I’ll Do Everything for You

2916 Words
1.      I’ll Do Everything for You                                                 Firda menyiapkan ijazah SMA dan fotokopinya. Sebelum kembali ke Purwokerto, ia sempat mengambil beberapa dokumen penting seperti ijazah, akta kelahiran yang entah ia tak tahu, dalam akta itu tertulis nama ayah dan ibunya. Asisten rumah tangga di rumah orang tuanya yang sudah bekerja sejak ia bayi menjadi satu-satunya tempat bertanya terkait status dirinya sebagai anak adopsi kedua orang tuanya. Wanita paruh baya itu hanya mengatakan bahwa Firda adalah anak hasil temuan yang dibuang di toilet Masjid. Firda hanya tinggal dua bulan di panti asuhan sebelum akhirnya diadopsi kedua orang tuanya. Asisten rumah tangga yang biasa dipanggil Uwa Ninih ini hanya menginformasikan bahwa orang tua angkat Firda mengurus surat permohonan pengangkatan anak entah ke pengadilan agama atau negeri, asisten tersebut kurang tahu secara detail. Namun dengan segala kerumitan, akhirnya nama ayah dan bundanya dapat tercetak di atas akta.  Sungguh tak terbayang olehnya bagaimana ribetnya mengurus akta kelahiran dari bayi yang terlahir di luar nikah. Namun ia akan mengusahakan yang terbaik untuk anaknya kelak. Terlintas dalam benaknya untuk pindah menetap di Purwokerto yang artinya dia akan mengurus KTP dengan mengganti alamat lamanya dengan alamat baru, mengurus Kartu Keluarga, yang pada akhirnya bisa digunakan untuk mengajukan permohonan akta kelahiran tanpa mencantumkan nama ayahnya. Ia menyadari, keribetan di dunia soal anak yang terlahir di luar nikah termasuk soal nasab yang dinasabkan pada ibunya dan tidak mendapat hak waris dari ayahnya, jika anaknya perempuan, yang akan menjadi wali nikahnya adalah wali hakim, itu semua sama sekali tak ada apa-apanya dibanding apa yang akan ia tuai di akhirat nanti. Ia telah berdosa besar dan ia tahu setiap dosa sekecil apapun ada ganjarannya. Firda menghabiskan sarapan paginya berupa nasi kuning beserta pelengkapnya yang ia beli dari warung nasi dekat kontrakan. Ia belum bisa memasak. Rayga mengingatkannya untuk belajar masak sendiri, karena akan lebih sehat, higienis, dan bersih. Namun ia belum bisa memasak makanan yang benar-benar layak. Laki-laki itu terlalu baik dan kemarin ia memberikan sejumlah uang untuk biaya makan sehari-hari. Firda tak kuasa menolaknya, meski ia seperti merendahkan diri sendiri. Namun saat ia teringat akan saldo di ATM-nya yang sudah habis dan tak ada sepeser uang pun di dompetnya, ia pun menerimanya. Demi bayinya... Ya demi bayinya. Meski ia tak mengharapkan kehadiran bayi itu, tapi ketika janin terlanjur bersemayam di rahim, ia mencoba ikhlas menerimanya dan ia akan menjaganya. Ia tak mau lagi menambah dosa dengan mengugurkan kandungan. Firda mencoba menikmati menu sarapan meski lidahnya masih terasa pahit. Selera makannya menurun drastis tapi ia paksakan diri untuk makan. Ia berjanji untuk tak menangis lagi. Setidaknya dia ingin berusaha kuat demi bayinya. Semalam ia menangis hingga larut teringat semua kegetiran hidup. Satu hal yang ia sadari, waktu tak bisa diputar ulang dan segala yang telah hilang mungkin saja akan selamanya hilang, tanpa bisa kembali lagi. Hatinya mungkin telah pecah berkeping-keping tanpa bisa direkatkan lagi. Roda berputar dan ia terpelanting ke titik terendah. Kehidupan mewahnya, tak pernah kekurangan sejak kecil, semua hal bisa ia dapatkan, dan apapun bisa ia beli dengan hanya menggesek kartu, kini ia harus belajar meretas semua dari titik nol. Ia belajar hidup sederhana dengan segala keterbatasan. Firda menautkan tali sepatu ketsnya, menenteng tas punggung, lalu keluar dari kontrakan. Ia kunci pintu itu dan berjalan ke gang depan. Ia telah memesan ojek online melalui aplikasi dan ia akan menunggunya di gang depan. Saat ia berjalan, ia bisa mendengar bisik-bisik tetangga kontrakan yang ia tahu tengah membicarakan dirinya. “Bocah wadon sing ayu kuwe lah. Esih enom banget tapi jare lagi meteng. Sing lanang ora gelem tanggung jawab. Melas jare diusir neng keluargane,” ucap salah seorang ibu berdaster warna biru. (Perempuan yang cantik itu lah. Masih muda banget tapi katanya lagi hamil. Cowoknya nggak mau tanggung jawab. Kasian katanya diusir keluarganya). “Kepriwe ora diusir, dadi aib keluarga,” tanggap seorang ibu lainnya. (Gimana nggak diusir, jadi aib keluarga). Hati Firda tercabik-cabik mendengarnya. Dia mungkin belum fasih berbahasa Jawa, tapi dia paham artinya. Ibu-ibu yang tengah berkumpul langsung bungkam kala derap langkahnya semakin mendekat ke arah mereka. Mata Firda berkaca. Jika tak ingat tengah berjalan di jalan umum, mungkin air matanya sudah tumpah. Ia usap perutnya sebagai pertanda ucapan maaf pada bayinya. Kehamilan di luar nikah akan selalu menjadi aib. Sebesar apapun usahanya untuk memperbaiki diri, tetap saja di mata orang, dirinya seolah hanya sampah masyarakat yang rendah, hina, kotor, dan image sebagai perempuan nakal dan nggak bener akan selalu melekat. Ia berdiri di trotoar menunggu ojek online datang. Sejenak ia menerawang pada hiruk pikuk kendaraan yang berlalu lalang di depan mata. Tidak seramai Bandung, tapi cukup padat. Selalu ada penyesalan kala teringat akan dosa yang telah ia perbuat. Sungguh, perempuan akan selalu menjadi pihak yang paling dirugikan ketika ia memutuskan untuk menyerahkan kehormatannya pada laki-laki yang tidak berhak atasnya. Tidak ada pembuktian cinta dengan menyerahkan tubuhmu pada laki-laki selain suamimu. Tidak ada cinta yang seperti itu. Cinta tulus karena Allah akan selalu menjagamu hingga saat yang tepat tiba, hingga ikatan sah menghalalkannya. Cinta yang merusakmu sebelum saat itu tiba, itu bukanlah cinta, tapi nafsu dan godaan syetan yang berbicara. Firda memejamkan mata sejenak lalu membukanya kembali. Sesaat ia melihat dua teman kuliahnya berboncengan dan melaju di depannya tapi mereka tak melihat keberadaan Firda. Dia merenung. Andai saja dia bisa menjaga diri, mungkin saat ini dia pun masih bersenda gurau dengan teman-temannya, masih berangkat ke kampus, atau membolos dan memilih jalan-jalan ke mall. Nara atau Tasya selalu menjadi teman setia yang siap dititipi absen. Dua sahabatnya itu masih peduli padanya. Mereka pernah mengumpulkan uang saku untuk membantunya, tapi Firda menolaknya. Ia tahu Tasya pun anak kost yang kadang masih butuh uang untuk biaya ini itu, sedang Nara sudah pasti menggunakan uang dari suaminya. Ia tak mau merepotkan keduanya. Hanya bantuan dari Rayga yang masih bisa ia terima karena Rayga membantunya sebagai om dari janin di rahimnya. Lamunannya buyar kala driver ojek online berhenti di hadapannya. Firda mengenakan helm yang diberikan oleh driver tersebut lalu diantarkan menuju tempat tujuan. Sepanjang jalan, Firda berdoa agar nanti pemilik rumah makan Padang yang memasang iklan di media sosial bahwa ia membuka lowongan kerja untuk pelayan sekaligus tukang cuci piring, mau memberinya kesempatan untuk bekerja di sana. Ia pikir tak akan sulit untuknya mengerjakan pekerjaan tersebut. Driver ojek berhenti di depan rumah makan tersebut. Setelah memberikan ongkos, ia masuk ke dalam rumah makan. “Permisi Mbak, saya mau ketemu sama pemilik rumah makan ini,” sapa Firda pada salah satu karyawati berjilbab hitam. “Oh mau melamar pekerjaan, ya?” karyawati tersebut sudah bisa menebak kedatangan Firda dengan hanya menelisik pada map yang dipegang Firda. Firda mengangguk, “Iya, Mbak.” “Baiklah, silakan duduk dulu. Saya akan memanggil Bu Siti dulu.” Karyawati tersebut kembali masuk ke dalam. Firda duduk di salah satu sudut. Ia mengedarkan pandangan ke seantero ruang. Suasana rumah makan masih lengang, hanya ada satu dua pengunjung. Maklum masih pagi, rumah makan biasanya ramai saat makan siang. Seorang wanita paruh baya datang menghampiri. Postur badannya sedikit gemuk dengan kacamata yang tangkainya bertengger di kedua telinganya. Dia tersenyum ramah, Firda membalas senyumnya. “Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?” tanya Bu Siti sembari mengamati Firda penuh selidik. Gadis di hadapannya cukup modis dengan kuku-kuku terawat ala salon. Rasanya tak mungkin dia datang untuk melamar pekerjaan. “Saya akan melamar pekerjaan. Saya lihat iklan kalau rumah makan Ibu sedang membutuhkan pelayan dan tukang cuci piring. Saya berminat bekerja di sini, Bu.” “Beneran kamu ingin kerja di sini?” Bu Siti menurunkan gagang kacamatanya, seolah tak percaya Firda benar-benar serius ingin bekerja di situ. Firda mengangguk, “Iya, benar Bu. Ini saya bawa ijazah SMA saya.” Firda menyodorkan mapnya. Bu Siti tersenyum, “Nggak pakai ijazah nggak apa-apa kok. Saya cuma perlu lihat kamu mencuci piring secara langsung. Setelah itu saya ingin melihat cara kamu melayani pembeli.” Frida mengangguk, “Baik, Bu.” Selanjutnya Bu Siti mengajak Firda ke dapur. Di sana sudah ada dua orang yang sedang memasak. Biasanya Firda suka dengan aroma masakan Padang, tapi kali ini ia justru merasa pening dan enek, ada rasa mual namun ia tahan. Firda diberi tugas mencuci piring. Meski di rumah orang tuanya di Bandung, ia tak pernah mencuci piring, tapi ia bisa mengerjakannya. Paling tidak sejak tinggal di kost , dia belajar mencuci perabot makannya sendiri. Tiba-tiba kepalanya terasa pening karena aroma masakan yang entah kenapa ia tak bisa menerimanya. Rasa mual yang tak tertahankan seketika membuatnya berlari kecil ke kamar mandi yang berlokasi di sebelah dapur. Naasnya, tangannya menyenggol setumpuk piring yang sudah dibilas. Tiga piring jatuh ke lantai dan pecah berkeping-keping. Suara gaduhnya tak hanya mengagetkan para karyawan, tapi juga pengunjung yang sedang ada di sana. Firda memuntahkan isi perutnya dengan segala rasa tak enak yang seolah mengaduk-aduk isi perutnya. Belum lagi pusing di kepalanya menjadi penderitaan sendiri untuknya. Sesaat dia bertanya, beginikah rasanya orang hamil? Saat ia keluar dari kamar mandi, Bu Siti dan karyawan yang ada di dapur menatapnya datar. Firda bisa membaca ada amarah yang Bu Siti pendam kala pandangannya menyasar pada retakan piring yang tercerai-berai di lantai. “Maafkan saya, Bu... Saya akan membersihkan piringnya. Nanti saya akan mengganti piringnya juga.” Firda menunduk. Ia merasa bersalah karena telah memecahkan piring di saat ia membutuhkan citra positif di hari pertama bekerja. “Baru hari pertama saja kamu udah memecahkan piring, gimana ke depannya? Maaf saya nggak bisa terima kamu. Sekarang bersihkan piring itu dan setelah itu silakan pulang.” Bu Siti bicara ketus lalu berlalu dari dapur. Firda mengambil sapu untuk membersihkan pecahan piring itu dengan kalut dan rasa sedih yang membelit segenap ruang di hati. Ia kecewa pada dirinya sendiri yang kurang berhati-hati. “Biar saya yang membersihkan, Mbak. Sepertinya Mbak lagi kurang sehat. Mbak duduk saja dulu. Atau mau saya bikinkan teh hangat dulu ya, Mbak,” ujar salah satu karyawati ramah. Entah kenapa setiap ada orang asing bersikap baik padanya, hati Firda langsung bergerimis dan bahkan setitik air mata lolos dari sudut matanya. Ketika keluarga dan bahkan laki-laki yang ia cintai menolaknya serta mencampakkannya, orang asing justru menjadi seseorang yang begitu tulus membantunya. Karyawati berjilbab hitam itu memapah Firda dan menuntunnya duduk. “Nanti, Mbak-nya dimarahi atasan kalau membiarkan saya duduk.” Firda agak terbata. Karyawati itu tersenyum, “Nggak kok, tenang aja.” Gadis itu membuatkan teh hangat lalu disajikan untuk Firda. Selanjutnya ia membersihkan pecahan piring. Teh hangat membuat keadaannya lebih baik. Pening sedikit berkurang dan rasa mual pun berangsur hilang. Namun hatinya masih saja bergerimis. Berkali-kali ia menyeka matanya untuk menahan agar tangisnya tak jatuh. Ia berpikir, bagaimana bisa ia bekerja, mengerjakan pekerjaan yang terhitung mudah saja, ia tak becus. Setelah tehnya habis, ia memanggil karyawati yang telah berbuat baik padanya. “Mbak teh hangatnya berapa?” Firda mengeluarkan dompet dari tasnya. “Nggak usah, Mbak. Beneran nggak usah.” Gadis berjilbab warna hitam itu tersenyum. “Makasih banyak, Mbak. Meski saya nggak diterima kerja di sini. Tapi saya senang bisa ketemu sama orang sebaik Mbak. Nama saya Firda, Mbak. Mbak siapa namanya?” Firda menjulurkan tangan untuk menjabat tangan perempuan di hadapannya. Gadis itu menyambut uluran tangan Firda dengan ramah. “Saya Achi, Mbak. Saya juga senang bisa ketemu Mbak Firda di sini.” Firda bersyukur masih ada orang baik yang peduli akan keadaannya. Sebelum dia pamit, dia sempat bertukar nomor dengan Achi. Firda berencana untuk mampir toko gerabah di dekat alun-alun atau kawasan Kebon Dalem, tapi ia masih merasa sedikit pening. Ia memutuskan untuk kembali memesan ojek online dan pulang ke kontrakan untuk beristirahat. Langit terlihat mendung dan gelap. Sepertinya akan turun hujan. Sepanjang perjalanan pulang ke kontrakan, pikirannya terus berkelana memikirkan pekerjaan apa yang mesti ia tekuni sementara ia merasa tak memiliki keahlian apa-apa. Ia tak menyangka, hamil muda itu benar-benar aneh rasanya. Dia merasa seperti orang sakit saja yang kerap mual, muntah, pusing, bahkan indra penciumannya begitu sensitif. Ia merindukan dirinya yang masih bebas dan merasa baik-baik saja tanpa harus menghadapi morning sickness setiap hari. Namun sekali lagi semua sudah menjadi suratan yang harus ia jalani. Ia mencoba berdamai dengan kata ‘ikhlas' yang tak semudah melafalkannya. Gerimis mulai turun. Driver ojek menawarinya untuk mengenakan mantel, tapi Firda menolak karena sebentar lagi sampai kontrakan. Driver menghentikan motor di depan gang kecil. Firda turun, membayar ongkos dan berjalan masuk menyusuri gang kecil yang lebih bisa disebut lorong kecil karena hanya cukup dilewati oleh dua orang yang berjalan berdampingan. Tubuhnya mulai basah dengan guyuran gerimis yang tiba-tiba semakin deras. Baru saja ia hendak berlari, ingatannya melayang pada janin di rahimnya. Sepanjang pengetahuannya, orang hamil harus lebih berhati-hati lagi dalam bergerak. Ia tetap berjalan meski hujan kecil itu sudah memabasahi bajunya. Ketika Firda tiba di depan kontrakan, tatapannya dikejutkan pada sosok laki-laki yang tengah duduk di pagar teras. “Rayga...” Mereka saling menatap sejenak. “Ayo cepat masuk, Fir, hujan.” Rayga mengamati baju Firda yang sudah basah. Firda berjalan mendekat ke arah pintu lalu memasukkan kunci ke lubang pintu. Pintu dibiarkan terbuka agar orang tidak salah paham dengan kedatangan Rayga. “Kamu duduk dulu aja, Ray, aku mau ganti baju dulu.” Rayga mengangguk. Firda segera masuk ke kamar untuk mengganti bajunya. Dua insan itu duduk berhadapan dengan pikiran masing-masing yang tengah bergelut di benak. Firda bertanya-tanya dalam hati, untuk apa Rayga datang ke kontrakannya. Sedang Rayga mencari kata yang tepat untuk bisa menyampaikan pesan Bayu yang menitipkan sejumlah uang untuk Firda. Rayga meminta kakaknya untuk menemui Firda secara langsung, tapi laki-laki itu tak bersedia. Ia tak ingin kedatangannya menemui Firda hanya akan menerbitkan harapan di hati gadis itu. Bayu tak mau Firda berharap padanya. Bayu juga berpesan agar tak mengatakan bahwa uang itu adalah pemberiannya. “Fir...” “Ya, Ray.” Rayga sibuk merangkai kata di kepalanya. Ia bukan tipikal orang yang mudah berbasa-basi. “Ini buat pegangan kamu.” Rayga menyodorkan sebuah amplop. Firda menatapnya datar. Ia menggeleng pelan. “Nggak, Ray. Kamu udah banyak membantuku. Aku nggak mau merepotkanmu.” “Tolong, Fir, terima ini. Kamu butuh biaya untuk periksa kandungan dan segala macam.” Ada pengharapan besar yang berpendar dari sorot mata Rayga. “Nggak, Ray. Aku nggak mau terus-terusan dibantu. Bukan kamu yang harusnya bertanggung jawab.” Firda tak mau mengambil amplop itu. “Fir, berpikirlah realistis. Kamu sedang butuh banyak biaya sedang kamu belum bekerja. Jadi biarkan aku memenuhi segala kebutuhanmu. Kamu harus ingat, bayi yang ada di perut kamu adalah keponakanku.” Rayga menegaskan kata-katanya. “Aku pasti akan mendapatkan pekerjaan. Aku akan mendapatkannya. Aku sudah berusaha mencari pekerjaan Ray. Aku datang ke rumah makan Padang. Harusnya aku bekerja dengan baik di hari pertama. Tapi aku malah muntah-muntah dan memecahkan tiga piring di sana.” Tangis itu tiba-tiba meluap seolah menumpahkan kesedihan yang sudah menggunung sejak kejadian tak menyenangkan di rumah makan Padang mengacaukan semuanya. “Nyuci piring aja aku nggak becus, Ray. Aku nggak punya keahlian apa-apa. Tapi aku juga nggak mau dikasihani. Aku ingin bisa mandiri, bukan hidup dalam tanggungan orang lain. Aku nggak mau selalu merepotkanmu.” Isak tangis Firda semakin menyayat. Faktor kehamilan ditambah stres dan jiwa yang tertekan membuat emosinya mudah meletup dan ia benci pada keadaannya saat ini yang begitu cengeng. Sedikit sedikit menangis. Sungguh ia tak ingin menjadi lemah. Ia ingin kuat demi bayinya. Namun semua tak semudah dalam imajinasinya. “Kamu sama sekali nggak merepotkanku, Fir. Tolong jangan pernah merasa direpotkan. Aku ikhlas membantumu. Aku masih punya hati Fir. Aku nggak tega melihat kamu berjuang seorang diri, menelan semua derita sendiri sementara kakakku lari dari tanggung jawab. Anggap saja ini caraku meminta maaf atas nama kakakku meski aku tahu, perbuatan kakakku sudah sangat b***t dan tak pantas dimaafkan.” Tatapan Rayga begitu menghunjam, seakan menancap tepat di kedua mata Firda. Firda membeku dengan deru tangis yang masih mencekat. Rayga bingung harus berbuat apa. Jari-jarinya hendak menyeka air mata yang mengalir deras dari kedua sudur mata gadis itu, tapi ia urungkan. Ia mencari-cari tisu tapi tak menemukannya. Rayga menyentuh pipi gadis itu, membuat Firda terhenyak. Jari-jari Rayga menyapu jejak-jejak sembab di pipi Firda. Firda tak berkutik dan salah tingkah, tak berani menatap laki-laki yang sudah begitu baik memperlakukannya. “Maafkan aku, Fir. Aku jadi nyentuh kamu. Cara agar aku berhenti menghapus air matamu adalah kamu harus berhenti menangis. Jika kamu menangis terus, maka jari-jariku pun nggak akan berhenti untuk menghapus tangismu.” Rayga menatapnya ternyuh. Tangis perempuan selalu menjadi sesuatu yang tak tega untuk ia lihat. Hal itu mengingatkannya pada ibunya yang menangis ketika ayahnya sakit dan dirawat di rumah sakit. Firda tercenung. Ia teringat, ia bahkan belum menyajikan minuman untuk Rayga. “Apa kamu ingin minum? Aku nggak punya kopi atau teh, aku ambilkan air putih ya?” Rayga tersenyum, “Nggak usah. Hujan mulai reda. Aku akan pulang. Itu juga kalau kamu mau menerima uang ini. Kalau kamu nggak mau menerima, aku nggak akan pulang,” ujar Rayga santai. Firda terbelalak, “Aturan dari mana itu?” “Aturan dariku,” Rayga tersenyum sekali lagi. Firda menghela napas, “Baik, aku menerimanya. Terima kasih.” “Aku pamit dulu. Aku akan bantu mencari pekerjaan untukmu. Jaga kesehatanmu dan kandunganmu.” Rayga beranjak dan berjalan ke arah pintu. Ia melirik Firda yang juga sudah berdiri dari posisinya. “Assalamu'alaikum.” “Wa’alaikumussalam.” Firda terpekur menatap langkah Rayga yang semakin jauh. Ia tak mau menafsirkan lebih akan perhatian yang Rayga berikan untuknya karena ia tahu Rayga hanya bersimpati padanya dan bertanggung jawab pada calon keponakannya. Satu yang pasti, ada ataupun tidak ada Rayga yang memberinya perhatian dan mencukupi kebutuhannya, dia akan terus berjuang. Apapun akan ia lakukan untuk bayinya. ******  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD