Impian Sepasang Kekasih

1100 Words
Hujan turun pelan membasahi kaca jendela kafe di sudut kota Jakarta. Lampu temaram dan musik jazz lembut membuat suasana terasa hangat, namun di sudut ruangan paling sepi, dua sosok tampak duduk berhadapan dengan wajah serius — Gilbert dan Sherly. Gilbert memandang pria di depannya dengan senyum tipis, jemarinya menggenggam cangkir kopi yang sudah mulai dingin. “Sudah kubilang, bekerja dengan wanita itu bukan ide yang buruk kan?” ujarnya pelan, mata indahnya menatap Gilbert penuh arti. Gilbert mencondongkan tubuh, berbicara lirih. “Aku tahu, Sher. Semua berjalan sesuai rencana. Nancy sudah semakin percaya padaku. Dan sekarang, dia bahkan mulai menyerahkan urusan keuangan pribadi ke tanganku.” Sherly tersenyum miring, matanya berkilat licik. “Bagus. Itu berarti langkah kita tinggal satu lagi. Setelah itu… semua asetnya akan berpindah ke tangan kita.” Gilbert menghela napas panjang, menatap keluar jendela. “Tapi kita harus hati-hati. Wanita itu bukan orang bodoh. Dan sekarang dia mempekerjakan perempuan baru—Wulan. Aku belum tahu siapa dia sebenarnya, tapi entah kenapa aku merasa… dia bisa jadi ancaman.” Sherly meletakkan tangannya di atas tangan Gilbert. “Tenang saja. Selama aku masih di bagian administrasi, semua dokumen dan data keuangan bisa aku atur. Tidak akan ada yang tahu kalau kita sedang main di balik layar.” Gilbert menatap wajah Sherly, lalu tersenyum tipis. “Kau tahu, kadang aku lupa, siapa yang lebih berbahaya, Nancy, atau kamu.” Sherly tersenyum menggoda, mendekat hingga bibir mereka hampir bersentuhan. “Berbahaya hanya untuk mereka yang mencoba menghalangi kita, sayang.” Gilbert tertawa kecil. “Baiklah, untuk sementara kita teruskan permainan ini. Biarkan Nancy percaya aku suami setianya, dan kau jadi bawahan yang patuh. Dan ketika waktunya tiba…” Sherly menyambung kalimatnya dengan suara berbisik, “Semua yang dia punya — akan jadi milik kita berdua.” Keduanya saling berpandangan, senyum mereka berubah menjadi tanda persetujuan akan rencana gelap yang segera dijalankan. Di luar, hujan semakin deras, seolah menyembunyikan kejahatan yang sedang tumbuh di balik cinta terlarang mereka. Sherly menatap Gilbert lekat-lekat, jemarinya masih bertaut di atas meja. Namun Gilbert tampak termenung sesaat, raut wajahnya berubah serius. “Masih ada satu hal yang membuat semuanya tidak mudah,” katanya pelan. Sherly menaikkan alis. “Apa lagi? Semua sudah di bawah kendali kita.” Gilbert menatap lurus ke matanya. “Bukan Nancy… tapi Tiffany.” Sherly terdiam, ekspresinya berubah tajam. “Gadis itu?” katanya dengan nada tak suka. “Dia memang keras kepala. Tapi bukankah dia sibuk dengan kuliahnya? Tidak akan mencampuri urusan perusahaan.” Gilbert menggeleng pelan, suaranya rendah dan dingin. “Kau tidak mengerti. Tiffany bukan hanya seorang anak manja. Dia cerdas, tegas, dan… terlalu berani. Dia tidak pernah percaya padaku sejak awal. Selama dia ada, aku tidak akan bisa sepenuhnya menguasai kepercayaan ibunya.” Sherly menatapnya sambil mengerutkan bibir, lalu bersandar santai. “Jadi apa rencanamu? Menghilangkan gadis itu juga?” Gilbert terdiam sesaat, matanya menyipit, seolah menimbang sesuatu yang berat. “Belum saatnya tapi harus kita lakukan. Dia selalu ikut campur dan sangat mencurigaiku.” Ia mendekat dan berbisik dingin, “...kita harus memastikan dia tidak akan pernah menjadi masalah.” Sherly tersenyum miring, senyum yang tak lagi mengandung kasih, tapi kejam. “Kalau begitu, biarkan kita yang urus nanti. Kita harus punya cara membuat gadis seperti dia hancur… tanpa perlu menyentuhnya sekalipun.” Gilbert tersenyum tipis. “Aku tahu kita pasti bisa melenyapkannya sebelum ia melangkah terlalu jauh.” Hening sejenak. Hanya bunyi rintik hujan di luar kafe yang terdengar, menutupi kalimat-kalimat beracun - yang baru saja diucapkan dua manusia haus kekuasaan itu. Percakapan mereka semakin pelan, namun penuh bara. Lampu redup kafe yang tertutup itu memantulkan cahaya lembut di wajah Sherly, sementara Gilbert menatapnya dengan tatapan penuh rencana. “Setelah semua selesai…” suara Sherly nyaris berbisik, “…kita akan jadi yang berkuasa. Semua aset, saham, dan perusahaan itu akan sepenuhnya jadi milik kita.” Gilbert mengangguk pelan, matanya berkilat ambisi. “Aku sudah siapkan semuanya. Begitu Nancy jatuh, semua kepemilikan berpindah padaku secara hukum. Dan setelah Tiffany… hilang dari jalan kita…” — ia berhenti sejenak, senyumnya dingin — “tidak akan ada satu pun yang bisa menggugat hak waris itu.” Tiffany menyandarkan tubuhnya, menatap Gilbert dengan tatapan lembut namun beracun. “Dan setelah itu kita menikah,” katanya dengan nada menggoda. “Tak ada lagi rahasia. Tak ada lagi peran-peran bodoh sebagai bawahan dan istri tua yang manja.” Gilbert tertawa kecil, nada suaranya lembut tapi menusuk. “Kita akan jadi konglomerat besar, sayang. Nama kita akan ada di sampul majalah bisnis. Dari Jakarta, Macau, Tokyo, sampai Eropa. Semua akan tahu siapa Gilbert Roberto dan Sherly Prayekti.” Sherly tersenyum penuh kemenangan. “Dan bulan madu kita?” Gilbert menatapnya lama, lalu mengangkat gelas kopinya. “Keliling dunia. Tanpa beban, tanpa siapa pun yang bisa menghentikan kita.” Mereka bersulang dengan senyum keji yang samar, dua hati yang telah menukar cinta dengan dosa. Di luar kafe, langit tampak gelap — seperti turut menyimpan rahasia keji dari sepasang pengkhianat yang sedang menunggu waktu untuk menyalakan neraka mereka sendiri. Malam itu, setelah meninggalkan kafe, Gilbert dan Sherly menuju sebuah hotel mewah di pusat kota. Lampu-lampu jalan berpendar di kaca mobil mereka, seolah menyembunyikan niat gelap di balik senyum yang mereka paksakan. Di kamar hotel yang megah, mereka berbicara lagi tentang masa depan — tentang kekayaan, kuasa, dan rencana besar yang akan segera mereka jalankan. Namun di balik tawa dan janji manis itu, tak seorang pun tahu bahwa yang mereka bangun bukan cinta, melainkan konspirasi berlapis dosa. "Aku mencintaimu Sherly..." ucap Gilbert sambil mengecup lembut kening Sherly. Sherly melingkrkan tangannya di leher Gilbert dan menatap matanya manja. "Aku juga Gil.... aku tak sabar menanti impian kita akan jadi nyata," balasnya manja. Mereka saling tatap penuh makna. Lalu perlahan wajah semakin mendekat, di lanjutkan dengan kecupan hangat di bibir - semakin lama semakin liar, tanpa terasa waktu malam itu seolah menjadi surga bagi keduanya. Perlahan helai demi helai terlepas. Ciuman, desahan terasa begitu gairah malam itu - dan keduanya terlelap dalam deru napas birahi yang bergelora. Pagi menjelang, tirai jendela terbuka oleh cahaya matahari. Gilbert berdiri di balkon, menatap langit dengan tatapan ambisius. Sementara Sherly tersenyum dari balik punggungnya, yakin bahwa dunia akan segera mereka genggam. Tapi keduanya tidak menyadari — bayangan karma sudah mulai mengikuti langkah mereka. -Cinta ini lahir di lorong gelap rahasia, di mana janji suci menjadi debu, dan setiap sentuhan adalah dosa yang berbalut rindu. Mereka mencumbu bayangan, berencana mimpi dari rencana kegelapan. bukan karena cinta suci, tapi karena gairah yang membutakan nurani dari sebuah ambisi. dua api yang menari di atas bara kebohongan, yang menyala indah… namun siap membakar segalanya-. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD