Duel dan Kenangan

1013 Words
Di tribun VIP, Nancy dan Gilbert duduk tenang memperhatikan. Nancy menggenggam kedua tangannya begitu erat, matanya tajam mengamati sang putri. Gilbert, dengan ekspresi santai, hanya sesekali tersenyum tipis, seolah menikmati drama di balik sorakan ribuan orang itu. Sementara Lisa terus berteriak, mengabaikan semua suara lain: "Fokus Tiffany! kamu pasti juara!" Dan sorak sorai penonton makin menggila ketika announcer dengan suara lantang mulai memanggil nama finalis ke arena. Pertarungan final kejuaraan karate itu digelar dengan sistem dojo selama tiga ronde, setiap ronde berdurasi tiga menit. Suasana di dalam GOR Nasional begitu riuh. ribuan pasang mata menanti duel antara Marta Sataru, sang Juara bertahan tiga tahun berturut-turut, melawan Tiffany Henry, sang debutan cantik jelita yang baru pertama kali menembus final. Di sisi kanan arena, Marta tampak berdiri tegap. Wajahnya penuh percaya diri, sorot matanya tajam menantang. Ia berpengalaman, mengerti cara menguasai panggung besar seperti ini. Para pendukungnya berteriak. "MARTA! HANCURKAN DIA DI RONDE SATU! JANGAN KASIH KESEMPATAN!" Di sisi lain, Tiffany tampak tenang. Meski baru pertama kali tampil di final, ia menunjukkan wibawa seorang petarung. Ia menundukkan kepala sejenak, menarik napas dalam-dalam, lalu mengencangkan ikat sabuk putih di pinggangnya. Dari tribun, teriakan sahabatnya Lisa terus membakar semangat. "Tiffany! Ayo buktikan! Kamu adalah yang terbaik!" Wasit kemudian berdiri di tengah arena. Suaranya menggema lewat pengeras: FINAL KEJUARAN NASIONAL KARATE MAHASISWA SEGERA DIMULAI! PERTANDINGAN MENGGUNAKAN SISTEM DOJO TIGA RONDE, SETIAP RONDE TIGA MENIT. PEMENANG DITENTUKAN MELALUI POIN, KEUNGGULAN TAPEKNIK, ATAU KNOCK OUT!" Penonton bersorak serentak, genderang suporter kembali ditabuh. Atmosfer semakin panas. Wasit mengangkat tangannya. "Kedua atlet! Siap di posisi!" Marta langsung menatap Tiffany dengan senyum meremehkan, "Kau pendatang baru, tak akan bisa bertahan sampai ronde selesai." Tiffanyi hanya membalas dengan tenang, "Aku datang untuk bertanding, bukan mengalah atau menghibur." Wasit mengibaskan tangannya ke bawah, tanda pertandingan babak pertama dimulai. Suara bel berdenting keras. Penonton menahan napas. Tiffany langsung meledak dengan agresivitasnya, maju cepat bagaikan harimau lapar. Pukulan lurus dan tendangan depannya menghantam dengan kekuatan penuh, mencoba menggoyahkan mental Tiffany sejak awal. "Hyaaatt!" teriak Marta, tubuhnya bergerak gesit, berputar memberi serangan tendangan samping yang hampir mengenai kepala Tiffany. Namun, Tiffany dengan refleks luar biasa menunduk, lalu bergerak mundur setengah langkah, mengukur ritme. Nafasnya teratur, tatapannya fokus. Sesekali ia membalas dengan pukulan balik ke arah perut Marta, bahkan sempat mendaratkan GYAKU-ZUKI yang mengenai bahu lawannya, membuat penonton bersorak heboh. "Fany! Keren! jangan takut!" teriak Lisa dari tribun, suaranya tertelan riuh ribuan penonton. Marta semakin bernafsu. Ia menyerang bertubi-tubi, seolah ingin mengakhiri pertarungan hanya dalam satu ronde. Tapi Tiffany tak gentar. Ia terus bergerak ringan di atas kuda-kuda, membalas dengan teknik sederhana tapi efektif. Serangan baliknya membuat Marta sadar bahwa lawannya sang debutan yang tak bisa diremehkan. Waktu berjalan cepat, hanya tersisa detik-detik terakhir. Keduanya saling melempar pukulan dan tendangan, namun sama-sama berhasil menghindar. Tepat ketika Marta mencoba URA-MAWASHI GERI ( tendangan melingkar ke arah belakang), bel ronde pertama berbunyi menghentikan kerasnya pertarungan. Kedua petarung berhenti dengan napas terengah. Marta masih menatap tajam, sementara Tiffany berdiri tenang. Skor papan elektronik masih imbang. Riuh tepuk tangan dan sorakan penonton membahana. Final malam ini jelas bukan pertarungan biasa. Bel ronde kedua berbunyi. Marta langsung menyerbu tanpa memberi ruang bernapas. Tubuhnya melesat cepat, seperti gelombang badai yang tak terbendung. Serangan kombinasi pukulan lurus kanan-kiri disusul tendangan depan mengenai perut Tiffany. "Bukk!" suara hantaman keras terdengar. Tiffany kehilangan keseimbangan, tubuhnya terhuyung dan jatuh ke lantai matras. Penonton menjerit. "Bangun! Tiffany! Ayo berdiri!" teriak Lisa dari tribun.. Tiffany menggertakkan gigi, wajahnya tegang menahan rasa sakit. Wasit mulai menghitung, namun ia segera menepis tangan wasit, memaksa berdiri. Keringat masih menetes, nafasnya mulai berat, tapi sorot matanya masih menyala tajam. Marta tak memberi ampun. Begitu Tiffany berdiri, serangan kembali datang bagai hujan badai. Tendangan samping Marta mendarat di pinggang, disusul pukulan keras telak menghantam rahang Tiffany. "Duggh!" Tiffany terhempas lagi, tubuhnya terguling. Pandangannya berkunang-kunang, suara penonton terasa jauh. Dunia seperti berputar di sekelilingnya. Tubuhnya gemetar. Sorakan penonton seakan menjauh. Untuk sesaat, ia merasa tubuhnya tak mampu lagi melawan. Marta mengangkat tangan ke udara, yakin kemenangan sudah di depan mata. Sorakan suporter Marta menggema memenuhi GOR. Di balik rasa sakit dan matanya yang hampir setengah terpejam, pikiran Tiffany melayang jauh... kembali ke lima tahun yang silam. Di atas tebing yang curam dan jurang yang menganga siap menelan tubuh Tiffany kala itu, tapi sebuah tangan menggapainya kuat. Pria itu begitu tenang, penuh luka tembakan, namun tangannya tak melepaskan genggamannya pada Tiffany. Dengan napas tertahan dan wajah pucat, detektif muda itu menatap matanya. Senyum samar muncul di tengah rasa sakit yang nyaris merenggut nyawa. "DENGARKAN AKU, NONA--JANGAN PERNAH MENYERAH! KAU HARUS BISA, KAU LEBIH KUAT, AYO LAWAN DENGAN KEBERANIAN--KAU LAHIR SEBAGAI PEMENANG--KITA PASTI BISA." Bagi Tiffany, kata-kata itu masih terekam di memorinya sampai sekarang--dan detik itu juga Tiffany berdiri dengan semangat yang baru. Riuh penonton bergemuruh. Semua mata tak percaya melihat Tiffany yang baru saja terhempas - bangkit kembali dengan sorot mata menyala, seolah ada api yang menyala di dalam dirinya. Kata-kata lelaki pemberani di masa lalu itu menggema jelas di kepalanya: "JANGAN PERNAH MENYERAH! KAU TERLAHIR SEBAGAI PEMENANG!" Marta menggeram, wajahnya memerah karena dia merasa tak percaya--Tiffany bisa bertahan. Marta melangkah mundur sambil menatap Tiffany yang berdiri tegak walau tubuhnya penuh memar. "Hebat juga kau?" desis Marta sambil mengepal tinju. Marta langsung menerjang, namun bersamaan dengan itu terdengar suara - TINGG!! - bel tanda berakhirnya ronde ke dua berbunyi--menandakan berakhirnya duel sejenak. Wasit memberi aba-aba. Marta terpaksa menahan amarah, sementara Tiffany menarik napas panjang, menundukkan kepala sejenak, lalu mendogak lagi dengan wajah tenang. Suporter Tiffany langsung bersorak liar, sebagian bahkan berdiri sambil memanggil namanya. Sementara, dari tribun Lisa terdiam tak mampu berkata melihat kondisi sahabatnya yang babak belur. Nancy, terdiam menatap putrinya berkaca-kaca, sementara Gilbert disampngnya terlihat tenang sambil bertepuk tangan pelan melihat anak tirinya bisa bertahan. Sorotan kamera wartawan segera terarah pada wajah Tiffany. di sudut arena pertandingan, sang pelatih Tiiffany merasa prihatin melihat anak asuhnya sudah babak-belur, lalu mengusulkan kepada Tiffany untuk mundur dan tak melanjutkan ronde ketiga. Namun dengan tenang Tiffany berkata tegas, "Aku belum kalah... Coach. Dan dia belum menang." Tiffany berdiri tegak menatap tajam ke depan. Ronde ketiga akan segera dimulai.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD