1 : Bu Naya

2600 Words
Seumur hidup tumbuh bersama, melalui hari bersama, sedih dan senang bersama, bahkan makan dan minum bersama, ini baru pertama kalinya Rean merasa sangat canggung berada di dekat Rena, saudara kembarnya sendiri. Kecanggungan tersebut bersumber dari kejadian semalam. Kejadian terbodoh dan paling memalukan yang pernah terjadi dalam sejarah hidupnya, disebakan oleh kecerobohan Rean yang lupa mengunci pintu kamar. Bagaimana tidak memalukan, Rean tertangkap basah oleh Rena saat dirinya sedang menonton blue film. Ya, memang sih Rean tidak benar-benar sedang menonton itu saat Rena datang. Tapi kan, Rena telah memergoki film itu ada di laptop Rean yang menyala. Dan meskipun menonton film sejenis itu bukan hal yang tabu lagi bagi kaum lelaki dan sudah menjadi rahasia umum di kalangan mereka, tetap saja jika terpergok rasanya memalukan. Apalagi bagi seseorang seperti Reandra Argentum Widiansyah yang image-nya anak baik-baik alias sepuluh betul. Sekarang, Rean dan Rena baru saja memasuki pelataran sekolah di hari pertama tahun ajaran baru. Keduanya berjalan beriringan dari lapangan parkir setelah sebelumnya berangkat ke sekolah bersama. Rena yang biasanya berangkat ke sekolah dijemput Gio, hari itu memilih untuk berangkat bersama Rean, meskipun sepanjang perjalanan mereka tidak berbicara sama sekali. Sebenarnya, dari semalam sejak insiden tersebut mereka belum berbicara lagi. Rena yang bawel secara drastis langsung berubah pendiam di hadapan Rean, membuat keadaan semakin terasa canggung. Tapi, ada satu keuntungan juga dari bisunya Rena. Semalam kan, Rean juga terpergok habis merokok di dalam toilet kamar. Dan apa yang dilakukan Rean itu benar-benar melanggar peraturan rumah. Beruntungnya, Rena tidak mengadukan itu sama sekali kepada orang tua mereka. Walau berjalan dalam diam, mereka berdua memiliki tujuan yang sama di hari pertama sekolah ini, yaitu papan mading yang terdapat di lobi sekolah. Di sepanjang perjalanan itu, Rean ingin membuka pembicaraan, tapi bingung sendiri harus memulai darimana. Lagipula, Rena seharusnya tidak se-shock itu. Rean kan cowok normal. Jadi, ya....wajar. "Natta!" Di tengah koridor sekolah yang mulai ramai, suara teriakan itu terdengar cukup jelas baik di telinga Rean maupun Rena. Mendengar teriakan itu, Rean menghentikan langkah lalu menoleh ke belakang dan mendapati seorang laki-laki sedang berlari sambil melambaikan tangan ke arah mereka. Sementara Rena mendengus pelan mendengar teriakan itu, dan ia pun terus melanjutkan langkahnya. Tanpa menoleh ke belakang pun Rena sudah tahu siapa yang memanggilnya. Ya, karena memang hanya ada satu orang di dunia ini yang memanggilnya 'Natta'. "Ren, itu Gio manggil lo," ujar Rean pada Rena, akhirnya membuka percakapan di antara mereka. Rena hanya mengedikkan bahu tidak peduli. "Biarin aja," jawabnya. Lalu, cewek berambut sebahu itu melanjutkan langkahnya menuju papan mading yang ternyata sudah ramai dikerumuni siswa yang lain. "Renatta!" Panggil Gio lagi, laki-laki itu kini sudah semakin dekat tetapi tetap tidak dihiraukan oleh Rena. Rean menatap laki-laki itu dengan kening berkerut saat Gio berhenti di hadapannya dengan nafas tersengal. "Berantem?" Tebak Rean kemudian. Gio menghembuskan nafas keras sambi menyeka keringat di dahinya yang hampir menetes. Padahal baru berlari sebentar, dirinya sudah keringatan. "Menurut lo?" Balas Gio sewot. Rean pun memutar bola matanya mendapati jawaban seperti itu. Ia segera membalikkan badan dan pergi meninggalkan Gio untuk menyusul Rena yang sudah sampai di depan mading. "Ya Allah, sekarang dua-duanya ngambek sama gue?" Rean dapat mendengar Gio mengeluh di belakangnya dan sesaat setelahnya, langkah mereka sudah sejajar karena Gio juga ikut menyusul. "Mati deh gue, kayaknya Rena beneran ngambek," kata Gio setelah dilihatnya Rena buru-buru kabur sehabis melihat isi papan mading. Tapi, Gio tidak berniat mengejar karena sudah paham kalau itu percuma. Jika sedang dalam mode menghindar begitu, lebih baik menjauh hingga Rena sendiri yang ingin kembali didekati. "Emang kalian kenapa sih?" Tanya Rean yang memang tidak tahu masalah rumah tangga keduanya. Hah rumah tangga. "Kemarin gue selingkuh." Ada jeda sebentar sebelum Rean memberikan reaksi, mendelik ke arah Gio, lalu menajamkan pandangannya. "Apa lo bilang?" "Jangan emosi dulu woy!" Sentak Gio. Ngeri juga mendapati tatapan tajam seperti itu. "Maksud gue tuh selingkuh sama bola. Gue kemarin seharian sparing," jelasnya. "Oh." Rean pun hanya mengangguk singkat, mengerti kalau merajuknya Rena pasti karena pacar kembarannya itu yang menghilang tanpa kabar, benar-benar alasan klise. Setelah itu, ia tidak tertarik untuk mencampuri urusan mereka. "Btw, Ben mana deh?" Rean mengangkat bahu untuk menjawab pertanyaan Gio. "Udah tetanggaan juga, masa lo nggak tau, Nyet." "Ya, lo pikir gue babysitter-nya apa? Paling juga ngemodusin degem," Balas Rean kesal, meski dalam hati ia juga mencari-cari keberadaan Ben, sahabat karibnya yang lain setelah Gio. Saat keduanya sampai di depan papan mading, siswa yang tadinya berkumpul sudah banyak yang pergi, sehingga Rean dan Gio pun dapat melihat daftar pembagian kelas yang tertempel di sana dengan leluasa tanpa perlu berhimpitan dengan yang lain. "IPA 1 lo, anjing!" seru Gio saat tidak sengaja matanya tertuju pada daftar nama siswa di kelas XI IPA 1 dan ada nama Rean di sana. Rean berdecak pelan karena seruan Gio tersebut. "Santai, jing." Dilihatnya oleh Rean kertas daftar nama siswa kelas XI IPA 1 dan benar saja, namanya tertera di nomor urut dua puluh pada daftar itu. Rean pun hanya bisa menghela nafas pelan, tidak merasa senang dan tidak juga merasa sengsara dengan fakta kalau dirinya akan masuk ke dalam kelas yang setiap tahunnya selalu dianggap sebagai kandang dari siswa-siswa paling pintar di sekolah ini. Matanya kini tertera pada bagian atas kertas tersebut untuk memeriksa siapa wali kelasnya. Dan setelah melihat nama guru yang tertera di sana, barulah rasa sengsara itu menyusup ke dalam hati. "k*****t, Yo, wali kelas gue Naya." Gio sontak langsung melirik kertas itu lagi untuk membuktikan perkataan Rean. Begitu dilihatnya nama guru yang tidak disukai Rean sejak laki-laki itu menginjakkan kaki ke sekolah ini, tawa Gio langsung pecah. "Selamat melewati siksaan bersama nenek lampir, man." *** "Pake." "Enggak." "Buruan pake deh." "Nggak mau." "Nurut sama gue." "Buat apa?" "Jangan nyari masalah deh, Dir." "Kok lo rempong banget sih?" Sudah sepuluh menit berlalu sejak mobil berwarna merah itu terparkir di parkiran mobil sekolah, dan sudah sepuluh menit pula dua orang yang berada di dalam mobil tersebut berdebat sengit tanpa menghasilkan sebuah kesepakatan yang menguntungkan bagi keduanya. Shadira mengangkat wajahnya, sepasang bola matanya yang dinaungi bulu mata panjang sedang menatap sengit lawan bicaranya yang duduk di kursi kemudi di sebelahnya. Dari tatapan matanya itu, Shadira menunjukkan kalau dirinya tidak ingin mengalah dengan perdebatan mereka saat ini. Lawan bicaranya itu, Ben, juga menatap Shadira sama sengitnya. Perempuan berambut ungu di hadapannya sekarang benar-benar sudah membuatnya dongkol di pagi hari yang cerah ini. Namun, Ben tahu kalau di antara keduanya harus ada yang mengalah jika ingin perdebatan ini selesai. Ben pun pada akhirnya menghela nafas pelan dan melembutkan tatapan matanya, berharap keras kepala Shadira akan melunak dengan sikapnya itu. "Please, Dir, gue nggak mau lo kena masalah." Shadira mengerucutkan bibir dengan sebal, masih mempertahankan sifat keras kepalanya. "Ya, biarin aja gue kena masalah, itu urusan gue." "Dira, semester kemarin lo tuh udah dicap sebagai tukang bolos. Mau nambah masalah lagi?" "Oh, seriously?" Shadira memutar bola matanya. "Seorang tukang bikin onar di sekolah, Benjamin, bilang gitu ke gue? Come on, Bence, gue juga di sekolah bukan siswa baik-baik kok." "Gue tuh maunya lo jadi siswa baik-baik aja, jangan niru gue yang nggak bener ini," ujar Ben. Shadira tetap menggeleng keras. "Cepetan unlock pintu mobil, gue mau keluar, entar telat." "Enggak," jawab Ben tegas, lalu disodorkannya sebuah kerudung langsung pakai berwarna putih kepada Shadira. "Lo pake ini dulu, baru boleh keluar." "Ben, gue nggak mau." "Tapi lo harus pake kalo mau rambut ungu lo itu selamat, Shadira." Shadira berdecak. Benar-benar geram dengan Ben yang berubah jadi ribet gara-gara rambut baru Shadira yang berwarna ungu pucat. Dan keribetan Ben itu sudah bermula sejak semalam saat laki-laki itu melihat hasil akhir rambut Shadira setelah dicat. Ben yang menemani Shadira ke salon semalam memang tidak tahu jika Shadira akan mengecat rambutnya yang semula diombre abu-abu menjadi warna ungu pucat. Ben pikir, Shadira akan mengubah rambutnya menjadi warna normal karena memang keesokan harinya mereka harus sekolah. Selama proses pengecatan, Ben tidak melihat sama sekali akibat dirinya ketiduran. Begitu selesai, laki-laki itu terkejut bukan main melihat warna ungu melekat di kepala Shadira. Bisa dibilang, Ben bahkan nyaris histeris. Tadi pagi, laki-laki itu memaksa Shadira untuk berangkat ke sekolah bersama, padahal biasanya mereka lebih memilih untuk berangkat sendiri-sendiri. Ben dengan mobil merah kesayangan dan juga modusannya yang banyak, dan Shadira dengan sepeda merah muda kesayangannya. Dan ternyata, ada maksud terselubung di balik ajakan Ben tersebut. Ternyata, Ben telah menyiapkan sebuah kerudung untuk Shadira pakai ke sekolah agar rambut ungunya itu tertutup, entah kapan laki-laki itu membeli benda tersebut. Ben bilang, teman-teman perempuannya yang mengecat rambut selalu menutupi rambutnya dengan kerudung seperti itu saat di sekolah. Tentu saja Shadira langsung menolak, tidak terima dan tidak ingin disamakan dengan teman-teman perempuan Ben yang notabennya seperti itu. "Kalo gue pake itu, berarti gue munafik," ujar Shadira. "Dan gue nggak mau jadi munafik, nggak mau juga jadiin kerudung cuma sebagai s*****a buat nutupin rambut berwarna kayak temen-temen lo. Mending gue jadi diri sendiri, bodo amat deh rambut gue mau diapain sama guru juga entar gue urusin sendiri. Lo nggak usah repot, oke? Mending, buka pintunya sekarang." Tau dirinya kalah, Ben pun tidak bisa berkata apa-apa lagi. Keputusan Shadira tadi sudah final. Akhirnya, Ben pun meng-unlock mobilnya dan membiarkan Shadira membuka pintu mobil tersebut. "Entar pulang bareng gue," ujar Ben sebelum Shadira keluar dari dalam mobilnya. Shadira melompat turun, merapikan seragam sekolahnya yang sedikit kusut, dan membetulkan tali ranselnya yang miring sebelum menatap Ben. "Nggak ah, gue pulang sendiri aja," jawab Shadira lalu menutup pintu mobil. Ia melambaikan tangan sebentar ke arah Ben, kemudian dengan santai melenggang pergi, masuk ke dalam lingkungan sekolah. Ben hanya bisa menghela nafas dalam. Seorang Benjamin Davis yang merupakan pentolan sekolah memang hanya bisa tunduk dan mengalah kepada seorang Shadira Ariella. "s****n lo Dir," gumam Ben sambil menatap rambut ungu Shadira yang perlahan bergerak menjauh. *** Rean biasanya tidak suka membolos. Tapi, begitu tahu Bu Naya adalah wali kelasnya, Rean membuat pengecualian untuk hari ini. Yap, Rean berniat untuk membolos hari ini demi menghindari pertemuan dengan Bu Naya di dalam kelas. Membayangkan Bu Naya memberikan cuap-cuap pertamanya sebagai wali kelas saja Rean sudah malas, apa lagi jika harus benar-benar terjebak di dalam kelas sambil mendengarkan celotehan guru Fisika yang tidak pernah disukainya itu. Mengulur pertemuan dengan Bu Naya lebih baik dilakukan demi menjaga kedamaian hatinya. Meskipun berniat bolos masuk kelas, Rean yang berstatus sebagai siswa baik-baik di sekolah tentunya tidak akan membolos tanpa tujuan. Bukan Reandra namanya jika melakukan sesuatu tanpa mempersiapkan rencana cadangan untuk menjaga reputasinya tetap baik. Rean sudah menyiapkan alasan jika nanti Bu Naya tiba-tiba memanggilnya karena Rean tidak masuk kelas. Dan alasannya itu tentu saja dapat diterima dan masuk akal karena memang sedang Rean lakukan. Ya, sekarang Rean sedang menyibukkan diri untuk membantu ekskul futsalnya mempromosikan diri agar menarik minat siswa baru yang sedang melaksanakan masa orientasi. Meskipun sebenarnya Rean tidak berniat untuk bergabung melakukan promosi ekskul dengan teman-teman satu ekskulnya karena ia terlalu malas, tapi setidaknya, promosi ekskul jauh lebih baik daripada mendengarkan celotehan seorang Bu Naya. Saat ini Rean baru saja keluar dari koperasi sekolah. Di tangannya ada setumpuk formulir ekskul yang baru saja difotokopinya karena disuruh oleh Yovan, ketua ekskul futsal yang juga merupakan senior Rean. Jelaslah senior, karena kalau bukan, mana mau Rean disuruh-suruh seperti babu. Di tengah perjalanannya, ponsel Rean yang tersimpan di dalam saku celana seragamnya bergetar panjang, menandakan adanya sebuah panggilan yang masuk ke dalam ponselnya. Rean berdecak pelan, dipindahkannya tumpukan kertas formulir dari tangan kanan ke tangan kirinya, kemudian ia merogoh saku celana untuk mengambil ponselnya yang bergetar itu. Nama 'Kak Yovan' tertera di layar ponsel Rean, dengan cepat ia segera menerima panggilan tersebut dan menempelkan ponselnya ke telinga, sementara kakinya masih berjalan perlahan. "Napa, Kak?" Ujar Rean setelah panggilan terhubung. Suara Yovan yang berat langsung menggema di telinga Rean, menyuruhnya untuk bergerak cepat menuju ruang OSIS, tempat anggota ekskul sedang briefing sebelum promosi ekskul dimulai. Rean memutar bola mata mendengar omelan Yovan yang cukup panjang. Ia tidak habis pikir dengan seniornya yang berbadan tinggi dan besar itu ternyata cukup cerewet. "Iye, bacot," sahut Rean. Lalu, ia memutuskan panggilan dan mempercepat langkah menuju ruang OSIS karena tadi, Yovan sudah merongrongnya kalau promosi ekskul sebentar lagi dimulai. Tanpa sepengetahuan Rean, dari arah yang berlawanan dengannya berjalan, seorang perempuan sedang berlari meghindari kejaran guru. Shadira, perempuan itu, menoleh ke belakang sebentar untuk melihat guru berkacamata yang sedang mengejarnya ternyata semakin cepat. "Berhenti kamu, Shadira!" Mendengar teriakan gurunya itu, Shadira semakin mempercepat langkah. Tapi apa daya, Shadira tidak pernah suka lari, dan dia tidak pernah bisa lari cepat. Bukannya semakin jauh, Shadira bisa merasakan kehadiran guru yang ternyata larinya cukup kencang, semakin dekat dengannya. "Ampun, Tante Naya!" Ujar Shadira, menyahuti teriakan gurunya tadi. "Udah capek, nggak kuat lari." "Jangan panggil saya Tante di sekolah!" Bodo amat. Batin Shadira dan ia menambah kekuatannya untuk berlari, yang sebetulnya hanya bertambah sedikit. Tapi, demi keselamatan dirinya, dan rambut ungunya yang lucu, Shadira harus bisa kabur dari kejaran seorang Bu Naya yang memang langsung ingin menangkapnya begitu matanya tertuju pada rambut ungu Shadira yang baru. Huh. Shadira mendengus pelan. Heran deh, hari ini dia sudah melewati banyak guru. Mulai dari Bu Hartati yang lemah lembut hingga Pak Mamat yang terkenal ganas minta ampun, dan semuanya tidak bereaksi apapun dengan rambut Shadira. Biasa saja, tanpa berminat untuk memarahinya. Pak Mamat saja bahkan memuji rambut Shadira. Eh tapi, begitu berpapasan dengan Bu Naya, Shadira langsung diteriaki, dan entah bagaimana, aksi kejar-kejaran ini pun berlangsung. "Bikin repot aja," gerutu Shadira sambil masih terus berlari. "Baik-baik dikit kek sama tetangga." Ia kembali menoleh ke belakang, dan dilihatnya Bu Naya juga masih berlari namun kecepatan larinya sudah melambat. Wajar sih, Bu Naya kan sudah bisa dibilang berumur. Kalau sudah begitu, kesempatan Shadira untuk kabur semakin besar. "Udah, Tante Naya istirahat dulu aja!" Teriak Shadira pada Bu Naya yang berjarak beberapa meter darinya. Bu Naya pun melotot. Dengan sangat tidak sopan, Shadira menertawainya. Namun, tawa Shadira tidak berlangsung lama. Tawa itu langsung lenyap begitu tubuh Shadira yang masih berlari dengan menoleh ke belakang, menghantam sesuatu dengan cukup keras. Sedetik setelah hantaman itu terjadi, kertas-kertas langsung bertebaran, bunyi suatu benda keras jatuh ke lantai terdengar, dan Shadira nyaris terjungkal ke belakang. Untungnya, Shadira masih bisa menahan keseimbamgan tubuhnya untuk tidak jatuh, dan langsung mengambil beberapa langkah ke depan. Tanpa sadar, Shadira menginjak sesuatu hingga menimbulkan suara kaca yang retak akibat terinjak oleh kakinya yang dilapisi oleh sepatu dengan sol yang keras. "Anjing!" Umpatan itu langsung menyentak Shadira yang tadinya masih berusaha untuk mengumpulkan kesadaran dan mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia segera mengangkat kakinya yang menginjak sesuatu, dan Shadira langsung mengerjap beberapa kali melihat benda apa yang baru saja terinjak oleh kaki kanannya. "Mampus," gumam Shadira, mengetahui bahwa apa yang baru saja terinjak olehnya merupakan sebuah ponsel brand ternama dan merupakan keluaran terbaru dari brand tersebut. Dan layar dari ponsel berwarna hitam itu sekarang retak parah akibat injakannya. "Hape gue, b*****t!" Rean benar-benar tidak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini. Ponsel yang baru saja ia gunakan untuk berbicara dengan Yovan, yang baru dibelinya sebulan yang lalu dengan tabungannya sendiri, sekarang layarnya retak parah akibat injakan dari perempuan aneh berambut ungu yang baru saja menabraknya. Luapan emosi langsung memenuhi diri Rean yang memang sensitif dan mudah marah. Dengan cepat ia sambar ponselnya yang tergeletak di ubin koridor sekolah itu, kemudian ia menatap perempuan yang baru saja menabraknya tadi, tentunya dengan tatapan marah. "Sori, gue nggak sengaja," ujar Shadira cepat begitu laki-laki itu menatapnya dengan pandangan mata yang mengerikan, membuatnya meringis seketika. Rean meggeram, ia angkat ponselnya itu dan ditunjukkannya di hadapan Shadira. "Hape gue nggak akan bener cuma karena lo bilang sori, anjing." "Siapa yang anjing?" Belum sempat Shadira membalas perkataan Rean yang kasar itu, Bu Naya sudah terlebih dahulu mewakilkannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD