0.5 : Ben

1416 Words
Hari ini hari Minggu. Hari terakhir libur bagi anak sekolah setelah menikmati liburan akhir semester selama kurang lebih dua pekan. Kebanyakan dari mereka pasti akan menikmati hari terakhir libur ini dengan bersantai di rumah, beristirahat, tidur dari pagi hingga malam, intinya mengistirahatkan tubuh karena mungkin kelelahan setelah liburan dari luar kota atau luar negeri. Bagi seorang Ben, hari libur terakhir sebelum kembali disibukkan dengan kegiatan sekolah besok, akan dimanfaatkannya untuk pergi kencan dengan beberapa cewek yang sudah masuk dalam perangkap pesonanya Benjamin Davis si playboy cap ikan teri. "Iya, sayang, nanti jam tujuh aku jemput... Ya, tenang aja, semaleman aku bakal sama kamu kok... Kita liat aja ke depannya nanti gimana... Oke, see you ya." Satu seringai kecil terbit menghiasi wajah tampan Ben tepat setelah percakapan lewat telepon itu berakhir. Ia menggelengkan kepala geli karena yang berbicara lewat teleponnya barusan adalah salah satu dari mantan Ben yang belum bisa menerima keadaan kalau Ben sudah mencampakkannya. Dan sepertinya, perempuan itu nekat mengambil langkah untuk mengajak Ben kencan di salah satu kelab nanti malam. Menjadi seorang Ben, ajakan kencan seperti itu tentunya sudah biasa terjadi. Hari ini saja Ben sudah diajak kencan oleh cewek sebanyak tiga orang, mulai dari penggemarnya, kakak kelas, bahkan mantan pacar yang sudah dicampakkannya. Dan semua tawaran itu tidak ada yang ditolak olehnya. Well, he is indeed a fuccboi. The one you should avoid, the one you shouldn't be in love with. Tapi, namanya juga cewek. Tidak peduli seberapa b******n seorang cowok, kalau mereka sudah memenuhi stereotypes cowok idaman yang ganteng, tajir, knows how to treat a girl like a princess, dan tak lupa menyandang popularitas yang melejit, girls just can't help to swoon over that guy. And that's what happening with Ben and a bunch of his fans. Meskipun terdengar menjijikkan, tapi Ben menyukai kehidupannya yang dipenuhi oleh popularitas dan penggemar yang mengelu-elukannya itu. Ya, mau bagaimana lagi, istilahnya Ben itu laki-laki buaya. Kalau jaman sekarang sih, sebut saja lelaki kerdus. "Bence!" Ben yang sedang tiduran dengan posisi tangan terangkat karena memainkan ponsel pun harus mengaduh kesakitan ketika ponselnya jatuh dan menimpa wajahnya akibat satu seruan serta pintu kamarnya yang terbuka tiba-tiba, membuat dirinya terkejut bukan main. Belum sempat Ben bergerak untuk mengusap wajahnya yang barusan tertimpa ponsel, seorang perempuan tiba-tiba masuk, dan tanpa izin sang empu yang punya kasur, langsung menghempaskan tubuh di atas kasur itu tepat di sebelah Ben. "Akhirnya ya lo pulang juga! Gue cariin dari pagi udah ngilang aja, terus siang nggak balik-balik, dan baru balik sekarang. Abis dari mana hah?" Ben mendengus pelan mendapati ceracauan bertubi-tubi dari perempuan yang baru saja menampakkan batang hidungnya. Ia mencoba bangun dari posisi berbaringnya, mengusap sebentar hidung mancungnya yang sakit akibat kejatuhan ponsel, sebelum beralih menatap perempuan yang sedang mengerucutkan bibir di hadapannya saat ini. Niat hati ingin mengomel, melihat wajah perempuan itu, Ben jadi gemas dan berujung menguyel wajah cantik perempuan berambut ombre abu-abu itu. "Is, Bence!" Protes perempuan tersebut. Dengan paksa ia melepaskan dua tangan besar Ben yang dengan sangat mudah menangkup wajahnya. "Salah sendiri ngagetin gue," ujar Ben, setelah tangannya terlepas dari wajah perempuan itu. Si perempuan hanya mengerucut sebal dan memberikan tamparan pelan di pipi kiri Ben. "Abisnya ya, lo itu dari mana sih? Dari pagi buta udah ngilang. Lo ngepet ya?" "Lah, kan lo babinya? Kenapa nuduh gue ngepet?" Kontan Ben mendapatkan pukulan di bahu akibat candaannya barusan. Ben pun terbahak sendiri mendapatkan perlakuan tersebut, tanpa merasa sakit sama sekali. "Gue serius, Bence!" "Jangan ngegas, Mbak, santai aja," kata Ben, masih dengan tertawa kecil. "Gue tadi pagi diajak jogging sama cewek, terus pulangnya lunch juga sama cewek lain. Ya, dari pagi tadi gue jalan mulu sama cewek, intinya begitu," jawabnya menuturkan kebenaran. "Namanya juga orang ganteng." "Brengsek." "Udah dari dulu," jawab Ben santai. Lalu, ia kembali membaringkan tubuhnya di atas kasur, namun kali ini kepalanya ia letakkan di atas lutut perempuan yang sedang duduk bersila di sebelahnya. Kemudian Ben menguap. "Gue selalu ngantuk kalo di deket lo. Kenapa, ya?" "Karena gue mengeluarkan aura nyaman seperti kasur," jawab lawan bicara Ben tersebut. Ben kembali tertawa, tapi ia mengangguk membenarkan. "Tapi, gue ke sini bukan mau nina boboin lo, Bence," kata perempuan itu, ingat apa tujuan awalnya mendatangi Ben. Ia sedikit mendengus melihat Ben yang sudah memejamkan matanya. "Jangan tidur woy!" "Iya, enggak," sahut Ben. "Gue dengerin lo ngomong kok." Meski dalam hati Ben sudah benar-benar merasa nyaman dan benar-benar hendak tidur akibat kedatangan perempuan yang memang secara ajaib selalu bisa membuatnya merasa seperti itu. Dirinya bahkan tidak menyesalkan sama sekali kehadiran perempuan tersebut yang sebenarnya tiba-tiba. "Sebenarnya gue nyari lo dari pagi karena mau minta temenin ke salon, gue mau ngecat rambut." Secara refleks Ben menyunggingkan sebuah senyuman kecil. Jika saja yang mengatakan ini orang lain, dia pasti langsung mengernyit jijik, bukannya tersenyum. Ya, memangnya laki-laki mana sih yang doyan menemani seorang cewek berlama-lama di salon? Hah, tapi demi perempuan ini, Ben rela. "Kenapa nggak bilang? Chat gue atau telepon kek." Ben membuka matanya dan melihat perempuan itu memutar bola mata. "Gue males, entar lo susah ditelepon atau lo lama balesnya." "Yailah, notifikasi dari lo tuh pasti selalu jadi nomor satu di HP gue, setelah keluarga tentunya." "Ya, tapi gue males aja." Ben berdecih. "Dasar cewek, sukanya bikin ribet." Perempuan itu menepuk pipi Ben pelan dan berdecak. "Lo mau nggak nemenin gue?" Ben hendak langsung mengangguk mengiyakan, namun ia ingat dengan janji yang baru ia buat dengan mantannya barusan. Ah, s**l. "Sampe malem?" "Ya menurut ngana aja, Mas. Ini aja udah jam setengah lima, belum ditambah macet, ngantri, dan segala macemnya, nggak mungkin jam enam udah selesai," jawab perempuan itu. "Tapi gue udah ada janji jam tujuh nanti." Didengarnya oleh Ben kalau perempuan itu mendesah kecewa. Namun, ketika ia mendongak untuk melihat ekspresi wajahnya, perempuan itu malah memasang raut wajah datar. "Yah, yaudah kalo nggak bisa. Gue minta temenin Gen-" "Siapa bilang gue nggak bisa?" Ben memotong ucapan perempuan itu cepat dan ia pun kembali ke posisi duduknya. "Lah, lo bilang tadi lo ada janji?" Dahi perempuan itu pun berkerut bingung, membuatnya terlihat lucu. "Gampang, bisa dibatalin," jawab Ben enteng. Lagipula, ia tidak benar-benar antusias untuk kencan dengan mantannya itu. Dan meskipun keadaan hingar bingar di dalam kelab malam lebih mengasyikkan daripada suasana membosankan di salon, Ben tetap memilih pilihan yang kedua karena pilihan itu menawarkan seseorang yang lebih menyenangkan untuk menghabiskan waktu bersama. "Dih, jangan. Ya, walaupun gue tau janjian lo itu sama salah satu cewek lo, tapi ya jangan batalin janji seenaknya gitu lah. Gue nanti minta temenin Genta aja, dia juga tadi udah menawarkan diri." Sifat tidak enakan perempuan itu pun muncul. Ben tahu kalau sosok di hadapannya ini pasti merasa akan merepotkannya, padahal kan Ben sama sekali tidak akan merasa direpotkan. "Kalo lo yang nggak mau, gue ngambek." "k*****t emang lo." Ben hanya tertawa dan mengusap pelan puncak kepala perempuan itu. Ia kemudian mendorongnya pelan. "Udah sana siap-siap, setengah jam lagi gue jemput. Nggak pake tapi-tapi." Meski menggerutu, perempuan itu pun akhirnya menurut karena dalam hati dia juga merasa senang Ben mau menemaninya. Ia turun dari tempat tidur Ben, siap untuk pergi meninggalkan kamar laki-laki itu. "Bence emang the best!" Kata perempuan tersebut ceria sebelum benar-benar meninggalkan kamar Ben dan kembali ke rumahnya untuk bersiap-siap. Sepeninggalnya perempuan itu pun, Ben hanya bisa tersenyum sendiri. Senang karena dia bisa membuat perempuan tersebut senang hanya karena hal-hal kecil yang dilakukan Ben padanya. Dan saat itu juga, sisi buaya Ben lenyap entah ke mana, menghilang digantikan sisi Ben yang sebenarnya. Sisinya yang hanya ia tunjukan kepada orang-orang tertentu yang memang dekat dan disayanginya lebih dari apapun. Di masa hidupnya sekarang, hanya ada dua perempuan yang diperbolehkan Ben untuk melihat sisinya itu. Sisi seorang Ben yang benar-benar tulus, menyayangi tanpa pamrih, dan selalu perhatian tanpa rayuan-rayuan palsu melainkan murni karena sayang. Orang pertama tentunya adalah wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini, ibu Ben sendiri. Dengan segenap jiwa dan raga Ben menyayangi sesosok wanita itu. Sementara satu orang lainnya, yang sudah Ben nomorsatukan sejak dulu adalah perempuan tadi. Perempuan yang sudah dikenalnya bahkan sebelum Ben bisa berjalan. Perempuan yang sudah tumbuh bersama dengannya, berada di sisinya baik dalam suka maupun duka, perempuan yang tahu semua sisi dalam diri Ben, baik yang hitam maupun yang putih, dan masih bertahan di sisinya meski Ben punya sejuta kekurangan. Perempuan itu adalah tetangganya, teman semasa kecilnya, satu-satunya orang yang ia perbolehkan memanggilnya dengan nama konyol plesetan dari kata b*****g. Dan perempuan itu adalah Shadira. Iya, Shadira, lengkapnya Shadira Ariella. Satu-satunya perempuan yang bisa membuat Ben menanggalkan sisi buayanya dan menampilkan sisi terbaiknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD