Aku benar-benar tidak menduga. Kemarin terasa cukup menyenangkan, ternyata Pak Arvian tidak seburuk yang aku pikirkan. Anak-anak panti pun terlihat cukup suka dengan kehadiran Pak Arvian, padahal awalnya aku pikir mereka akan ketakutan melihat wajah suram Pak Arvian.
Setelah ke panti, Pak Arvian sempat mengajakku berkunjung ke beberapa tempat. Perjalanan hari itu benar-benar membuatku memandang berbeda Pak Arvian. Ia terlihat lebih manusiawi, tidak semenyebalkan biasanya.
"Kinera, mulai besok tinggal di rumah saya." Ujar Pak Arvian secara tiba-tiba yang berhasil membuatku hampir jantungan.
Pak Arvian masih waras kan? Memang aku terlihat seperti orang yang sangat mudah?
"Enggak mau! Saya cewek baik-baik Pak."
"Siapa yang bilang kamu bukan wanita baik-baik? Saya hanya minta kamu tinggal di tempat saya."
"Kenapa?"
"Apartemen kamu bukannya masa sewanya hampir habis? Lagi pula kamu belum ada biaya kan untuk sewa lagi?"
Masa sewa apartemen?
Aku memutar otakku untuk mengingat kembali kapan terakhir masa sewa apartemenku habis.
Aku menepuk dahiku kala berhasil mengingat bahwa lusa aku sudah harus membayar sewa apartemen, "Kok Bapak bisa tahu?"
"Saya cenayang."
"Saya serius, Pak. Kok bisa tahu? Tahu dari mana? Bapak enggak berusaha mengorek informasi saya kan?"
"Kamu itu pacar saya, jelas saya harus tahu latar belakang kamu."
Mendengar kalimat itu, jantungku sempat berdebar tetapi perasaan itu segera kutepis.
Pak Arvian kalau ngomong memang enteng banget ya.
Nanti kalau aku baper gimana? Memang dia mau tanggung jawab?
"Tapi itu kan privasi saya."
"Maaf, enggak saya ulangi. Tapi saya memang butuh informasi tentang kamu. Kalau saya tanya langsung ke kamu pun, kamu enggak mungkin mau jawab."
"Terserah."
"Jadi? Pindah ke rumah saya?"
Aku menggelengkan kepalaku, "Enggak, saya ngontrak aja."
Kalau aku tinggal serumah dengan Pak Arvian, enggak baik untuk kesehatan jantung dan mentalku.
"Kamu sewa kamar di sebelah saya, harga bisa nego."
"Serius?"
"Iya. Kamu juga enggak perlu mikir biaya transportasi. Kita bisa barengan pergi ke kantor, kalau saya butuh kamu pun, kamu enggak perlu capek-capek ke rumah saya."
"Jangan buat saya tergiur Pak."
"Saya serius, lagi pula saya butuh yang bisa ngurus rumah."
"Tuh kan! Bapak mau jadiin saya pembantu?!"
Memang seharusnya dari awal aku tidak boleh percaya kalau Pak Arvian punya niat baik.
"Enggak gitu juga Kin, kamu butuh rumah kan? Saya pinjamkan kamar ke kamu, syaratnya kamu hanya perlu urus rumah."
Aku mengenang kembali tabunganku yang mulai terasa mengenaskan itu, bulan ini banyak sekali pengeluaran, aku sampai lupa dengan uang untuk sewa apartemen.
"Deal."
Pak Arvian tersenyum, "Siapkan ruang rapat, bilang ke Denada kalau saya ingin diskusi dengan tim dia."
"Baik, Pak."
"Panggil Mas atau sayang gitu."
"Never."
"Sekalian latihan kalau nanti kamu bertemu Mama saya. Kesalahan sekecil apapun bisa dideteksi oleh Mama saya. Kamu enggak tahu kalau Mama saya punya indra kesebelas?"
"Bapak ngelawak?"
"Iya. Lucu enggak?"
"Garing."
"Bodo amat, pokoknya cepat panggil saya Mas."
"Tapi kan ini masih di kantor Pak, lagian saya geli dengan panggilan seperti itu. Bapak lebih cocok."
"Saya merasa kamu itu seperti anak saya waktu kamu panggil saya Bapak."
"Biarin. Papa minta pulsa dong!"
Pak Arvian menatapku jengah, "Enggak cocok. Cepat panggil Mas."
"Enggak mau!"
"Kinera..."
"Iya Mas, puas?"
Setelah mendengar ucapanku, Pak Arvian mengusirku dengan tangannya, "Cepat siapkan."
***
Aku mengutuk diriku sendiri yang dengan mudahnya menerima tawaran Pak Arvian. Sebenarnya aku itu kenapa sih? Biasanya juga aku sangat berhati-hati, kenapa kalau dengan Pak Arvian rasanya sulit sekali untuk menolak?
Aku menghempaskan tubuhku ke ranjang, sangat melelahkan menjadi sekretaris Pak Arvian.
Selain harus siap mental, fisik pun harus prima sebab jadwal Pak Arvian itu padat sekali.
Aku melirik ponselku, membaca beberapa pesan yang tak sempat aku balas. Salah satu pesan dari adikku yang menanyakan kabarku dan meminta untuk segera dikirimkan uang.
Keluargaku tinggal di luar kota. Ketika usiaku menginjak angka delapan belas, aku memutuskan untuk hidup merantau. Aku sudah biasa dididik untuk melakukan segala hal dengan mandiri. Aku tak ingin adik-adikku kelak merasakan hidup susah seperti aku. Setidaknya aku ingin mereka tidak bekerja saat masih sekolah dan bisa menikmati masa remaja dengan baik.
Saytan
Kin
Besok mau pindahan kan?
Kalau butuh bantuan, jangan sungkan
(Read)
Aku benar-benar tidak paham dengan jalan pikiran Pak Arvian. Kenapa dia tiba-tiba baik kepadaku? Kenapa dia tiba-tiba ramah denganku?
Jujur saja mempunyai hubungan sedekat ini dengan Pak Arvian itu suatu hal yang aneh. Makanya saat aku terlihat akrab dengan Pak Arvian, langsung saja muncul desas-desus bahwa kami ada hubungan khusus. Pak Arvian itu memang cukup terkenal playboy, tetapi kalau dengan karyawan ia selalu memasang tampang judes, tidak peduli secantik apapun karyawan itu. Satu-satunya karyawan yang digosipkan dengan Pak Arvian itu aku.
Aku memutuskan untuk transfer uang ke rekening ayahku terlebih dahulu, benar saja tabunganku langsung ludes banyak.
"Tidak apa-apa, toh uang masih bisa dicari." Ucapku meyakinkan diri.
Aku mengambil koper paling besar yang aku punya dan segera mengisinya dengan pakaian-pakaian yang sekiranya aku perlukan untuk tinggal satu bulan di tempat Pak Arvian.
Iya, aku putuskan hanya satu bulan. Karena setelah itu, aku yakin bisa mendapatkan uang untuk mencari tempat tinggal. Aku hanya perlu mencari pekerjaan sampingan.
Ting!
Raka
Kin
Aku kembali
(Read)
Tak sengaja ponsel yang aku pegang terjatuh dari genggamanku, adegannya persis seperti dalam sinetron yang aku tonton.
Aku meratap pilu pada diriku sendiri, kenapa aku jadi alay gini? Apakah ini pertanda bahwa aku ingin bermain sinetron azab?
Aku menggelengkan kepalaku dengan cepat berusaha mengusir segala pemikiran yang ngawur.
Aku kembali melirik ponsel yang jatuh dengan mengenaskan itu, aku bernapas dengan lega, untung saja tidak rusak.
Pria itu kembali. Satu-satunya sosok laki-laki yang berhasil menyita perhatianku namun juga berhasil menorehkan luka di hatiku.
Tanpa berpikir panjang, aku langsung menekan tombol block.
Aku sebenarnya orang yang sangat hati-hati dan penuh pertimbangan, aku selalu bertindak mengikuti akal, jarang sekali mengikuti hati. Namun ada dua manusia menyebalkan yang berhasil membuatku bertindak secara spontan, mereka adalah Raka dan Pak Arvian.