Chapter 12

1346 Words
Permen manis ini untukmu. Nikmati saja perlahan. Biarkan mereka yang tidak suka. Mereka hanya iri karena tak mendapatkan yang sama *** Adora bersandar di daun pintu kamar Sasikirana. Dalam diam, diamatinya Sasi yang sibuk mondar-mandir mempersiapkan ini dan itu unuk keperluannya ke Bandung. Tidak ada niatnya untuk membantu Sasi. Adora tidak pernah menyukai Sasi. Saat kanak-kanak, ia dilarang untuk terlalu dekat dengan Sasi. Tanpa perlu tahu apa alasannya, Adora menuruti. Hingga kemudian saat remaja, beberapa teman yang hadir di pesta ulang tahunnya sibuk menanyakan siapa Sasi, bahkan salah seorang yang diam-diam disukainya, justru memperhatikan Sasi, saat itulah, akhirnya Adora punya alasan untuk benar-benar tidak menyukai Sasi. Seseorang yang Adora suka dari masa lalu adalah Adelard Blenda. Rasa suka yang berkembang menjadi cinta atau begitulah yang ia rasakan hingga sekarang. Saat remaja, Adora pernah menyatakan cinta, tetapi Elard menolak. Saat dewasa, Adora merayu ayahnya untuk menanyakan kemungkinan adanya perjodohan antara dirinya dengan Elard. Sayangnya, walau Aaron Blenda dan Veronica tidak keberatan, tetapi Elard justru menolaknya. Lagi. Amarah membuat Adora menerima Orlando, pria lemah yang hanya bisa memujanya. Belum juga reda sakit hatinya, tiba-tiba ia mendapati berita bahwa keluarga Blenda ingin melamar Sasi untuk Elard. Sejak saat itu, kebenciannya kepada Sasi yang sudah surut, kini bagaikan air pasang. "Cuma empat hari saja, sebegitu hebohnya. Mondar-mandir seperti orang bego," cela Adora. "Saya bingung, Kak. Mau bawa baju apa?" jawab Sasi jujur. Wajar jika Sasi bingung, karena ini pertama kalinya keluarga Blenda mengundangnya untuk menginap. Tidak hanya satu malam, tapi hampir empat hari lamanya. Baju khusus memang sudah disiapkan, tetapi baju untuk hari-hari, Sasi merasa tidak percaya diri. "Yang kamu pikirin harusnya bukan baju-baju itu, tapi gimana caranya Elard bisa mengawinimu. Sekalian aja, kamu cari cara untuk bisa ditiduri Elard." "Kak!" Sasi terkejut mendengar ucapan Adora, sedangkan Adora justru menatapnya dengan tajam dan tersenyum sinis. "Kenapa? Salah? Dan lagi, apa kamu mau pecahkan rekor tunangan seumur hidup, ha? Kalau memang gak niat dan kamu gak bisa bikin Elard tersungkur di kakimu, cari cara untuk menghentikan pertunangan konyol ini." Dengan meninggalkan senyum mengerikan, Adora melenggang mejauhi kamar Sasi. "Kak Adora," sapa Mahesa di pertengahan tangga. "Eh, belum berangkat ke kantor?" Senyum Adora lenyap. Mahesa adalah orang kedua yang tidak disukainya, ini karena sikap Mahesa yang terlalu melindungi Sasi. "Belumlah, Kak." Mahesa memberikan senyum termanisnya ke Adora dan membuat Adora makin tidak suka. "Ini kan masih jam setengah tujuh. Kak Adora sepagi ini ke sini, anak-anak siapa yang antar sekolah?" lanjut Mahesa masih dengan senyum manisnya. Adora menjadi muak akan sikap Mahesa, ia merasakan sindiran dari tanya Mahesa. "Bukan urusanmu dan ini kan masih rumahku." Sengaja diberinya tekanan pada kata rumahku. Adora kemudian segera turun ke bawah, meninggalkan Mahesa yang masih tetap tersenyum tak peduli. Mahesa langsung menuju kamar Sasi yang masih terbuka. Dilihatnya Sasi sedang duduk diam, seperti melamun. "Melamun? Udah beres belum?" tegur Mahesa lembut dan kemudian duduk di sebelah Sasi. "Duh, iya." Sasi tersenyum. Dia berdiri dan mulai kembali dengan kesibukannya. "Tadi kak Adora ke sini?" tanya Mahesa sambil lalu. "Iya." "Ngomong apa aja?" "Hmmm..., gak ada, sih." Ragu-ragu Sasi memberikan jawaban. Sebagian dirinya ingin bercerita, tetapi sebagian lagi melarangnya. Sasi khawatir jika nanti bercerita, dirinya dianggap tukang mengadu dan mengesankan tak dewasa.  "Hahaha..., ternyata si cantik udah bisa menyelesaikan masalahnya sendiri." "Jadi, saya cantik, ya?" goda Sasi yang mulai bisa mengembalikan mood-nya. "Sekilas aja." Mahesa tertawa dan dihentikan dengan lemparan boneka dari Sasi. Hanya sepersekian detik saja tawa itu terhenti dan kini keduanya tertawa bersama. "Kak, bantuin packing, yah. Dan bantuin pilihkan baju yang oke." "Sip. Tapi, bukannya Kamania sudah siapin baju buat kamu?" tanya Mahesa. "Iya, tapi itu kan gaun buat acaranya saja." "Ooo...." Mahesa mengangguk-anggukan kepalanya dan mulai membantu Sasi. Kini keduanya tampak sibuk memilih pakaian dan sepatu serta aksesoris yang cocok untuk Sasi. "Kamu gak deg-degan, Sas?" tanya Mahesa, ditengah kesibukan keduanya. "Deg-degan lah, Kak. Apalagi ini pertama kalinya saya diundang menginap, di Bandung pula, di rumah neneknya pula. Duh, saya takut salah-salah aja, Kak." "Dibawa santai aja, Sas. Kalau kamu gelisah, malah makin salah-salah, loh. Ini acara nikahan sepupunya, ya? Tapi, bukankah ayahnya Elard itu anak tunggal?" "Yang menikah itu, anak sepupunya Om Aaron. Sepupunya Om Aaron ini sudah dianggap anak sendiri sama orang tua Om Aaron. Jadi, karena ini adalah pernikahan pertama anaknya, maka orang tua Om Aaron ingin acara adatnya dilakukan di rumah orang tua Om Aaron." "Wow...." Mahesa tertawa sambil tepuk tangan. "Tampaknya benar-benar kemajuan, sampai sudah tahu detail keluarga Elard, hahaha..., aduh!" Sekali lagi Mahesa terkena lemparan boneka dari Sasi. Terdengar ketukan halus dari pintu yang masih terbuka dan seorang pelayan menyampaikan bahwa sudah waktunya sarapan pagi. Keduanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih pada pelayan tersebut. Setelah yakin semua sudah tertata rapi, Mahesa dan Sasi segera keluar dan menuju ruang makan. Di sana sudah ada Agatha juga Adora. Ada kelegaan dibenak Mahesa dan Sasi karena Alden belum hadir. Segera keduanya mengambil tempat duduk. Tidak lama berselang lama Alden masuk. Sarapan keluarga Geofrey pagi ini nasi goreng dan telur mata sapi, tetapi di meja juga tersedia roti dan aneka selai. Alden mengambil nasi goreng dan telur, diikuti Mahesa juga Sasikirana. Sedangkan Agatha dan Adora, sama-sama memilih sarapan dengan roti. Bedanya, Agatha memilih roti dengan telur, sedangkan Adora, roti dengan selai nanas. "Di Bandung nanti, apa rencanamu?" tanya Alden, memecah ketenangan di meja makan. Sasi menyadari pertanyaan itu tertuju padanya, tetapi ia tak tahu rencana apa yang diharapkan ayahnya. Sasi memilih diam dari pada ia melakukan kesalahan yang lebih parah. "Jadi, kamu tidak punya rencana apa pun?" Suara Alden meninggi, membuat Sasi memucat dan gelisah. Terdengar lirih tawa sinis yang keluar dari mulut Adora, seolah berkata, Aku sudah bilang, kan. "Kamu ini terlalu bodoh atau gimana? Ini pertama kalinya kamu diundang ke Bandung, artinya kamu sudah dibawa masuk ke keluarga besar Blenda dan artinya lagi, kamu sudah dapat pengakuan mutlak. Harusnya kamu sudah tahu apa yang akan kamu lakukan atau bicarakan dengan Elard." Sasi hanya bisa diam saja mendengarkan Alden bicara. Tak ada bantahan atau masukan. Sasi memilih aman. "Sasi!" bentak Alden, membuat tidak hanya Sasi melainkan semua yang ada di ruang makan tersentak. "Kamu harus bisa meyakinkan Elard untuk mengawinimu tahun ini, seperti yang dikatakannya di majalah ini." Alden melempar majalah Ekesekutif, edisi di mana Elard dan Sasi menjadi cover dan juga sumber berita. Bukannya malu ataupun syok, Sasi justru hanyut menatap cover majalah Eksekutif. Dirinya dan Elard tampak sempurna. Terutama Elard yang terlihat sangat sempurna dan juga tampan. Sai tak disadar, jika ia tersenyum sendiri. "Cengangas-cengenges kayak orang gila," celetuk Adora. Seketika Sasi kembali ke dunia nyata. Kepalanya berpikir keras, harus memberikan pernyataan apa agar ayahnya tenang. Sempat terlintas untuk menggunakan ide gilanya Adora, untungnya hati nurani melarang. "Kalau kamu dilahirkan untuk menjadi berguna, maka buktikan!" Alden kemudian meninggalkan ruang makan diikuti Agatha. "Seharusnya sekarang otakmu sudah bekerja," ucap Adora dengan sinis. "Tapi..., kalau kamu gak paham juga...,  ini kuperjelas buatmu. Bikin Elard menidurimu atau batalkan pertunangan konyol ini." "Kak!" tegur Mahesa. Digenggamnya tangan Sasi. Mahesa khawatir Sasi akan terguncang. Mahesa tidak tahu jika ucapan Adora bukanlah yang pertama kalinya di dengar Sasi. "Sas..., kalau makananmu sudah selesai, sebaiknya kembali ke kamar. Bukankah kamu harus mempersiapkan diri. Jam berapa Elard menjemputmu? Nanti terlambat, lho," saran Mahesa. "Iya, Kak." Sasi mengangguk lesu dan menjawab lirih. "Saya duluan, Kak Adora." Sasi kemudian berdiri diikuti Mahesa dan keduanya mulai meninggalkan ruang makan. Adora acuh tak acuh, tatapannya tertuju pada majalah yang tadi dilempar ayahnya. Adora mengambil majalah Eksekutif dan menatap cover-nya dengan perasaan tidak menentu, terutama saat menatap Elard. Harusnya saya yang di situ. Saya yang mencintaimu sejak dulu. Lihat saja Elard, kamu tidak akan pernah bahagia dengannya.... "Permisi, Kak." Adora terlonjak kaget mendengar suara Sasi, tetapi bukan Adora jika tidak mampu menguasai diri dengan cepat. "Apalagi sih kamu!" bentak Adora dengan nada tinggi. Emosinya memuncak karena malu ketahuan sedang mengamati cover majalah Eksekutif. "Eh..., mmm..., eh itu..., anu...." Sasi ragu bicara, tapi matanya terarah ke majalah yang dipegang Adora. "Ini?" Adora melambaikan majalah yang dipegangnya dan kemudian dilemparnya ke ujung meja agar terjangkau Sasi. "Majalah gituan saja, kamu bela-belain kembali. Pikirin tuh apa kata Papa barusan!" Adora berdiri dan melangkah meninggalkan Sasi sendirian di ruang makan. Perlahan Sasi mengambil majalah di hadapannya dan ditatapnya cover majalah dengan tersenyum. Hai Elard.... Dengar, yah. Saya akan bikin kamu tersungkur di bawah kaki saya, dengan sangat manis. Sasi senyam-senyum sendiri dan bahkan tertawa pelan. Kemudian ia berlari senang, kembali menuju kamarnya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD