Mayat Sahabat

1312 Words
Setelah Lima Tahun Kemudian Dini hari menyelinap perlahan, menggantikan malam yang masih enggan pergi. Hujan gerimis jatuh tipis-tipis, tak ada suara selain tetes air yang jatuh di atap genteng tua, menambah kesan sunyi yang menggantung di udara. Di balik sebuah tembok tua yang gelap di ujung jalan, sesosok bayangan berdiri diam, memandang jalanan dengan tatapan liar. Matanya menyapu gelap seperti mencari sesuatu atau seseorang. Langkah pelan terdengar mendekat dari lorong sebelah--lambat, berat, tak beraturan. Siapapun itu, ia tak membawa payung. Jejaknya basah, berat, dan terdengar terlalu dekat. Terlalu lambat untuk seseorang yang hanya lewat. Dan pada saat itulah, seekor anjing menggonggong keras memecah sunyinya malam. Sesuatu yang tak biasa sedang terjadi. Suasana menjadi semakin mencekam, suhu udara dingin terasa menembus tulang. Bayangan itu berlari sekencang-kencangnya menembus di kegelapan malam. Ternyata dia adalah seorang pria muda. Wajahnya ketakutan. Sambil berlari, dia meraih ponselnya dan berulang kali coba melakukan panggilan. Namun, sepertinya orang yang dihubungi tidak menjawab, mungkin sudah lelap dalam tidur. Pria itu terus coba berkali-kali menghubungi. Namun, hasil masih sama, panggilannya tak terjawab. Pria muda terus berlari sambil sesekali menoleh ke belakang. Tiba-tiba sebuah mobil melaju kencang ke arahnya, mencoba menabraknya. Dengan gesit si pria menghindar, melompat ke arah kiri sambil menjatuhkan badan, kemudian bangun dengan cepat dan kembali berlari sekencang-kencangnya. "Apa yang akan terjadi? Ke mana aku harus lari? Mereka tak akan pernah melepaskanku!" Pikirnya dalam hati. Sontak dia kaget melihat sosok yang ia kenal berdiri di depannya. Seorang laki-laki yang berperawakan seram, sebuah codet di pipi kirinya, rambut gondrong sebahu, tubuh berukuran sedang dan kekar, kumis melintang di atas bibirnya yang tebal. Melihat sosok yang berdiri di depannya. Pria muda itu langsung berbalik arah, bermaksud menghindar. Tapi sebuah mobil SUV berhenti tepat dari arah berlawanan. Dia tak bisa berlari ke sana. Mobil SUV berhenti, melintangi jalan, menghalangi si pria yang coba untuk lari. Dari dalam mobil SUV turun seorang pria dan wanita. Yang pria bermata sipit, kulit pucat. Sementara yang wanita berwajah cantik. Si wanita berjalan, langkahnya gemulai dan senyum sinis tampak di bibirnya. "Percuma kau terus lari, Budi!" teriaknya. Pria muda yang di panggil Budi segera berbalik melawan arah. Dia sadar, di sana telah menunggu sosok yang menyeramkan. Namun, dia lebih memilih ke arah sana. "Tidak ada jalan keluar lagi, aku harus lawan manusia binatang itu!" gumamnya pelan. Secepat kilat Budi menerjang pria bercodet. Tinju dan tendangan saling susul menghantam. Namun, si codet tak bergeming hanya menangkis ringan. Seperti seorang guru yang melatih muridnya belajar bela diri. Pria codet tertawa sinis, dia bisa mengukur kemampuan Budi. Sambil menangkis dan menghindar. Dia mendesis. "Sudah cukup! Sekarang giliranku!" Dia menangkap lengan Budi, lalu menghentaknya. Trakk! Suara tulang patah terdengar. Tak hanya sampai di situ, sebuah bantingan keras menyusul membuat Budi terhempas di aspal. Budi coba berdiri sambil menahan sakit. Namun, sebelum sempat berdiri normal, sebuah tendangan lurus telak menghantam dadanya. Budi terbanting. Darah mengucur dari mulutnya. Pria bercodet mendekat. Menginjak wajahnya dengan sepatu bootnya. Budi hanya pasrah menahan sakit, dia sudah tak mampu melawan. Dia sadar sepertinya hari ini adalah bagian terakhir dari kisahnya. Pria dan wanita muda mendekati Budi yang tak berdaya. Si pria berjongkok dan menggeledah seluruh tubuh Budi. Dia diam sejenak menatap Budi dengan senyum sinis. "Aku akan pertimbangkan untuk membunuhmu. Tapi katakan, bukti apa yang kau punya? Jika masih ada serahkan sekarang. Sebagai imbalan kau mungkin masih bisa menghirup udara!" ancamnya. Budi terdiam sejenak sambil menahan sakit. Selintas terngiang dalam ingatannya sebuah bukti flashdisk yang dia buang dalam tempat sampah pada saat melarikan diri dari kejaran mereka. Budi mendongak menatap pria itu seolah ingin mengatakan sesuatu. Pria itu tersenyum dingin, kemudian tanpa rasa curiga mendekatkan telinganya kepada Budi. "CUIHHH!!" Air liur bercampur darah dari mulut Budi mendarat tepat di wajah si pria. Sontak wajah pria itu merah. Emosi bercampur rasa malu membaur menjadi satu menjadi kemarahan yang meluap, bagaikan petir yang menggelegar. Dia berdiri cepat. Dengan kuat menendang tubuh Budi yang tak berdaya berulang-ulang. Tak cukup hanya sampai di situ, pria itu melihat sebuah besi berkarat di dekatnya dan mengambil cepat. Lalu dengan sekuat tenaga, dia hantamkan ke kepala Budi yang sudah tak berdaya sama sekali. PRAKKK!! "Mampus kau! Bodoh!" teriaknya sambil meludah dan menendang tubuh Budi yang sudah tidak bergerak, mati dengan kepala retak dan darah bercucuran. "Apa yang kau lakukan, Joni? Kau telah membunuhnya!" ucap si wanita, ia menatap ke arah pria yang di panggilnya Joni. "Kau tidak usah khawatir, Linda. Semua bukti-bukti tentang transaksi sudah aman. Dia memang pantas mampus!" jawab Joni sinis. Linda menatap dan berjongkok melihat ke arah tubuh kaku Budi. "Kau yakin, Joni? Bagaimana kalau dia punya kopiannya?" Joni melangkah pelan menuju mobil. "Tidak mungkin, Linda. Kita sudah mengikutinya dari tadi. Tidak ada siapa pun yang dia temui. Aku juga sudah mengerahkan beberapa anak buah memeriksa seluruh tempat yang di laluinya, info dari mereka tidak ditemukan apa pun." "Semoga kau benar!" ujar Linda. Kemudian dia menatap ke arah pria bercodet yang masih berdiri sambil menghisap rokok. "Lobo!" panggilnya. "Segera bereskan mayatnya, kita harus cepat!" Pria itu mengangguk tanpa bicara. Selanjutnya, si pria bercodet yang di panggil Lobo mengambil sebuah karung besar dari bawah jok mobil, lalu memasukkan tubuh Budi kedalam karung, mengangkatnya dengan mudah, kemudian meletakkan di belakang jok mobil. "Ayo cepat, Lobo!" teriak Linda yang sudah berada dalam mobil bersama Joni. Joni segera menekan gas, mobil SUV mereka melaju, kemudian berhenti di sebuah jembatan tua yang sepi. Lobo keluar dari SUV. Wajahnya tanpa ekspresi. dia langsung membuka pintu bagasi belakang. Linda dan Joni menatap sekeliling memastikan situasi benar-benar aman. Setelah itu Linda memberi kode anggukan dari kaca spion depan ke Lobo. Lobo langsung mengangkat karung yang berisi mayat dan melemparkannya ke bawah jembatan. Semua berjalan sesuai rencana. Tidak ada yang melihat. Mobil SUV pun melaju menembus pekat malam yang berdarah. *** Gerimis masih belum juga reda ketika kabar itu datang. Sebuah karung ditemukan terdampar di pinggir sungai kecil di daerah pinggiran kota. Bau anyir darah bercampur lumpur segera menusuk hidung para warga yang pertama kali menemukannya. Begitu karung itu dibuka, semua orang yang hadir terdiam, sebagian menutup mulut, sebagian lagi mundur perlahan. Di dalamnya, tubuh seorang pemuda terbujur kaku. Kepalanya berlumuran darah, tampak luka parah di pelipis kanan, jelas akibat pukulan benda tumpul. Lehernya penuh lebam, bibirnya pecah, dan jemarinya terkepal seperti menahan sesuatu sebelum mati. Wajahnya pucat, dingin, namun menyimpan bekas rasa takut di detik-detik terakhir hidupnya. Polisi yang tiba di lokasi segera mengidentifikasi korban. Namanya Budi, usia 25 tahun. Beberapa warga mengenalnya sebagai wartawan lepas yang sering meliput kasus-kasus sensitif di kota ini. Namun, data resmi menunjukkan bahwa dalam beberapa bulan terakhir, Budi bekerja sebagai sekuriti di PT. Sinar Surya, perusahaan yang masih tergolong baru, namun kemajuan bisnisnya berkembang sangat cepat. Brigadir Wildan, seorang detektif muda dengan insting tajam, berdiri membeku di sisi karung itu. Tatapannya tak lepas dari wajah pucat sahabat lamanya itu. Ia dan Budi pernah berjuang bersama membongkar jaringan kejahatan di kota ini. Budi adalah informannya yang paling berani dan setia, sering menyusup ke lingkaran berbahaya demi mendapatkan kebenaran. Kini, tubuh itu terbujur kaku di hadapannya, menjadi saksi bisu bahwa permainan yang sedang mereka hadapi jauh lebih berbahaya daripada dugaan awal. Wildan berjongkok, menatap luka di kepala Budi. "Pukulan benda keras, dilakukan dari jarak dekat!" gumamnya pelan. Tangannya mengepal, menahan gejolak emosi yang membakar hati. Dugaan sementara tim forensik mengarah pada pembunuhan terencana. Tidak ada tanda perampokan, tidak ada barang berharga yang hilang, hanya nyawa yang direnggut. Budi mungkin telah menyentuh rahasia yang seharusnya tidak dia ketahui. Di bawah langit yang masih meneteskan gerimis, Wildan berjanji pada dirinya sendiri. "Siapa pun yang melakukan ini, aku akan menemukanmu!" Dia tahu, jalannya tidak akan mudah. Jejak yang dia ikuti bisa membawanya ke dalam sarang yang sama dengan yang telah menelan nyawa Budi. Namun, di balik rasa duka, terselip api tekad. Budi bukan hanya korban, dia adalah pesan peringatan. Dan Wildan, dengan setiap detak jantungnya, bersumpah akan membongkar semua rahasia kotor yang tersembunyi di balik kematian sahabatnya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD