Rahasia Hati

1046 Words
Malam itu, meja makan keluarga Ridwan tampak hangat. Aroma sup panas bercampur nasi putih mengepul, sementara gelak tawa terdengar riang. Lisa berceloteh tentang kampusnya, Fariz sesekali menyela dengan gurauan khas remaja, membuat ibunya, Dewi, menepuk pelan lengannya sambil tersenyum geli. Pak Ridwan dengan wajah sumringah menatap keluarganya, lalu membuka percakapan yang sejak tadi ia tahan. "Kalau kabar yang Ayah dengar benar. Beberapa hari lagi, abang kalian Jaka akan kembali bertugas di sini. Sudah lama ia bertugas di luar daerah," katanya sambil menuangkan air ke cangkir. Lisa spontan bertepuk tangan, "Wah, akhirnya! aku sudah lama kangen sama Bang Jaka, Rumah kita lengkap lagi." Fariz yang sedang asyik mengunyah, langsung nyeletuk, "Kalau Bang Jaka di sini, aku makin disiplin jadinya, setiap pagi bangun harus olah raga." Semua tertawa mendengar kata-katanya. Dewi mengusap lembut bahu putra bungsunya, "tapi kamu mau kan jadi seperti abangmu? makanya dia mau kamu latih dirimu dari sekarang Riz?" Suara makin riuh, seolah kehadiran Jaka sudah terasa di tengah meja itu. Ada harapan, ada kebanggaan, dan tentu saja doa-doa dalam hati mereka agar sang putra sulung kembali dengan selamat, membawa kembali cahaya keluarga mereka. ***** Di markas kepolisian yang jauh dari ibukota, suasana sore itu terasa sendu. Beberapa anggota satuan khusus berkumpul di ruang briefing, bukan untuk operasi seperti biasanya, melainkan untuk melepas sosok yang sudah mereka anggap kakak sekaligus panutan--Inspektur Jaka Permana. Brigadir Helena berdiri dengan mata yang berkaca-kaca. "Kaka Jaka.. saya masih ingat waktu misi pertama kita. Aku yang masih baru bertugas dengan kemampuan yang sangat terbatas, tapi Kaka selalu bilang: PERCAYA PADA DIRI SENDIRI SEBELUM YANG LAIN MEMPERCAYAIMU. Kata-kata itu nggak pernah saya lupakan. Berat rasanya harus berpisah." Jaka menepuk bahu Helena lembut, senyumnya tenang, "Kamu sudah berkembang pesat Helen. Ingat, tugas kita bukan hanya sebagai penyidik, tapi sebagai penjaga harapan untuk kebenaran dan keadilan hukum seutuhnya. Aku sangat percaya dan optimis, bersamaku atau tanpaku... kamu akan semakin menjadi baik dan berintegritas tinggi." Freddy dan Youngky, dua rekan setianya, ikut angkat bicara. "Kami merasa kehilangan besar, Komandan. Siapa yang bisa menjadi perisai dan guru kami?" kata Freddy. Jaka menghela napas dalam, menatap mereka satu persatu, "Kalian bukan lagi detektif yang butuh tuntunan, kalian hebat, sama seperti Helena... kelak kalian akan jadi kebanggaan institusi kita." Akhirnya, surat tugas resmi dibacakan. Jaka resmi dipindahkan ke ibukota. Sore itu, pelukan erat, doa, dan ucapan terima kasih mengiringi kepergiannya. Helena berdiri paling lama, menatap sang komandan dengan mata berkaca-kaca. Harapannya semoga suatu hari nanti--mereka akan kembali dipertemukan. ***** Di rumah kecil yang terasa hampa, Wulan duduk di teras sederhana. sudah sebulan suaminya pergi meninggalkan dia selamanya, hari-harinya bagai bayangan panjang yang tak kunjung sirna. Senyum suaminya masih terpatri jelas dalam ingatan, namun kini hanya sunyi yang menemaninya. Foto pernikahan mereka tergantung di dinding ruang tamu - setiap kali melewatinya, hatinya teriris. Wulan kerap menatap foto itu, seakan berharap Wildan bisa kembali--walau itu mustahil. Tetangga, keluarga dan sahabat sudah berkali-kali datang menghibur, tapi Wulan masih termenung sendiri. Sesekali ia menulis dalam buku kecil peninggalan Wildan, tempat suaminya dulu menulis tentang rencana-rencana hidup kedepan. Kini buku itu jadi pengikat kenangan, sekaligus penguat hatinya untuk bertahan. Meski air mata masih kerap mengalir, Wulan mulai mencoba ikhlas, Ia menatap putranya yang masih tertidur - salah satu alasan yang membuat dirinya harus kuat dan tak boleh rapuh. ***** Pagi itu, Wulan berdiri di depan gedung Purnama Tektile Group. Tangannya mantap menggenggam map berisi lamaran. Sejak kematian suaminya yang difitnah sebagai pengkhianat, hidupnya benar-benar jungkir balik. Tabungan sudah menipis--terkuras untuk kebutuhan ia dan putranya, sementara pekerjaan tetap tak kunjung ia dapatkan. Langkahnya terasa berat, tapi doa lirih ia panjatkan di setiap hentakan kaki. "Semoga ini jalanku. Beri aku kekuatan untuk memulai hidup baru," bisiknya dalam hati. Di ruang tunggu, Wulan duduk bersebelahan dengan beberapa pelamar lain yang tampak lebih berpengalaman dan percaya diri. Ia merasa minder, namun ia berusaha menenangkan diri, meyakini bahwa do'a dan ketukusan hati bisa jadi nilai lebih. Ketika namanya dipanggil untuk masuk ke ruangan, jantungnya berdebar kencang. Senyum menghias wajahnya walau ada cemas yang membayang. Baginya, kesempatan ini bukan hanya sebuah pekerjaan - tapi adalah harapan untuk mengangkat kembali martabat keluarganya yang hilang bersama fitnah atas suaminya. Ruangan megah itu terasa tegang. Tiga kursi berjejer di hadapan meja panjang tempat Gilbert duduk dengan sikap penuh wibawa, sementara Nancy tampak elegan dan berkelas dengan balutan gaun formalnya. Ketiga kandidat, termasuk Wulan, duduk tegak berusaha menampilkan rasa percaya diri. Gilbert membuka map berisi data mereka lalu menatap tajam. "Selamat, kalian bertiga sudah melewati semua tahapan. Sekarang adalah tahap terakhir. Kami ingin tahu bukan hanya kemampuan kalian, tapi juga hati dan komitmen kalian." Nancy menambahkan dengan suara lembut namun berwibawa. "Perusahaan bukan hanya butuh karyawan, tapi keluarga. Kami ingin orang yang jujur, pekerja keras, dan penuh semangat. Jadi... ceritakan, apa arti kerja bagi kalian?" Kandidat pertama berbicara lancar tentang pengalaman, ambisi, salary dan karir. Kandidat kedua bicara soal integritas dan prestasi akademik. Lalu giliran Wulan. Ia menarik napas panjang, namun berkata dengan suara bergetar penuh keteguhan. "Bagi saya, bukan hanya tentang materi. Pekerjaan adalah tanggung jawab dan kesempatan untuk bangkit dari keterpurukan, membuktikan bahwa saya mampu dan anakku bisa bertahan hidup dalam kebanggaan." Nancy menoleh sekilas pada Gilbert, ada tatapan berbeda di matanya, seakan tersentuh oleh ucapan Wulan. Ruangan itu tiba-tiba menjadi hening. Gilbert meletakkan map Wulan di atas meja, lalu berkata dengan nada dingin. "Nama suamimu.... aku cukup mengenalnya. Suamimu, Brigadir Wildan bukan? Mantan detektif yang meninggal sebulan yang lalu?" Wulan tercekat, tubuhnya kaku, wajahnya pucat pasi. Ia menunduk. Beberapa kandidat lain saling pandang--heran setelah tahu siapa Wulan sebenarnya. Nancy spontan menoleh ke arah Gilbert, "Gilbert... maksudmu, kasus yang pernah heboh itu, tapi sebaiknya masalah itu jangan dimasukkan dalam proses recruitmen." Gilbert menyeringai tipis, suaranya sarkastis, "Aku hanya mengingatkan. Perusahaan kita punya reputasi yang bersih. Bagaimana kata media dan publik jika kita mengangkat mantan istri seorang pengkhianat negri?" Suasana seketika berubah tegang. Nancy sudah hampir membuka mulutnya untuk menolak Wulan dengan halus, mengikuti bisikan Gilbert yang dingin. Namun, sebelum kata itu terucapkan, suara TV dari ruang tunggu tiba-tiba terdengar masuk--rupanya resepsionis lupa mengecilkan volume. Nancy terdiam sejenak, ada satu nama yang sangat ia kenal terdengar dari kata-kata seorang reporter, ia berdiri, namun sebelum berjalan menuju ruang tunggu, ia berkata tegas, "oke... sementara kita break selama lima belas menit ya... baru kita lanjut." Nancy berjalan meninggalkan ruangan menuju ruang tunggu. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD