Chapter 7

1470 Words
Walau kau tak bisa kumiliki, akan tetapi..., aku akan selalu menjagamu, selamanya.... *** Kamania duduk diam di tepi tempat tidur, dia hanya melihat saja suaminya yang berjalan mondar-mandir dari kamar mandi, meja rias, ruang pakaian, meja rias lagi, dan begitu lagi berulang-ulang. "Apa kamu harus pergi sekarang?" tanya Kamania. "Ya," jawab Farrel dengan sedikit berteriak dari arah ruang pakaian. "Apa tidak bisa besok saja berangkatnya?" Kali ini tak ada sahutan dari Farrel yang masih sibuk berkutat dengan pakaian yang akan dimasukkan ke dalam tas. "Besok, Raffael ulang tahun." "Pestakan aja. Bayar EO kalau kamu kerepotan." "Kita akan merayakannya di panti asuhan." "Baguslah." "Raffael pasti senang kalau kamu juga ada." "Saya gak bisa." "Raffael ingin saat tiup lilin, Papa dan Mamanya ada." Koper dan tas slempang sudah diresleting. Farrel kini menatap Kamania dengan kesal. "Halah. Gak usah berlebihan. Jangan terlalu banyak nonton sinetron. Anak sekecil hanya tahu bahagia saat kamu kasih banyak mainan. Belikan apa yang anak itu mau. Beres, 'kan?" Di dalam hati Kamania menggelegak amarah. Dia tak suka cara Farrel menyebut putranya dengan "anak itu". "Namanya Raffael. Nama itu juga dari kamu!" Farrel yang baru memasang tas slempangnya memandang Kamania tak acuh. Seolah Kamania sudah menyampaikan sesuatu yang tidak penting sama sekali. Kini dia menarik pegangan koper dan melangkah menuju pintu. Kamania berdiri dan segera memegang lengan Farrel. "Kamu akan pergi berapa lama lagi?" "Bukan urusanmu!" jawab Farrel ketus. Ditepisnya tangan Kamania dari lengannya. "Kamu akan ke mana sekarang? Berapa lama? Ini bukan urusan bisnis, 'kan?" Farrel memandangi Kamania dengan sengit, "Sudah kukatakan bukan urusanmu. Kenapa kamu rewel sendiri, sih?" "Tapi, besok adalah hari penting untuk Raffael, tidak bisakah kamu memberi sedikit waktu untuknya? Toh, kamu ini bukan pergi bisnis, 'kan? Kamu pergi sama perempuan mana lagi?" Kamania mulai histeris dan air mata sudah bersiap turun. Farrel menatap tajam Kamania. Dipegangnya erat jemari Kamania. Rasa sakit membuat Kamania melepaskan pegangannya dari lengan Farrel. Sontak Farrel mengempaskan Kamania kembali ke tempat tidur. "Kamu jangan bikin saya marah! Saya mau apa? Mau gimana? Itu urusan saya. Jangan pernah ikut campur! Paham kamu?" sentak Farrel. Tanpa memedulikan reaksi Kamania, Farrel kembali melangkah dan keluar dari kamar. Setelahnya, Kamania menangis. Dirinya benar-benar sakit hati dengan perlakuan Farrel. Tidak pernah sedikit saja Farrel memperlakukan dirinya dan putranya dengan baik. Setiap di rumah, Farrel bersikap masa bodoh. Kamania dan Farrel menikah karena perjodohan. Kamania bukan tak mengenal Farrel yang playboy, peminum, hobi pesta, dan banyak hal negatif menempel di Farrel. Tapi Kamania tidak sanggup menolak, lebih tepatnya takut untuk menolak. Pada masa itu, Farrel sedang terlibat skandal dengan salah seorang artis. Demi memberi alibi manis pada khalayak, maka orang tuanya segera mencarikan jodoh yang jelas latar belakangnya. Tepat saat itu, Alden memawarkan perjodohan antara Kamania dan Farrel, dengan imbalan sejumlah saham serta beberapa aset penting sebagai mahar untuk Kamania dan perjanjian kerja sama bisnis yang tentunya menguntungkan Alden. Mendadak Kamania mual dan ingin muntah. Setiap kali ia ingat akan tujuan ayahnya, Kamania selalu merasa sakit hati. Daniel Geofrey menjual putri-putrinya pada siapa yang bisa memberikan kontribusi pada kekayaannya. Kecuali Adora. Sayup-sayup Kamania mendengar suara seorang pria dari bawah. Terdengar tawa antara pria itu dan Raffael, putranya. Kamania mengenal suara itu, segera ia mencuci muka dan memperbaiki wajahnya dengan sedikit bedak. Setelah dirasanya rapi, Kamania ke luar kamar dan segera turun menuju asal suara. Dilihatnya di ruang keluarga, ada pria itu bersama putra kesayangannya. Pria itu, Mahesa. Terlihat jasnya sudah disampirkan ke lengan sofa. Dia menggunakan kemeja warna biru langit, dengan sebagian lengan baju yang dilinting. Mahesa terlihat sangat maskulin. Mahesa duduk di sofa dengan badan membungkuk, mensejajarkan kepalanya dengan Raffael yang duduk di bawah dan sedang menggambar sesuatu. Mahesa membelai lembut kepala Raffael, membuat pilu di dalam hati Kamania. "Permisi, Bu." Terdengar suara seorang wanita dari belakang Kamania. Segera Kamania membalikkan badan dan dilihatnya assisten rumah tangga sedang memegang nampan yang diatasnya ada secangkir kopi dan segelas s**u, juga cookies. "Sini, biar saya yang bawa masuk. Kamu kembali kerjakan yang lain." Kamania segera mengambil nampan dari tangan wanita tersebut dan perlahan masuk menuju ke arah kedua laki-laki beda usia yang masih sibuk dengan canda. "Hei...hei, ketawanya nyaring sekali. Sampai terdengar ke atas." Kamania tersenyum dan meletakkan nampan di meja. "Mahes, kopinya," tawar Kamania. Mahesa menatap Kamania dengan serius. Dilihatnya sisa sendu dari wajah Kamania yang disamarkan dengan senyum manis. Mahesa tak bertanya, ia memilih untuk diam, demi harga diri Kamania. Mahesa menerima cangkir kopi yang disodorkan Kamania dan tak sengaja jari-jemari saling bersentuhan. Keduanya tersentak kaget, seolah-olah cangkir kopi itu baru saja menghantarkan listrik statis. "Eh, maaf." Mahesa memegang cangkir kopi dengan grogi. Ada debar halus yang disukai Mahesa. Kamania pun tak berbeda jauh dengan Mahesa. Perasaannya campur aduk, antara malu tapi juga menikmati. Hal itu cukup ampuh untuk menepis sendu dalam hati. Segera Kamania mengalihkan perasaannya dengan melihat apa yang digambar Raffael. "Eh, gambar apa itu?" Kamania bingung melihat corat-coret Raffael. "Ini lobot," jawab Raffael dengan gaya anak-anaknya yang sedikit cadel.  "Robot?" Kamania mengernyit, tetapi kemudian tersenyum lebar. "Sudah jago gambar, ya. Bisa sekolah, nih." "Yea...!" Rafael berseru senang dan Kamania memeluknya. "Susu." "Iya. Minum susunya pelan-pelan. Kuenya dimakan, ya." Rafael membawa gelas susunya ke tengah ruangan dan duduk di depan televisi. Kamania membawa kue dan meletakkan di depan Raffael. Dia pun menyalakan televisi. "Ada apa ke sini, Mahes?" tanya Kamania kemudian, setelah kembali duduk di sebelah Mahesa. "Itu, Ibu tadi beli cake, beliau suruh saya antar ke sini." "Ooo...." Terselip sesal di benak Kamania. 'Kenapa alasanmu bukan aku?'  tanya Kamania dalam hati dengan kepala menunduk. "Tadi saya bertemu Farrel di depan. Dia mau ke mana?" "Urusan bisnis," jawab Kamania dengan lesu. Mahesa segera tahu bahwa Kamania sedang berbohong dan Mahesa sudah menduga-duga ke mana dan bersama siapa Farrel pergi. "Ma!" Raffael memutar tubuhnya. "Ya, Sayang?" "Ecok..., Papa..., gak ada?" "Iya, Sayang. Gak pa-pa, ya." Hati Kamania pedih saat menyampaikan kenyataan itu pada putranya yang baru berusia tiga tahun. Dia pun mengutuk dalam hati untuk Farrel. "Memangnya besok ada acara apa?" tanya Mahesa. "Lapa...el unyang taun!" Raffael berseru kegirangan. Mahesa menoleh ke Kamania. "Besok tanggal lima belas?" Kamania mengangguk. "Maaf. Saya tidak perhatian." Kamania menangkap nada penyesalan dari maaf Mahesa. Hal yang tak perlu karena Mahesa bukan siapa-siapa. Ini membuat perasaan Kamania semakin sedih. Orang lain bisa merasa bersalah untuk hal-hal sepele terkait dirinya dan Raffael, tetapi suaminya justru tak acuh dan melenggang pergi tanpa merasa bersalah sedikit pun. Raffael meninggalkan gelas susunya dan menghampiri Mahesa yang disambut pelukan. Mahesa memangku Raffael. "Raffael minta apa?" tanya Mahesa. "Apa, ya...?" "Apa? Apa aja boleh." "Lobot?" "Boleh. Itu aja?" Raffael memutar kedua bola matanya dengan cara menggemaskan. Mahaesa tertawa geli dan menciumi pipi tembamnya. "Mobil, mau?" Raffael terlihat terkejut. Binar matanya benderang. Dia berteriak kegirangan dan turun dari pangkuan Mahesa. "Obil..., obil..., obil...." Mahesa dan Kamania tertawa melihat kebahagian Raffael. "Terima kasih, Mahes," ujar Kamania tulus. "Memangnya besok mau ke mana?" "Kami akan merayakan ulang tahun Raffel di panti asuhan." "Kami?" Mahesa mengernyit. Ia perlu memastikan apakah 'kami' itu termasuk Farrel, mengingat tado Farrel pergi dengan membawa koper. "Tadinya berharap Farrel ada. Tapi, kayaknya...." "Jam berapa?" potong Mahesa. Kamania menatap jam dinding di belakang Mahesa. Gerak mata Kamania membuat Mahesa tertawa geli. "Maksud saya, besok acaranya jam berapa?" Wajah Kamania tersipu dan jantung Mahesa berdegup. "Jam sembilanan." "Besok saya temani." "Kantor bagaimana?" tanya Kamania yang merasa tidak enak hati. Seolah urusan hidupnya harus diutamakan. "Tak masalah. Bapak pasti mengijinkan. Lagipula, besok tidak ada meeting atau urusan lain yang mendesak. Raffel!" Raffael menoleh. "Besok, sama Om Mahes. Oke?" "Yea...!" Raffel kegirangan, tetapi kali ini dia tak beranjak dari duduknya. "Boneh, Ma?" Kamania tak menyahut. Pikiran dan perasaannya melayang ke mana-mana. Kata 'andai' terajut penuh sesal. Andai Mahesa ayah Raffael. Andai saya dulu menolak. Andai Mahesa orang asing. Andai.... "Mama. Ma...," Raffael menepuk pipi Kamania lembut. Kamania gelagapan. Pikirannya terputus. Dia terkejut mendapati putranya sudah berdiri di hadapannya. "Ha? Apa, Sayang? Kenapa? Ada apa?" "Mama mamun," Raffael dan Mahesa tertawa. Kamania yang ketahuan melamun hanya bisa tersenyum manis ke arah keduanya. "Ma..., ecok, Om Mahes ya yang datang? Om Mahesa ama Mama. Ya, Ma?" pinta Raffael yang membuat Kamania tidak enak hati pada Mahesa. "Eh... mmm... Om Mahesa 'kan sibuk." "Saya tadi bilang, saya tidak sibuk. Kamu tidak memerhatikan atau kamu yang gak mau?" sudut Mahesa. "Aduh, bukan begitu, tapi ini jadi merepotkan kamu," jawab Kamania gelagapan. Dia bukannya tak mau, tetapi Kamania malu. "Kamu ini bicara sama siapa?" Mahesa menatap tajam ke arah Kamania, membuat yang ditatap semakin salah tingkah. "Besok jam 8 saya datang. Raffael, Om pulang dulu, ya," pamit Mahesa. Ditariknya lembut Raffael dari hadapan Kamania untuk dipeluk dan dicium. "Puang, Om?" Raffael langsung mendekap Mahesa. "Om selesaikan pekerjaan dulu, biar besok bisa menemani Raffael dan Mama. Hmmm..., bagaimana kalau besok, kita juga jalan-jalan. Oke!" Mahesa membelai lembut rambut Raffael. Untuk yang kesekian kalinya Raffel melonjak kegirangan. "Saya pulang dulu, Kamania." Mahesa berdiri dan menatap wajah Kamania dengan rasa sayang, tetapi segera Mahesa memaki dirinya sendiri. Kamania mengantar Mahesa menuju pintu depan. Tiba-tiba Mahesa yang berjalan di depan Kamania berhenti dan memutar tubuhnya, membuat Kamania hampir menabrak d**a Mahesa. "Jangan bersedih lagi." Senyum Mahesa, menghangatkan Kamania. Membuat Kamania ikut tersenyum. "Hati-hati, Mahesa." Mahesa hanya menganggukan kepala dan segera keluar. Di ambang pintu, Kamania menatap punggung Mahesa yang  berjalan masuk ke dalam mobil. Dilihatnya Mahesa melambaikan tangan, sebelum benar-benar pergi. Mendadak hati Kamania merasakan rindu. Sesuatu yang salah, membuat sebutir air mata keluar perlahan di pipi Kamania.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD