Awal dari Segala Mula

1347 Words
Jadi, ini tahun 2017? Aku kembali ke tahun 2017? Hahaha. Ingin rasanya aku menertawai pikiranku sendiri. Tidak mungkin, kan? Ada banyak cerita tentang pengelana waktu yang kutonton dan k****a di buku. Tapi, itu semua hanya fiksi. Tidak mungkin terjadi di dunia nyata, apalagi terjadi padaku. Mana mungkin aku terlempar ke masa tiga tahun sebelumnya. Aku menampar pipi kananku. Siapa tahu bisa membuatku tersadar dari mimpi yang aneh ini. Tapi, bekas tamparan itu malah terasa perih. Jadi, ini nyata? Aku menengok kembali ke layar ponsel. 07.30. Aku yakin semuanya bisa dijelaskan dengan logika tetapi untuk saat ini aku tidak punya waktu untuk mencari tahu apa yang sesungguhnya telah terjadi. Jika memang Bu Yanti jujur padaku bahwa aku baru tiba semalam, itu artinya ini hari pertamaku masuk kerja di kantor wilayah setelah mendapatkan promosi kenaikan grade satu tingkat di kantor cabang asalku. Setelah mandi dengan tergesa – gesa dan memakai pakaian formal tanpa disetrika – untung blouse sifonku mudah diatur dan mau bekerja sama – aku tiba di gedung tujuh lantai itu tepat jam delapan. Aku tahu kantorku berada di lantai 6. Sentra Kredit Menangah Bank Berdikari. Tetapi, tombol lift kutekan dengan tergesa – gesa di angka 4. Lantai di mana ruang bagian personalia berada. Aku harus melaporkan kedatanganku terlebih dahulu dan kalau bisa, mungkin aku akan membujuk bagian personalia untuk memulangkanku kembali ke kabupaten asal. Jika memang aku tengah berkelana di tahun 2017, aku tidak akan menyia – nyiakan waktu tiga tahunku untuk menemani Bapak. Aku ingin berada di sampingnya sebelum dia meninggal. Bayangan jasad Bapak yang diturunkan ke liang lahat kembali muncul di benakku. Lalu bayangan itu bercampur dengan ingatan satu jam yang lalu saat aku menerima telepon dan mendengar suara Bapak. Suara Bapak yang terdengar sehat, baik – baik saja dan masih hidup di seberang telepon. Kombinasi kedua memori itu tiba – tiba membuat dadaku sesak. Untung saja hanya ada dua orang lainnya yang berada di lift yang sama denganku, dan semuanya sibuk dengan gadget masing – masing sehingga andaikan aku diam – diam menangis di belakang, mungkin mereka juga tidak akan menyadarinya. “Tunggu!” Suara seorang wanita bersamaan dengan tangannya yang menahan pintu lift membuatku tersentak. Segera kuusut air yang sudah menggenang di sudut – sudut mata. “Sorry, ya.” “Hara?” Mataku terbelalak mendapati sosok yang baru masuk dalam lift dan kini berdiri di sampingku adalah Hara Lavi. Wanita berambut pendek dengan kaca mata yang membingkai nyaris setengah wajahnya. Meja kerjanya di samping meja kerjaku dan karena gadis itu sangat periang serta ramah, tidak butuh waktu lama bagi kami untuk menjalin hubungan yang lebih dari sekadar teman kantor. Hara adalah salah satu dari sedikit sahabat yang aku miliki. “Ngg … iya. Aku Hara. Mbak ini siapa, ya? ” Aku mengernyit mendapati wajah Hara yang tampak heran memandangku. “Ra, jangan bencanda! Masa’ kamu nggak kenal aku? Aku Gita!” Kerutan di kening Hara bertambah mungkin sekitar selusin lagi ketika aku menyebut namaku. “Oke, Mbak Gita. Mungkin itu karena kita belum kenalan? Mbak pegawai baru? lantai berapa?” Hara mengulurkan tangannya kepadaku untuk berjabat. Senyum ramah sudah terkembang di wajah ovalnya. Aku terdiam. Jika memang benar aku sedang berada di tahun 2017, wajar jika Hara tidak mengenaliku. Kami memang baru berkenalan ketika aku pindah ke kantor cabang yang baru ini. Lift berhenti dengan bunyi dentingan yang khas. Lampu tombol yang menunjukkan bahwa lift sudah berada di lantai 4 menyala. Lantai tujuanku. Gegas aku menjabat tangan Hara sembari tersenyum. “Aku Sagita. Meja kita akan bersebelahan di lantai 6 nanti. Kita akan bersahabat baik dan aku akan menemanimu melahirkan di kamar bersalin sekitar 3 tahun dari sekarang.” “Hah?” Kubiarkan Hara melongo dan bisa kurasakan tatapan herannya menghujam punggungku saat aku berjalan keluar dari lift. Aku tahu di mana ruangan personalia berada. Saat pertama kali datang sebelumnya, aku harus menunggu sampai pegawai lantai 4 selesai morning briefing hanya untuk sekadar bertanya di mana ruangan itu. Sekarang tidak perlu. Ingatanku masih jelas tentang seluk beluk ruangan di gedung kantor ini dari lantai 1 sampai lantai 7. Aku sudah bekerja hampir dua tahun di sini sebelum akhirnya resign karena Kaivan tidak berhenti menyalahkanku tentang … ah, Kaivan. Aku juga pertama kali bertemu dengannya di sini. Kaivan adalah rekan kerjaku. Orang yang dipasangkan satu tim bersamaku. Apakah dia akan mengingatku nanti? “Selamat pagi. Ada yang bisa dibantu?” sebuah suara mengejutkanku. Saat melamun tadi, rupanya aku tidak sadar sudah berjalan sampai di depan ruangan personalia. Sepertinya aku harus mengurangi kebiasaan melamunkan kejadian ajaib yang sedang menimpaku ini kalau tidak mau orang – orang memandangku dengan tatapan aneh. “Iya, Mam Heni. Saya datang mau lapor,” sahutku pada Ibu Heni. Penyelia personalia yang tadi menyapaku. Wanita paruh baya – dia pensiun sebelum aku resign – itu mengernyit sambil membenarkan letak kaca matanya. Memandangku dengan jenis tatapan yang Hara berikan padaku di lift tadi. Astaga! aku baru ingat kalau hanya orang – orang di kantor ini yang memanggilnya dengan sebutan ‘Mam’ alih – alih Ibu. “Ibu Heni, maksud saya. Saya Sagita Riusara, pegawai pindahan dari kantor cabang kabupaten.” Segera kuralat ucapanku. Tanganku sibuk merogoh ke dalam tas dan mengeluarkan sebuah amplop lalu menyodorkannya pada Mam Heni – maksudku, Ibu Heni. “Ini SK mutasi saya.” Ibu Heni mengangguk sambil menerima amplop tersebut. “Silakan duduk. Kantor cabang juga sudah kasih tau saya hari Jumat kemarin kalau ada pegawai mutasi dari kantor mereka. Apa kita pernah bertemu atau bicara di telepon sebelumnya?” Aku menggeleng. “Saya rasa tidak, Bu.” Aku menarik kursi dan duduk di hadapan meja kerja Ibu Heni. “Terus kok tadi kamu panggil saya ‘Mam’?” “Ah … itu. Tadi di lift saya tanya ruangan personalia sama salah satu pegawai dan dia bilang di lantai 4 cari saja Mam Heni.” Raut wajah Ibu Heni yang awalnya tampak serius mulai mengendur. Dia tertawa sebelum menyahut, “Oh, begitu rupanya. Saya sampai kaget loh kamu anak baru kok tau panggilan saya. Eh, tapi karena kamu sudah jadi pegawai di sini per hari ini, kamu boleh panggil saya ‘Mam Heni’ juuga, kok.” “Oh, siap Mam!” Seruku tersenyum. Ibu Heni menelaah kertas berisi surat keputusan mutasiku. “Promosi ke SKM, ya?” Aku menangguk, “Iya, Mam.” “Oke, nanti saya suruh pegawai saya antar kamu ke lantai 6. Tunggu sebentar ya. Mereka lagi morning briefing sama Pak Pinwil.” “Tidak usah Mam. Saya bisa ke SKM sendiri, kok.” “Tau ruangannya?” “Iya, tau.” Ibu Heni kembali mengernyit heran. Buru – buru aku menambahkan, “Tadi pegawai yang di lift itu ternyata pegawai SKM juga. Dia malah sudah ajak saya tour di ruangan kerja sebelum ke sini.” “Oh, begitu.” Raut wajah Ibu Heni kembali normal. “Ya sudah kalau begitu, good luck, ya. Semoga betah di sini.” “Makasih, Mam.” Aku mengangguk dan beranjak dari kursi. “Oh, ya Mam, boleh saya tanya sesuatu?” “Ya tentu saja. Mau tanya apa?” “Kalau saya minta pembatalan surat keputusan mutasiku, bisa apa tidak, Mam?” “Maksudnya bagaimana?” “Maksud saya, kalau saya minta untuk dikembalikan lagi ke kantor cabang kabupaten, bisa atau tidak ya, Mam? Tidak apa – apa saya tidak usah promosi.” Ibu Heni kembali menatapku heran sebelum akhirnya dia tertawa kecil. “Aduh, Sagita, kamu ini belum juga mulai kerja sudah tidak betah. Banyak yang kayak kamu. Anak – anak pindahan dari kabupaten atau cabang – cabang yang lebih kecil sering minder kerja di kantor wilayah ibu kota provinsi dan minta dikembalikan ke cabang asal. Ke semua anak – anak baru itu, pesan saya cuma satu. Jalani saya dulu. Dan benar, dua tiga bulan dijalani, mereka semua akhirnya betah. Jadi, buat kamu, pesan saya ya cuma itu. Cobalah menjalani dulu. Lagipula ini promosi, kan? Tidak semua orang punya kesempatan promosi di usia semuda kamu loh, Sagita.” “Tapi, Mam, ini bukan soal minder atau tidak betah. Ini karena ….” “Sudahlah, Sagita. Coba kamu jalani dulu. Jangan banyak alasan!”[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD