Kenangan Lima Tahun Lalu

1030 Words
Wasit memberi aba-aba, dan Marta langsung meluncur bagai macan lapar. Pukulan beruntun, tendangan cepat, semua di arahkan ke tubuh Tiffany tanpa henti. Penonton bersorak histeris melihat intensitas serangan sang juara bertahan. Namun berbeda dengan babak sebelumnya, kali ini Tiffany tidak gegabah. Ia bergerak gesit dan lincah, mundur selangkah, memiringkan badan, menangkis seperlunya. Sesekali ia hanya mengangkat lengan untuk menutup serangan, lalu melangkah ke samping menghindar. Marta semakin garang, keringat membasahi wajahnya, nafas mulai memburu. Pukulan kerasnya beberapa kali hanya mengenai udara kosong. Tiffany seolah tahu persis kapan harus mundur dan kapan harus menghindar. Tribun penonton semakin gaduh. "Kenapa Marta tidak berhasil mendaratkan serangan?!" teriak salah seorang komentator. "Tiffany sepertinya sengaja mempermainkan tempo pertandingan! ada strategi dalam jurusnya - memancing emosi lawan." Marta mulai frustasi. Ia menghentak matras dengan kakinya, lalu kembali menyerang dengan tendangan berputar dan mematikan. Tiffany menunduk cepat, lalu menangkis dengan sempurna. Kini, senyum tipis muncul di bibir Tiffany. Tatapannya penuh keyakinan. Marta baru mulai sadar bahwa dirinya sudah menghabiskan banyak tenaga. Sementara Tiffany, walaupun wajahnya memar namun fisiknya masih segar, nafasnya masih teratur. Belum ada serangan balik, tapi suasana berubah total - seperti ada badai yang siap meledak dari tubuh Tiffany. Dan momen awal bagi Tiffany. terjadi. Saat Marta menyerang -Tiiffany menunduk cepat, dengan tendangan memutar--kakinya menyapu dengan tendangan tepat menghantam betis Marta yang lowong dari pertahanannya--BUKK! Marta terbanting--telak menghantam matras. Suasana tribun meledak dengan teriakan penonton. Wasit maju selangkah, tapi Marta dengan cepat bangkit - matanya menyala penuh amarah. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa dirinya yang tiga tahun berturut-turut menjadi juara tanpa terkalahkan. "Tidak mungkin...!" Marta menggeram, rahangnya berdetak, lalu ia menyerang lagi--lebih brutal dari sebelumnya. Tinju, siku, tendangan, semua ia lancarkan tanpa pola, hanya mengandalkan kekuatan dan kemarahan. Serangannya kini penuh emosi, tapi justru itulah yang membuat pertahanannya semakin terbuka. Tiffany tetap melayani dengan tenang. Nafasnya stabil--tak terintimidasi dengan kondisi lawan yang menyerang dengan brutal. Tiffany bergerak lincah, berkelit-menghindar, dan sesekali melepaskan serangan yang membuat Marta semakin terbakar emosi. Setiap kali Marta menyerang, Tiffany seperti mengenal arah serangannya, matanya fokus membaca setiap gerakan Marta, memutar tubuh ke kanan, menangkis dengan blok rapi. Penonton terpaku sejenak, menyaksikan kontras yang mencolok. Marta beringas tapi semakin kacau, sementara Tiffany dengan ketenangan semakin berbahaya. Dan di momen krusial yang di tunggu oleh Tiffany - Marta melompat dengan tendangan sabit andalannya, serangan pamungkas yang selama ini menjatuhkan banyak lawan. Namun, kondisi tubuhnya sedikit goyah saat menyerang, energinya banyak terkuras. Celah kelemahan terbuka jelas. Tiffany berputar cepat, menghindar dan melepaskan serangan balik susulan: sebuah pukulan lurus ke arah wajah diikuti tendangan memutar ke bahu Marta. Tubuh Marta terpental kebelakang, jatuh keras di atas matras, kali ini lebih parah dari sebelumnya. Tribun bergemuruh. Tiffany berdiri tegak, nafasnya masih teratur, sorot matanya tajam penuh keyakinan. Ia menunggu sebuah momen penantian yang sudah di depan mata. Marta mencoba bangkit, tangannya bergetar menopang tubuh, namun kakinya goyah, matanya berkunang. Wasit mulai menghitung. "Satu... dua... tiga..." Marta mencoba memaksa bangkit lagi--tapi dia terhuyung, akhirnya wasit menghentikan pertandingan dan menyatakan Tiffany sebagai sang juara dengan menang Knock Out. Suasana GOR langsung bergemuruh. Penonton berdiri, bersorak lantang menyebut nama Tiffany. Kamera televisi menyorot wajah cantiknya yang masih basah oleh keringat, matanya berbinar penuh kemenangan. Marta duduk di sudut matras, wajahnya pucat, penuh amarah bercampur kecewa. Sang juara bertahan akhirnya kalah, takluk oleh debutan yang baru pertama kali mencapai final. Wasit mengangkat tangan Tiffany tinggi-tinggi. "Pemenang dan juara baru kejuaraan karate tingkat nasional seluruh universitas di negeri ini... Tiffany Henry!" Seketika tribun pecah oleh teriakan suporter. Bunga-bunga dilemparkan ke arah matras, sementara Lisa sahabatnya berteriak sambil melompat girang di tribun. "Fany! Kau luar biasa! Kau juara!" Di bangku VIP, Nancy meneteskan air mata haru, wajahnya penuh kebanggaan melihat putrinya berdiri di puncak prestasi. Sementara Gilbert di sampingnya tersenyum tipis, menepuk tangan Nancy, meski dalam sorot matanya ada sesuatu yang tersembunyi - bukan hanya sekedar rasa bangga. Tiffany menunduk hormat, lalu menatap ke arah tribun. Dalam sorak sorai yang membahana, wajahnya sempat kosong sesaat. Ingatannya kembali kepada sosok pria yang lima tahun lalu menyelamatkannya di jurang maut, sosok detektif muda yang pernah berkata padanya dengan penuh keyakinan. Kata-kata itu kini terasa hidup kembali dalam kemenangannya hari ini. Sorot matanya berkilau. Tiffany tahu, kemenangan ini bukan hanya tentang medali, tapi tentang janji dalam hatinya: untuk menjadi kuat, untuk melanjutkan langkah, dan suatu hari... menemukan kembali sang pemberani yang telah membekas di lubuk hatinya dan tak bisa terhapus. ***** Malam itu, udara terasa tenang. Mobil mewah Nancy Purnama meluncur mulus meninggalkan GOR Nasional. Tiffany duduk di kursi belakang, masih mengenakan jaket timnya, rambutnya yang masih sedikit lembap menempel di pipinya. Sorak-sorai kemenangan masih bergema di kepalanya, namun hatinya terasa hening. Gilbert yang berada di kursi depan, menoleh sambil tersenyum. "Pertarungan tadi luar biasa, Fany. Kau benar-benar hebat. Aku bangga padamu." Tiffany hanya menoleh sekilas, tersenyum tipis. "Terima kasih," jawabnya singkat. Nada suaranya datar, seakan tidak ingin membiarkan Gilbert masuk terlalu jauh ke dalam ruang pribadinya. Nancy mencoba mencairkan suasana dengan menepuk lembut tangan putrinya. "Mama selalu percaya kamu bisa, kemenangan ini adalah awal yang luar biasa." Tiffany menunduk, mengangguk pelan. Ia tidak ingin membahas lebih jauh. Pikirannya terlalu lelah, hatinya masih penuh dengan sesuatu yang lebih dari kemenangan malam itu. Sesampainya di rumah mewah yang berdiri anggun di kawasan elit, Tiffany langsung masuk ke kamarnya. Ia berbenah, melepas baju karate, mandi dan berganti pakaian santai. Lalu, ia duduk di tepi ranjang, lampu kamarnya menyala redup, hanya ditemani sinar bulan yang menembus tirai. Perlahan ia mengambil ponselnya, membuka folder galeri, dan menatap sebuah foto lama - foto seorang pria muda gagah dengan wajah pucat setelah operasi, terbaring di ranjang rumah sakit, namun masih mampu tersenyum tipis. Foto itu diambil lima tahun yang lalu, saat pria itu dinyatakan selamat dari ruang operasi setelah tiga peluru bersarang di tubuhnya. Jantung Tiffany berdegup perlahan. Jemarinya menyentuh layar ponsel, menyusuri wajah itu. "Jaka.... Kau telah jadi gelombang badai dalam hidupku," bisiknya lirih. Air mata yang jarang sekali muncul di matanya kini jatuh juga. Baginya, kemenangan hari ini hanyalah permulaan. Di kedalaman hatinya, ada kerinduan yang tak pernah padam kepada pria tampan dan pemberani yang pernah memegang tangannya di tepi jurang terjal. TIFFANY BERBARING MEMEJAMKAN MATA, TAPI PIKIRANNYA MELAYANG JAUH MENGENANG KISAH LIMA TAHUN YANG LALU. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD