"Tiffany...?" Panggilan ibunya membuat Tiffany tersentak dari lamunan kisah lima tahun yang lalu.
"Iya Mama...?" sahut Tiffany dari dalam.
"Kamu masih belum tidur? Mama lihat lampu kamarmu belum di matikan," balas Nancy dari luar.
"Iya Mama, aku baru mau akan tidur... selamat malam, Mama..." jawab Tiffany.
Setelah itu Tiffany pun mematikan lampu kamarnya dan merebahkan diri di kasur empuknya. Bibirnya tersenyum tipis sambil memandang foto Jaka sekali lagi, sambil berbisik lirih. "Kapan kamu akan kembali ke sini, Pahlawan. Aku ingin melihatmu... tapi apakah kamu masih mengenalku, sudah lima tahun berlalu... bayanganmu masih melekat di hatiku."
Ia lalu menutup ponselnya, kemudian terbuai kembali dalam mimpi indah malam itu.
"KERINDUAN ADALAH BAHASA HATI YANG TAK PERNAH USAI DI TULIS OLEH TINTA WAKTU. TIFFANY MENYIMPANNYA DALAM DIAM, DALAM TATAPANNYA PADA HENING MALAM, BERHARAP ADA BAYANGAN WAJAH ITU YANG MENAMPAKKAN DIRI. BAGINYA, KERINDUAN BUKAN SEKEDAR PERASAAN RINDU PADA SOSOK TAMPAN, TETAPI JUGA PADA KEBERANIAN, KETULUSAN, DAN CAHAYA YANG PERNAH MENUNTUNNYA DI SAAT MAUT MEMBENTANG. SETIAP DETAK JANTUNGNYA MEMBAWA NAMA ITU, DAN DI SETIAP HELA NAFASNYA MEMANGGIL KEMBALI MEMORI TRAGEDI HIDUP ATAU MATI NAMUN MENYENTUH HATI LIMA TAHUN SILAM. KERINDUAN MEMBUATNYA SEMAKIN KUAT, NAMUN SEKALIGUS MENJADIKANNYA RAPUH, SEBUAH LUKA YANG INDAH, SAKIT YANG IA PELUK DENGAN TULUS. MESKI RASA RINDU SEMAKIN MEMBURU, JARAK DAN WAKTU MEMISAHKAN, TAPI HATINYA PERCAYA: SUATU HARI TAKDIR AKAN MEMPERTEMUKANNYA KEMBALI, SEBAB PERASAAN YANG DIDASARKAN CINTA YANG TULUS--TAK AKAN PERNAH HILANG, SAATNYA AKAN TIBA DAN SINARNYA AKAN MENGHIASI HIDUP, SEPERTI KERLIP BINTANG DI MALAM YANG INDAH"
*****
Di sebuah kampus ternama tempat Tiffany menempuh pendidikan, suasana pagi tampak ramai dengan aktivitas mahasiswa. Gedung-gedung modern berdiri kokoh, halaman hijau dipenuhi anak muda yang bercengkerama, beberapa diantaranya sibuk dengan buku, ada pula yang terburu-buru menuju kelas.
Tiffany berjalan anggun dengan seragam kampusnya, wajah cantiknya masih menyimpan sisa kelelahan setelah pertarungan besar yang baru saja ia menangkan beberapa hari lalu. Namun sorot matanya tetap jernih, menampilkan ketenangan sekaligus keyakinan. Disampingnya, sahabat setianya, Lisa--melangkah sambil sesekali bercanda, berusaha mencairkan suasana hati Tiffany yang kerap melamun.
"Sang juara masih sering termenung ya?" canda Lisa sambil menepuk ringan bahu Tiffany.
Tiffany tersenyum tipis, "Aku hanya... memikirkan sesuatu, Lis. Ada hal yang selalu muncul di kepalaku, dan aku tak bisa mengabaikannya."
Lisa menatap sahabatnya penuh arti. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam di balik senyum lembut Tiffany. Namun, ia memilih untuk tidak mendesak.
Keduanya lalu duduk di bangku taman kampus, dikelilingi pepohonan rindang dan kicau burung, tempat yang sering mereka jadikan sudut rahasia untuk berbagi cerita.
namun tiba-tiba.
Suasana kampus yang tenang mendadak tegang. Dari balkon lantai tiga sebuah gedung fakultas, seorang mahasiswa berdiri di bibir pagar - kaki menggantung di udara--sambil berteriak keras memanggil nama Tiffany. Suaranya pecah, berat oleh rasa amarah dan putus asa.
"Fany!! Kau dengar kata hatiku?! kembalilah padaku! kalau kamu menolak--aku akan lompat sekarang!" teriaknya, nadanya penuh ancaman dan luka.
Sementara dari bawah, Tiffany dan Lisa terkejut. Pria itu adalah Yosep--mantan kekasih Tiffany yang baru saja ia putuskan. Yosef tampak pucat dan basah oleh keringat. Di sekeliling mereka, mahasiswa lain berhenti, bisik-bisik panik menyebar, beberapa orang mengeluarkan ponsel untuk merekam, tapi Lisa menatap tajam ke arah mereka, memberi isyarat agar menjauh.
Lisa segera mendekat, suaranya bergetar namun tegas: "Yos! Jangan jadi laki-laki bodoh! ayo... turun sekarang!--kita bicarakan masalahmu baik-baik!"
Namun pria itu menggeleng, matanya basah oleh air mata yang menetes, suaranya melemah penuh pengharapan, "Fany... jangan kau tinggalkan aku... kau adalah harapanku! aku sangat mencintaimu! apapun akan kulakukan asal kau kembali padaku! aku janji!"
Tiffany terdiam, matanya memandang tenang - seolah paham dengan kata-kata yang terucap dari bibir Yosep. Ia menengadah, suaranya lembut namun tegas, menembus kebisingan.
"Yosep... dengarkan aku baik-baik ya. Aku tak ingin kau terluka. Tapi cinta bukan boleh menakut-nakuti apalagi memaksa. Jika kau terus mengancam, itu bukan cara yang terbaik dalan menyelesaikan masalahmu."
Lisa mengeluarkan ponsel dan sambil berbisik ke operator keamanan kampus:
"Laporkan lokasi--sekarang juga." Suara petugas sekuriti segera terdengar dari pengeras, menenangkan massa agar memberi ruang.
Yosef menitikkan air mata, napasnya tersengal. Di atas, seorang dosen juga muncul di balkon, berjalan perlahan mendekati Yosef sambil berkata, "Yosef... saya disini. Ayo kita bicarakan. Tolong turun, saya berjanji akan bantu menyelesaikan masalahmu," nada suaranya penuh empati.
Suara-suara lembut itu meresap. Untuk sekejap Yosef terdiam, lalu suaranya melemah: "Kenapa kau tak menghargai kasih tulusku Fany... aku hanya inginkan kau kembali padaku, kita mulai kehidupan yang baru! aku berjanji membahagiakanmu!"
Tiffany tertunduk sejenak, suaranya tenang, tapi tegas
"Aku tak mencintaimu Yosef... kau tak bisa memaksa! kalau kau tak bisa mengerti... aku tak akan mencegahmu! Silahkan aja melompat!"
Yosef menggantung di pagar lantai tiga, napasnya masih tersengal. Kerumunan mahasiswa berbisik, beberapa coba merekam.
Tiffany menatap Yosef yang sedang runtuh oleh amarah dan keputusasaan.
Yosef menggertak, matanya berkaca-kaca. "Kalau kau tak ingin kembali... aku akan--" suaranya putus.
Tiffany memilih menjawab dengan kata-kata dingin dan tegas: "Yosef--dengar ya! aku tak akan pernah kembali lagi padamu! percuma ancamanmu! Kau yang merusak hidupmu."
Tiffany mengangkat tangannya, ia menambahkan: "Aku tak ingin kau melompat - sebab aku juga tak akan menangis kalau kau tetap melakukannya. Maka... usulku kau turunlah, batalkan dramamu... kurang seru!"
Yosef terdiam. Kerumunan mahasiswa terdiam.
Wajah Yosef berkeringat, namun keraguan tampak jelas.
Tiffany menatap lagi, suaranya lembut penuh keyakinan: "Kalau kau butuh bantuan... aku akan panggil ambulance, sekarang... cepat ambil keputusan Yosef! kalau mau lompat--lakukan! jangan hanya gertak sambal! aku kenal kamu Yos... aktingmu basi!"
Tiffany melangkah tenang, seolah teriakan Yosef di atas gedung tak meninggalkan jejak dalam hatinya. Ia langsung masuk ke kantin kampus, mengambil nampan, memilih makanan tanpa peduli tatapan orang-orang yang masih berbisik membicarakan kejadian barusan.
Petugas sekuriti dan paramedis tiba tepat waktu, beberapa teman mengusap punggung Yosef yang terduduk di lantai sambil menangis.
Lisa buru-buru menghampiri Tiffany di kantin, wajahnya tampak kesal dengan sahabatnya itu, lalu ia langsung duduk di seberang meja menatap Tiffany serius.
"Ada apa Lisa? kamu lapar ya... tinggal pesan saja,--gak usah banyak mikir," gurau Tiffany sambil menyodorkan tampan berisi makanan.
"Fany... kau itu keterlaluan. Ini sudah ketiga kalinya, tiga orang pria di kampus menjadi patah hati karena kamu, Bahkan si Yosef sampai hampir bunuh diri segala. Kau pikir ini hanya lelucon."
Tiffany meneguk jus jeruknya, matanya tetap dingin. "Aku tidak pernah mempermainkan siapapun Lis... Mereka yang terlalu baper. Kalau mereka tak siap untuk kehilangan, - bagaimana mereka bisa menjadi pria sejati. Jadi semua kejadian ini bukan kesalahanku."
Lisa menghela napas panjang, menggeleng dengan getir. "Bukan masalah benar atau salah Fany.... tapi soal hati. Kau terlalu dingin... terlalu senang bermain dengan hati. Jangan sampai suatu hari nanti kamu kena karmanya juga."
Sejenak, tatapan Tiffany melembut, tapi ia langsung menjawab datar. "Aku tak butuh pria seperti mereka, hatiku sedang menunggu... dan orang yang ku nanti sangat dekat denganmu. Aku tak bisa pastikan.... apakah dia sama sepertiku."
Tiffany terdiam sejenak, wajah Jaka membayang sekilas di hadapannya--selalu menghias setiap detak napasnya.
Tiffany tersentak dari lamunan sesaat mendengar Lisa meletakkan sendoknya dengan keras di atas meja, ia menatap Tiffany dalam-dalam.
"Fany, aku ingin kamu jujur... aku sangat penasaran. Sosok pria bagaimana yang bisa meluluhkan hatimu? Kau selalu dingin, mempermainkan banyak pria, lalu mencampakkan mereka. Siapa yang kau cari?"
Pertanyaan itu membuat Tiffany diam sejenak. Ia menatap kosong ke arah luar jendela kantin, seolah mencari bayangan yang hanya ia simpan sendiri. Bibirnya bergerak pelan, namun penuh keyakinan.
"Ada seseorang... dan orang itu dekat denganmu Lisa.... sangat dekat."
Lisa terperanjat kaget, matanya membesar. Jantungnya langsung berdegup cepat, lalu darahnya terasa naik ke kepala. Dengan suara meninggi, ia mendesis.
"Kau maksud.... Arif? Fany! Jangan bilang kau menyukai Arif! Dia pacarku sejak SMA! Kamu pun sudah tahu itu, jangan keterlaluan!"
Tiffany cepat menoleh, ekspresinya tetap tenang meski ada kilatan dingin di matanya. "Aku tidak pernah menyebut nama. Kamu yang terlalu cepat menyimpulkan... Lisa."
Namun Lisa sudah meledak. Ia mengepalkan tangannya, wajahnya agak memerah.
"Jangan main-main Fany! Kau adalah sahabat dekatku, bahkan aku menganggapmu seperti saudara, tapi kenapa kau mengatakan orang terdekatku? siapa lagi maksudmu kalau bukan Arif... hanya dia satu-satunya pacarku."
Tiffany hanya meneguk minumnya perlahan, lalu berkata datar.
"Lisa... orang yang kumaksud bukan si Arif pacarmu. Lagi pula tak mungkin aku mengambil milik sahabatku, dan Arif juga bukan tipeku. Kau camkan itu... wahai sahabatku."
Lisa terdiam, ia menatap Tiffany dengan wajah bingung.