Awal Kehidupan Baru

1072 Words
Di layar televisi, tampak sosok gagah: Inspektur Jaka Permana. Wartawan sedang mewancarainya, menanyakan perasaannya menjelang keberangkatannya menuju ibukota. Dengan suara tegas dan penuh wibawa, Jaka menjawab: "Saya hanya menjalankan tugas. Dimanapun ditempatkan, saya akan tetap berdiri melawan setiap kejahatan. Jakarta membutuhkan kami, dan saya selalu siap." Nancy sontak terpaku. Matanya membesar, tangannya bergetar samar. Ingatan lima tahun lalu berkelebat jelas--detik-detik di tepi jurang, pistol para perampok, lalu sosok pemuda yang tubuhnya bersimbah darah namun tetap berjuang melindungi mereka. Hatinya berguncang, napasnya tercekat. "Jaka... kau akhirnya kembali lagi. Detektif pemberani yang namanya tak lekang oleh waktu - putriku Tiffany selalu memujamu sampai sekarang," bisiknya. Kilau kamera wartawan masih menyinari wajah tegas Inspektur Jaka Permana saat ia menatap lurus ke depan. Dengan nada yang tak bisa dibantah, ia berkata: "Brigadir Wildan bukan seorang pengkhianat bangsa. Saya mengenalnya lebih dari siapapun. Dia sahabat saya, pejuang sejati yang berdiri tegak membela bangsa dari kecurangan. Kasus kematiannya tidak akan saya biarkan tenggelam. Saya janji, sesampainya di Jakarta, saya akan buka kembali kasusnya, dan mengusut sampai ke akar-akarnya." Kata-kata itu bergema, memukul hati Nancy bagaikan palu keadilan. Seketika pikirannya berubah--tidak ada lagi keraguan. Ia benar-benar yakin, jika seorang seperti Jaka percaya pada kebenaran, maka ia pun tak akan salah menilai orang. Lima belas menit berlalu, Nancy kembali melangkah menuju ruangan interview. Gilbert sempat melirik ke arah Nancy, rautnya berubah curiga melihat istrinya yang mendadak penuh haru. Nancy menoleh ke arah Wulan dengan sorot mata berbeda dari sebelumnya--lebih lembut, penuh keyakinan. Dengan suara mantap, Nancy berkata, "Interview selesai. Dan keputusannya: Mulai besok, kamu resmi di terima bekerja di perusahaan ini. Datanglah sebelum jam delapan pagi, lalu temui Gilbert - nanti ia yang akan mengarahkan pekerjaanmu." Wulan terperangah. Air matanya menetes tanpa bisa ditahan. Setelah sekian lama berjuang melawan stigma buruk akibat fitnah pada suaminya, akhirnya ada secercah cahaya harapan. Ia membungkuk dalam-dalam, suara parau keluar lirih. "Terima kasih, Bu Nancy... saya berjanji akan memberikan yang terbaik." Senyum tulusnya merekah saat ia melangkah keluar gedung. Hatinya berdebar--bukan hanya karena diterima sebagai karyawan perusahaan tekstil populer, tapi juga karena sang pemilik, Nancy Purnama, terkenal sangat loyal dan melindungi karyawannya. ***** Sore itu, Tiffany baru saja selesai berlatih di kampus. Ia duduk di tepi taman kecil, membuka ponselnya untuk sekedar mengecek berita. Matanya membesar saat membaca headline besar di layar. "INSPEKTUR JAKA PERMANA: AKAN KEMBALI BERTUGAS DI JAKARTA, SIAP USUT KASUS KEMATIAN SAHABATNYA." Jantung Tiffanyi berdetak cepat. Tangannya bergetaran, layar ponsel nyaris terjatuh dari genggaman. Wajah yang selalu membayang dalam ingatannya lima tahun lalu--pemuda pemberani yang menolongnya di ambang maut--akan kembali. "Jaka Permana..." gumamnya lirih, seakan nama itu saja cukup untuk mengguncang seluruh hatinya. Lisa yang duduk di sebelahnya menyadari perubahan ekspresi sahabatnya. "Hey, kenapa? kok wajahmu tiba-tiba merona begitu?" Tiffany buru-buru menutupi senyumnya, namun matanya masih berbinar penuh harap. Ia menggeleng pelan, tapi suaranya tak bisa berbohong. "Akhirnya.... kakakmu akan kembali ke sini, Lisa." Lisa tersenyum samar, sedikit geli sekaligus hangat. Ia mengerti maksud hati Tiffany sebenarnya. "Jadi benar ya... kamu tak bisa melupakan bang Jaka? beruntung sekali kakakku itu. Cerita kalian ini seperti dongeng romantis dalam novel." Tiffany menatap langit yang mulai jingga. Hatinya berdesir, rasa rindu dan penasaran bercampur menjadi satu. "Aku tak peduli apapun kata orang lain. Yang aku tahu... dia adalah pria yang telah datang sejak lima tahun yang lalu... dan sekarang saatnya telah tiba." Tiffany terdiam sesaat menatap Lisa serius, "ingat janjimu Lis.... kakakmu akan datang beberapa hari lagi." Lisa tersenyum tulus, sambil berkata lugas, "oke deh... aku pasti mendukungmu." Mereka berjalan meninggalkan kampus sambil tertawa ceria. ***** Pagi itu, suasana gedung megah Purnama Textile Group tampak ramai. Karyawan bergegas memasuki ruangan masing-masing, sebagian sibuk menenteng dokumen, sebagian lain duduk dilobi sambil berdiskusi. Wulan berdiri dengan sedikit gugup di depan meja resepsionis, mengenakan blazer sederhana namun rapi. Di dalam hatinya, jantung berdetak tak beraturan - hari pertamanya dimulai. tak lama, langkah tegap Gilbert Roberto menghampirinya. Senyum tipis pria tampan itu terukir, namun tatapan matanya tetap dingin dan penuh wibawa. "Selamat datang Wulan," katanya datar. "Mulai hari ini, aku ucapkan selamat bergabung di Purnama Textile Group, saya berharap dengan bergabungnya kamu maka kita akan semakin maju ke depannya." Gilbert kemudian menoleh kesamping memperkenalkan seorang wanita berwajah cantik dengan penampilan menarik dan anggun. Usianya kira-kira sebaya dengan Wulan, sorot matanya cerdas, gerakannya luwes dan penuh percaya diri. "Oh ya, Wulan. Kenalkan... dia adalah Sherly--Kepala Staf Administrasi Purnama Textile Group. Mulai sekarang, kamu berada di bawah pengawasannya." Sherly mengulurkan tangan, senyum ramah mengembang di wajahnya. "Selamat bergabung Wulan, senang berkenalan denganmu. Tak perlu ada rasa canggung, anggap saja saya sebagai temanmu di sini--tak perlu terlalu formil. Jika ada kesulitan, jangan segan bertanya kepada saya atau senior yang lain." Seketika beban di hati Wulan sedikit terangkat. Ia membalas senyum itu dengan tulus, merasakan secercah kehangatan yang menenangkan. "Terima kasih, Bu Sherly. Saya benar-benar bersyukur bisa diterima bekerja di sini," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. Mulai hari itu, Wulan resmi menjadi Staf keuangan di bawah pengawasan Sherly. Dunia baru, dan mungkin - tanpa ia sadari--jalan takdir yang akan membawanya lebih dekat pada intrik besar yang sedang menanti. Hari-hari awal Wulan bekerja di Purnama Textile Group terasa padat. Selama tiga hari berturut-turut ia bekerja keras, bahkan rela pulang sampai larut malam demi menuntaskan laporan keuangan yang menumpuk. Dedikasi dan ketelitiannya membuat beberapa rekan kagum, bahkan Sherly sendiri sering memuji kinerjanya. Namun, di sela-sela keseriusan itu, mata Wulan beberapa kali menangkap hal yang membuatnya resah. Ia memperhatikan hubungan antara Sherly dan Gilbert--terlalu akrab untuk sekedar hubungan atasan dan bawahan. Ada tatapan penuh arti, ada percakapan berbisik yang dihentikan ketika seseorang mendekat, bahkan sekali waktu Wulan sempat melihat Gilbert menepuk bahu Sherly dengan cara yang terlalu lembut. Naluri seorang wanita membuatnya terusik. Tapi ia segera menggeleng pelan, menepis prasangka yang mulai tumbuh. "Aku karyawan baru di sini. Jangan ikut campur urusan orang lain," batinnya, mencoba menenangkan hati. Malam itu, ketika jam menunjukkan hampir pukul sembilan, Wulan merapikan mejanya. Sherly sudah pulang lebih dulu, meninggalkan tumpukan dokumen yang belum tersentuh. Di kejauhan, ia melihat Gilbert keluar dari ruang Nancy, lalu berjalan cepat ke arah parkiran. Dan beberapa menit kemudian, lewat pantulan kaca jendela, Wulan melihat sosok Sherly yang tampaknya juga menyusul keluar dari arah berbeda. Sekilas bayangan itu membuat hatinya berdebar, tapi Wulan kembali memaksa dirinya untuk tidak berpikir macam-macam. Ia hanya ingin bekerja baik, membangun kembali kehidupannya setelah kehilangan suami tercinta. Yang ia tak pahami, kejanggalan kecil yang ia abaikan itu - akan menjadi kunci besar dari rahasia gelap dalam kehidupan Nancy Purnama. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD