Cuaca sore hari menjelang senja kala itu cukup cerah, matahari mulai condong memancarkan cahaya merah. Lampu-lampu jalanan kota mulai berkilau. Andy duduk di sudut apartemennya, tatapannya kosong menatap layar ponsel yang sejak tiga hari tidak menampilkan satu pun pesan atau panggilan dari sang kekasih. Setiap bunyi notifikasi yang terdengar membuatnya berharap - dan setiap kali itu pula hatinya kembali runtuh saat hanya mendapati pesan biasa dari orang lain.
Ia mengingat senyum Melly di malam terakhir mereka bertemu. Senyum yang penuh harapan, senyum ceria yang masih terlukis dalam ingatannya, senyum yang percaya bahwa mereka akan segera memulai kehidupan baru bersama. Ikrar yang terucap dari lubuk hati mereka bersama atas nama cinta yang terlahir dari perasaan tulus.
Matahari terbenam sempurna, malam menjelang, Andy masih menunggu, ia tak bisa terlelap, pikirannya melayang memikirkan Melly sampai matahari terbit kembali dari ufuk timur.
Pagi itu, berita itu datang bagai petir yang menyambar. Seorang tetangga memanggilnya sambil tergesa berkata dan menunjukkan berita daring dari layar ponsel: "MAYAT WANITA DITEMUKAN MENGAPUNG DI TENGAH LAUT OLEH NELAYAN, DIDUGA KORBAN PEMBUNUHAN."
Tubuh Andy kaku, tapi jantungnya berdetak begitu keras hingga nyaris terdengar.
Ia membaca detail berita itu--lokasi, ciri-ciri tubuh, bahkan gaun yang dikenakan korban. Semua sesuai. "Tidak mungkin... tidak mungkin Melly," gumamnya pelan.
Dengan langkah gemetar, ia menuju kantor polisi. Dan di ruang forensik dingin yang dipenuhi aroma obat kimia, ia melihat tubuh itu.
Tubuh wanita yang pernah ia peluk dengan penuh kasih. Kulitnya tampak pucat, bibir membiru, namun Andy mengetahui pasti... dia adalah Melly.
Lututnya goyah, air matanya jatuh menetes pelan. Tangannya meraih jemari Melly yang dingin, menggenggamnya seolah masih bisa memberi kehangatan.
"Melly... kenapa kau pergi tanpa menungguku?" bisiknya, suaranya terdengar pelan, lirih menahan sesuatu yang bergejolak hebat di hatinya.
Di dalam benak Andy, hanya ada satu janji yang kini mengeras menjadi tujuan dan tekad. Ia akan membalas semua. Semua rasa sakit harus di bayar lunas.
Mata Andy.memerah bagaikan bara api, satu wajah tergambar di kepalanya: Escobar Ruiz.
"Kau akan menyusulnya Escobar, dengan caraku," gumamnya pelan setengah berbisik.
*****
Langit sore mulai memerah ketika Andy duduk sendirian di tepi pusara Melly. Angin lembut berhembus, namun hatinya terasa sesak dan panas. Tanah merah di hadapannya masih basah, aroma bunga segar bercampur dengan bau tanah yang baru di gali. Di batu nisan itu, nama Melly terukir indah - tapi bagi Andy, setiap huruf yang terlihat seperti sayatan tajam yang menggores dalam jiwanya.
Sekilas memori kenangan kembali membayang saat terakhir mereka bertemu.
Malam itu Melly menatapnya penuh kasih sayang sebuah janji terikrar di sana.
"Andy..." ucapnya lembut, ada rasa takut dari nada suaranya.
Andy mendekap Melly lembut, membelai rambutnya. "Ada apa Sayangku? apa yang membuatmu gelisah."
Melly membalas pelukan Andy erat--seolah tak ingin melepaskannya. "Entah mengapa... perasaanku gelisah sekali... aku takut kehilanganmu Andy..."
Andy memegang bahu Melly, menatap matanya dalam-dalam. "hanya tinggal beberapa hari lagi Melly... setelah itu kita telah berjanji... kita akan bina kehidupan baru."
Melly membalas lembut tatapan Andy, lalu ia kembali merebahkan kepalanya ke bahu Andy, "bukan itu yang membuatku takut Andy..."
"Kalau begitu... ada apa Mel... kau katakan padaku, aku janji akan membuatmu bahagia." ucap Andy.
Melly mendongak menatap lembut Andy, "Escobar... Andy, aku takut Escobar tidak terima dengan cinta kita lalu ia membunuhmu."
"Membunuhku...? Escobar akan membunuhku?" Andy tersenyum dan tertawa ringan menatap wajah Melly, "tidak semudah itu dia bisa membunuhku Melly... justru sebaliknya, jika ia berani melakukannya... sebelum terjadi... aku yang melenyapkannya duluan."
Melly berjalan pelan menatap jendela apartemen memandang bintang, " bagaimana kalau Escobar membunuhku?"
Andy tersentak lalu menghampiri Melly sambil memeluknya erat, "jangan kau katakan itu Melly... aku bisa kehilangan segalanya... asal jangan kehilanganmu."
Mereka terdiam sambil berpelukan - tak ada lagi kata yang terucap selepas itu, hanya kebisuan dan cahaya bintang yang jadi saksi ketulusan cinta mereka malam itu.
Andy tersentak dari lamunan tentang sang kekasih yang telah pergi untuk selamanya, seketika wajahnya berubah membayangkan sosok pria yang telah menghancurkan mimpi-mimpinya.
Ia menanti kabar tentang Escobar. Sang pembunuh yang menurut yang ia dengar telah berada di kota ini sejak sejam yang lalu. Escobar-lah yang merenggut nyawa Melly dengan kejam. Sosok pria yang dulu ia anggap sebagai pahlawan dan sahabat sekaligus mentor, ternyata adalah iblis kejam yang menyamar dengan jas mahal dan senyum yang menipu.
Beberapa menit Andy hanya terdiam menatap ke arah pusara, matanya kosong namun rahangnya mengeras.
Saat itu, tiba-tiba ponselnya bergetar. Nama seseorang terpampang di layar : Escobar.
Andy menghela napas panjang, lalu menjawab tenang. "Hallo, Tuan Escobar."
Dari sana Escobar membalas, "Andy... aku baru tiba sejam yang lalu dari Mexico," suara Escobar terdengar santai, seolah tak ada apa-apa yang terjadi. "Kita harus bertemu malam ini, datang ketempat biasa ya... di club malam Princes. Kita akan bahas jadwal pertarungan selanjutnya. Jangan lupa, nanti malam pukul sembilan, di tempat biasa--ruang VIP."
Andy membiarkan jeda hening beberapa detik sebelum menjawab, suaranya tetap tenang namun sarat dengan bara api yang di sembunyikan. "Baik. Malam ini aku pasti datang."
Tak ada pembicaraan yang lain, tanpa basa-basi, seolah semua berlalu tanpa ada sedikitpun persoalan yang menjadi hambatan dari hubungan bisnis keduanya. Kemarahan yang membara di hati Andy kala itu, ia redam sempurna, seolah telah terlupakan. Semua ia simpan rapat--seperti pisau belati tajam yang disarungkan dengan rapi menunggu saat tepat untuk menebas.
Begitu panggilan ponsel selesai, Andy menatap kearah batu nisan Melly sekali lagi.
"Melly... waktunya telah tiba, aku bersumpah di atas pusaramu. Malam ini, aku akan menuntaskan semuanya," gumamnya lirih, suaranya bergetar oleh amarah yang dingin bagaikan api yang membeku.
Di lubuk hatinya yang terdalam, ia telah menentukan pilihan dan berjanji: malam ini bukan lagi pertemuan bisnis. Malam ini adalah malam berdarah, sebuah pembalasan yang harus dituntaskan... dan Escobar Ruiz tidak akan pernah kembali sebelum waktu berganti.
Kala waktu menjelang senja, Andy melangkah meninggalkan Melly yang bersemayam di tempat pembaringan terakhirnya.
DENDAM ADALAH API YANG TAK PERNAH PADAM, MEMBAKAR JIWA DARI DALAM DIRI TANPA SEDIKITPUN MEMBERI CAHAYA. KEMARAHAN DAN KEBENCIAN MENDALAM ADALAH BADAI YANG MEMPORAK-PORANDAKAN AKAL, MENENGGELAMKAN PIKIRAN DAN NURANI DALAM GELOMBANG KEGELAPAN TANPA LENTERA YANG DAPAT MEMBERI CAHAYA.
DENDAM DAN AMARAH. KEDUANYA SELALU BERJALAN BERGANDENGAN, MENGIKIS KEDALAM HATI SAMPAI YANG TERDALAM, HINGGA TANPA MENYISAKAN SEDIKIT RUANG UNTUK MEMBUKA CELAH MAAF.
NAMUN BAGI YANG TELAH TERPERANGKAP DALAM LINGKARAN DENDAM DAN AMARAH YANG MEMBARA. API ITU TERASA MENGHANGATKAN, BADAI ITU SEOLAH ADIL DAN MEMBELAI INDAH SEPERTI ANGIN LEMBUT YANG MENYAPA KULIT.
HANYA KETIKA SEMUANYA BERAKHIR, BARULAH KESADARAN MUNCUL--SEBENARNYA DENDAM ADALAH RACUN YANG MENJADI PEMBUNUH BAGI PEMILIKNYA SENDIRI.