharaan kamu?" "Enggak, peliharaan saya kan namanya setan bukan Bapak." "Memang ada manusia cerdas yang memberi nama peliharaannya setan?" "Ada, manusia cerdas nan cantik yang memberi nama peliharaannya setan itu saya. Kenapa? Situ ada masalah?" Kini giliran Pak Arvian yang mengacak rambutnya dengan frustasi, "Masakin saya dong, saya lapar." "Asal Bapak tahu ini hari Minggu, hari Minggu saya enggak kerja. Okay?" "Atas rasa kemanusiaan Kin." "Memang Bapak manusia?" "Kamu pikir saya apa?" "Setan." "Setan?" "Iya, soalnya Bapak mengingatkan saya dengan peliharaan saya." Pak Arvian mencubit pipiku dengan gemas, "Semakin kamu buat saya kesal, semakin saya enggak bisa lepas dari kamu." "Oh, bagus deh. Nanti biar kayak di sinetron azab, saya ambil semua harta Bapak, terus Bapak jatuh kismin. Bapak sengsara, saya bahagia. Sungguh happy ending yang menyenangkan." Pak Arvian menyentil dahiku, "Kamu kebelet mau main sinetron azab ya?" "Kayaknya hati nurani saya sudah meronta ingin menjadi pemain sinetron Pak." "Dengan tampilan kayak gini? Saya enggak yakin, kasihan nanti orang-orang pada sakit mata setelah nonton kamu." "Wah, Bapak makin nyebelin ya." "Kamu lebih menyebalkan, Kinera." Aku mendorong Pak Arvian dengan cukup keras, "Sana! Saya mau masuk kamar!" "Siapa yang bilang kamar kamu disini?" "Lah, terus dimana?" "Di sana." Ujar Pak Arvian sembari menunjuk ruangan yang cukup besar, lebih besar tiga kali lipat dari kamar yang ingin aku tuju sekarang. "Kenapa enggak di sini aja?" "Ini kamar khusus pembantu, kamu mau beneran saya anggap pembantu?" Otak cerdasku berusaha mencari kejanggalan dari kamar yang ditunjuk Pak Arvian itu, dalam sepersekian detik aku langsung tersadar, "Pak!" "Apa sih Kin? Kamu kenapa sih dari tadi ngegas mulu kalau ngomong?" "Kenapa kamar saya disebelah Bapak?" "Kamu mau di sebelah satpam?" Aku mengerucutkan bibirku, "Enggak mau lah!" "Ya sudah, jangan banyak protes makanya." "Pak!" "Apa lagi?" "Tolong bawain koper saya dong, berat banget soalnya." "Karena saya berhati malaikat, saya bantu bawakan." "Wajah malaikat tapi kelakuan enggak ada akhlak itu baru benar." Ucapku mengoreksi ucapan Pak Arvian. "Bisa diam enggak?" Aku menggelengkan kepalaku, "Bapak antar koper saya sampai ke kamar dengan selamat ya. Saya masak dulu, saya malas kalau nanti ada yang merajuk karena enggak dikasih makan." "Saya enggak merajuk ya." "Ya ya ya, terserah." Kamarku dan Pak Arvian itu ada di lantai dua, makanya aku meminta Pak Arvian untuk membantu membawakan koperku yang memang sangat berat itu. Aku memakai celemek dan mencuci tanganku terlebih dahulu sebelum memasak. Akhir-akhir ini aku memang sempat belajar beberapa resep sih, jadi kemampuan masakku setidaknya meningkat lah. Aku memeriksa isi kulkas Pak Arvian terlebih dahulu sebelum memutuskan ingin memasak menu apa. Aku menatap kesal isi kulkas Pak Arvian. Mau masak apa aku kalau enggak ada isi? Dengan berat hati, akhirnya aku mampir ke supermarket terdekat untuk belanja beberapa bahan makanan. Pak Arvian memang sudah memberiku kunci rumah dan kartu kredit untuk belanja keperluan rumah. Setelah berpikir panjang, aku memutuskan untuk membuat gado-gado. Pak Arvian itu jarang sekali makan sayur. Setelah kurang lebih tiga puluh lima menit berkutat di dapur, akhirnya aku sudah menyelesaikan masakanku. Cukup lama karena aku masih belum familiar dengan dapur Pak Arvian, alat-alat di dapurnya terlampau canggih hingga membuatku kebingungan. "Pak! Makanannya sudah siap!" Teriakku berharap suaraku sampai hingga ke kamarnya Pak Arvian. Setelah menunggu sekitar lima menit tanpa balasan, aku pun naik ke lantai atas untuk memanggil Pak Arvian. "Pak..." Ucapku seraya mengetuk pintu kamar Pak Arvian. Lama aku panggil dan masih tidak ada jawaban sehingga aku memutuskan untuk masuk ke kamar Pak Arvian. "Pak, bangun dong.." Ujarku seraya menggoyang-goyangkan tubuh Pak Arvian. Temponya beragam mulai dari guncangan cukup lembut hingga terasa sangat brutal. Aku mendengus sebal ketika Pak Arvian masih belum bangun. Membangunkan Pak Arvian itu sama susahnya dengan memecahkan soal matematika atau fisika, sama-sama bikin puyeng. Setelah menimbang berbagai macam cara yang ada dalam otakku, aku pun memutuskan untuk menggunakan cara yang menurutku ampuh. "Pak! Bangun dong!" Ucapku sembari menyipratkan air ke muka Pak Arvian. Benar saja, Pak Arvian langsung bangun dengan muka menahan emosi. "Pak, makanannya sudah siap. Terima kasih." Ujarku yang langsung ngacir ke bawah takut kena amukan Pak Arvian.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD