Chapter 2

1156 Words
Ada apa? Ada apa denganmu? Kenapa mendung begitu kelam menggayut di wajahmu? *** Untuk keempat kalinya Sasi menyanyikan lagu "Naik-naik ke Puncak Gunung". Tak bosan, karena lagu itu punya banyak variasi mimik dan lirik. Apalagi menyanyinya ditemani bocah laki-laki usia tiga tahun yang menggemaskan. Rafael adalah putra Kamania. Ketiganya di dalam mobil menuju ke Hotel Blenda dengan Kamania sebagai supir. Hari ini Sasi akan menemani Elard wawancara dengan majalah Eksekutif. "Kamu siap?" tanya Kamania masih dengan fokusnya pada jalanan. "Entahlah." Sasi memainkan anak rambut Rafael. Perasaannya tak nyaman. Ini pertama kalinya dia diwawancara media. Sasi tidak tahu harus bersikap bagaimana nantinya dan juga harus menjawab apa jika ada pertanyaan tertuju padanya. Semalaman Sasi tidak bisa tidur. Elard selalu menuntut kesempurnaan, tetapi Elard tak pernah membantunya untuk mencapai apa yang Elard mau. "Laki-laki kejam," desis Sasi. "Siapa? Dia?" "Siapa lagi? Ya, dialah. Biasanya juga jika ada urusan terkait dengan media, dia sendirian saja. Kenapa sekarang malah bikin susah saya?" Kamania tertawa kecil sembari membelai lengan kanan Sasi. "Sabar. Anggap saja ini kemajuan." "Kemajuan?" "Yah..., kalian hanya tampil berdua jika ada acara resmi saja. Lingkupnya kecil dan terbatas. Hari ini, Elard ingin kamu lebih dikenal khalayak luas sebagai tunangannya." "Itu kemajuan?" "Anggap saja begitu." Kamania tertawa lebar. Sebagai kakak, dia tidak tega dengan si bungsu. Adiknya sering mendapat tekanan dari ayahnya. Begitu juga dengan pertunangan ini. Berulang kali sang ayah mengingatkan Sasi untuk meminta Elard menyegerakan hubungan tunangan menjadi pernikahan. Tapi Kamania kenal adiknya. Keluguan Sasi tak akan bisa membuatnya memaksa Elard melakukan apa pun yang diminta. "Sering Kakak bertanya-tanya, apa yang membuat Elard meminta dirimu? Padahal, dia tak pernah ketemu kamu. Ya, 'kan?" Sasi mengangguk. Dia pun juga bertanya-tanya hal yang sama dengan Kamania dan tidak ada jawaban. Tak mungkin Sasi bertanya pada Elard karena memang tidak ada komunikasi akrab yang terjalin. Semuanya bersifat formalitas atau seadanya. "Apakah..., keluarga Blenda punya dendam dengan keluarga kita?" tanya Sasi. "Itu terlalu tidak mungkin, 'kan?" Kamania menatap Sasi sejenak dan tersenyum. Kamania tentu meragukan pikiran adiknya. Pertama, dari dulu sampai sekarang, belum ada jalinan kerja sama bisnis antara Geofrey dengan Blenda. Kedua, jika memang ada maksud dendam, buat apa menolak Adora—si sulung, dan menunggu enam tahun kemudian untuk meminta Sasi? Terlalu tidak masuk akal. "Berhenti di depan saja, Kak. Jangan masuk," pinta Sasi setelah melihat gedung tinggi Hotel Blenda. "Lah, kenapa?" "Gak pa-pa. Mau jalan aja masuknya ke hotel." "Gugup, ya?" Sasi tak menjawab. Dia membelai lembut pipi Rafael yang tembam. "Kakak temani?" tawar Kamania. "Gak usah. Entar dia sinis. Masak gitu aja ditemani." Kamania menepikan mobilnya di dekat gerbang Hotel Blenda. Dengan menggendong Rafael, Sasi turun duluan dari mobil. "Aduh, kamu kenapa gendong Rafael? Kan, bisa di dudukkan," tegur Kamania yang sudah turun dari mobil. Diambilnya Rafael dari gendongan Sasi sambil memperhatikan Sasi yang merapikan rambut dan pakaiannya. Dari dulu Kamania selalu kagum akan kecantikan adiknya yang terlihat sempurna. Wajah Sasi cenderung mengikuti wajah ayah dan kakeknya. Bentuk wajah Sasi seperti berlian, lebar di tengah, mengerucut ke arah dahi dan dagu, mengingatkan Kamania akan sosok almarhum kakeknya di foto-foto lama. Sedangkan hidungnya begitu mancung, mengingatkan akan sang ayah. Namun, kemudian Kamania bertanya-tanya, sisa kesempurnaan wajah Sasi menurun dari siapa? Sasi memiliki bentuk bibir dan mata yang berbeda dari sang ibu yang juga berbeda dengan Kamania mau pun Adora. Mungkin dari Oma, batin Kamania. "Gimana, Kak? Ada yang berantakan?" tanya Sasi, membuyarkan pikiran Kamania. Kamania kembali memperhatikan Sasi dengan benar. "Sip. Aman." Sasi tersenyum lebar. Di ciumnya pipi Rafael dan Kamania. "Udah sana lanjut." "Semangat, ya." Sasi mengangguk. Setelah Kamania berlalu, Sasi melangkah masuk menuju areal hotel. Di sini, Sasi tidak begitu dikenal, karenanya tak ada yang menghampiri Sasi. Dia dianggap sebagai tamu hotel. Ketika melewati pos sekuriti, Sasi melihat seorang wanita menangis. Namun, raut wajahnya menunjukkan amarah. Salah satu lengannya dicengkeram oleh salah seorang sekuriti, sedangkan beberapa sekuriti lainnya terlihat tidak sabar menjelaskan sesuatu. Sepertinya sedang terjadi perdebatan, kira Sasi. Sempat terdengar ucapan si wanita yang lantang. "Saya cuma ingin dipertemukan dengan Pak Adelard Blenda. Biarkan saya bicara. Ini benar-benar tidak adil. Saya terlambat ada alasannya. Ini masalah hidup dan mati. Harusnya Pak Elard mendengarkan saya. Ini kejam. Ini tidak adil." Rupanya kesabaran habis. Dua orang sekuriti memegang lengan si wanita dan menarik paksa keluar areal hotel. Mereka melewati Sasi, membuatnya bisa melihat jelas raut kelelahan dan putus asa si wanita. Lagi si wanita bersuara, "Pak..., Pak Elard.... gara-gara Anda, adik saya tidak bisa cuci darah tepat waktu. Kami juga diusir dari kontrakan. Bapak jahat! Bapak sombong! Bapak kejam!" Sasi termangu menatap wanita tersebut. Tebersit rasa iba yang mendalam dan juga gemas ketika mengetahui bahwa derita wanita tersebut, ada andil Elard. Entah apa yang sudah terjadi, tetapi Sasi yakin bahwa Elard sudah semena-mena kepada wanita tersebut. Sasi ingin mendekati wanita itu, untuk menanyakan kenapa dan mencoba untuk membantu. Namun, Sasi tak punya waktu lebih. Jika ia terlambat itu sama dengan artinya memanggang diri sendiri ke dalam api. Elard memang kejam! ***   "Ke mana aja sih, kamu?" bentak Elle yang berdiri tepat di depan pintu lift yang baru terbuka. Tanpa menunggu jawaban dari dalam lift, Elle berbalik dan melaju cepat menuju Royal room. Sedangkan Sasikirana, masih melongo di dalam lift. Sedikitnya ia terkejut ketika pintu lift terbuka, langsung disembur Elle. Dengan langkah kesal, Sasikirana menyusul Elle. Royal room adalah kamar paling istimewa. Ini bahkan seperti rumah. Ada ruang tamu sekaligus ruang santai, ruang makan yang bisa difungsikan sebagai ruang pertemuan, dan dua kamar tidur di dua sisi berbeda. Memasuki kamar tidur, Sasikirana dibuat bingung dengan adanya beberapa orang wanita yang sudah berdiri siap dan mengangguk sopan ke arah mereka berdua. "Far, bajunya!" Elle menunjuk ke arah beberapa pakaian yang tergantung dan tertata rapi di tengah ruangan. Warna baju-baju itu sama, hanya beda mode dan kombinasi warna. Elle memilih-milih dan mematutkannya ke tubuh Sasi. "Yang ini." Elle memutuskan pakaian yang akan dikenakan Sasikirana. "Kalian..." Saralee berucap ke beberapa wanita yang lain. "Rias dia. Sesuaikan dengan pakaian ini. Bikin natural tapi elegan. Oke!" Seorang wanita berjalan menghampiri Sasikirana dan mempersilakannya menuju meja rias. Bagai dicocok hidungnya, Sasikirana mengikuti saja tanpa berkata-kata. Sedangkan Elle melangkah menuju nakas. Ia memegang beberapa lembar kertas dan membolak-balikannya. Dihampirinya Sasi dan diamati pantulan wajah Sasi di cermin yang sedang dibersihkan. "Jangan lama-lama meriasnya. Sebentar lagi mereka siap. Dan kamu Sas...." Sara menyodorkan lembaran-lembaran kertas ke Sasi. "Kamu baca dan pelajari," cetus Saralee. "Apa ini?" tanya Sasi tak mengerti. "Itu seputar apa yang akan ditanyakan dan apa yang musti kamu jawab. Kamu boleh berimprovisasi, tapi jangan lebay." "Dan kenapa saya dirias lagi?" "Dan apa itu sudah sempurna?" sindir Elle. "Trus, kenapa saya harus ganti pakaian? Ini pakaian baru," protes Sasi tanpa menyembunyikan ketidaksukaannya. "Pakaianmu memang bagus. Tapi, apa kamu sudah koordinasi dengan Kak Elard, pakaian apa yang akan dikenakannya?" Sasi merasa tersudut. Sara benar, ia tak tahu Elard akan pakai baju model apa dan warna apa. "Ingat! Jangan lama-lama dan buat dia sempurna," perintah Elle sebelum keluar dari kamar. Apa-apaan sih ini? Udah dandan. Udah pakai baju baru. Masih aja dirubah seenaknya. Siapa sih dia? Kenapa dia selalu ikut campur untuk urusan ini dan itu, sih. Dan lagi ini apa? Pertanyaan dan jawaban? Ini wawancara apa mau ujian negara, sih? Argh..., gerutu Sasi. Dia sangat kesal dengan cara bicara dan sikap Elle padanya. Tapi Sasi segera sadar diri, tidak ada yang bisa dilakukannya selain menurut saja. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD