Pagi yang Berbeda

1601 Words
Sinar yang menyilaukan. Aku bisa merasakan seberkas sinar kembali menerpa wajahku. Tapi kali ini dengan intensitas yang lebih lemah. Sisi wajahku yang tertimpa cahaya itu menjadi sedikit hangat. Aku mengernyitkan mataku yang masih terpejam. Kesadaranku sudah penuh, tapi aku diliputi keragu – raguan – lebih tepatnya kecemasan tentang apa yang kira – kira akan menimpaku kalau aku membuka mata? Dengan rasa penasaran yang besar dan sedikit keberanian, akhirnya aku mencoba membuka kelopak mataku perlahan. Tidak ada apa – apa. Tidak ada cahaya yang menyilaukan lagi. Aku membuka mataku lebih lebar dan pemandangan pertama yang kulihat adalah warna putih dengan bingkai bunga anggrek ungu mengelilingi permukaan putih persegi itu. Gambar bunga anggrek ungu yang familiar tetapi juga terasa asing. Aku menoleh ke kiri. Ada jendela dengan kain gorden lilac yang tidak sempurna menutup. Rupanya cahaya yang kurasakan menghangat di pipiku berasal dari sana. Cahaya matahari. Aku baru menyadari posisiku sedang terbaring di atas kasur. Aku bisa merasakan busa yang lumayan empuk di bawah tubuhku. Aku menoleh ke kanan. Ada meja rias, meja kerja serta dua travel bag ukuran besar tersandar di dinding. Ini di mana? Ini bukan di kamarku. Ini bukan kamarku di rumah Bapak atau pun kamar di rumahku dan Kaivan. Jantungku terasa memompa lebih cepat karena kebingungan segera melingkupiku. Bukankah beberapa menit yang lalu aku sedang di pekarangan belakang rumah Bapak, memandang langit sebelum sebuah sinar yang sangat menyilaukan menghantamku? Apakah aku pingsan dan ada yang membawaku kemari? Atau aku sedang diculik? Kemungkinan kedua hanya memperburuk keadaan jantungku. Gegas aku beranjak. Duduk di tepian ranjang dengan rasa sakit luar biasa di kepala. Aku memegangi kepalaku seraya berdesis menahan nyerinya. So it's gonna be forever Or it's gonna go down in flames You can tell me when it's over, mm If the high was worth the pain Got a long list of ex-lovers They'll tell you I'm insane 'Cause you know I love the players And you love the game Lagu Blank Space – Taylor Swit mengalun entah dari mana, menambah kebingunganku. Aku mencari – cari di sekitar tempat tidur karena lagu itu terasa berada di dekatku. Aku membalik bantal dan sebuah ponsel pintar ada di sana. Melantunkan refrain Blank Space berulang – ulang. Aku meraih ponsel itu, bukan milikku, tapi sama halnya dengan plafon putih berbingkai anggrek, rasanya ponsel itu pun tampak familiar bagiku. Aku menatap layarnya yang tengah berkedip – kedip. Tertulis ‘Bapak’ di sana. Bapak? “Halo.” Ya. Aku memutuskan untuk menjawabnya meskipun tidak tahu ini ponsel milik siapa dan panggilan itu ditujukan kepada siapa. Tetapi mungkin dengan menjawabnya, aku bisa mengetahui aku sedang berada di mana atau setidaknya bisa meminta pertolongan jika memang aku sudah diculik dan disekap. “Gita?” Napasku tertahan demi mendengar suara pria di seberang telepon. Aku sangat mengenali suara itu. Tidak mungkin aku tidak mengenali suara Bapak, bukan? Tapi, Bapak kan sudah meninggal? Sialan! Siapa yang mengerjaiku dengan mencoba – coba meniru suara Bapak? “Gita? Kok kedengarannya kamu baru bangun? Ini sudah jam berapa?” suara di seberang kembali terdengar sementara isi kepalaku berputar dengan cepat demi mencari penjelasan atas kejadian ini. Lalu ketika menyadari bahwa segala kemungkinan rasanya mustahil, aku memutuskan menyahut dengan lirih, “Bapak? Apa ini Bapak?” “Ya, ampun Gita! Kamu ini masih mengigau atau bagaimana? ini hari pertama kamu masuk di kantor baru, loh! Bapak sudah feeling kamu pasti kecapean karena baru berangkat kemarin sore. Ayo bangun. Ini sudah hampir jam tujuh. Kamu masuk kantor jam delapan, kan?” Dadaku terasa sesak oleh berbagai persaan. Tentu saja didominasi oleh perasaan bahagia sehingga repetan panjang Bapak yang kadamg – kadang menyebalkan terdengar merdu di telingaku kali ini. “Bapak? Bapak masih hidup?” aku tidak bisa mengendalikan kalimat itu meluncur dari mulutku sementara mataku terasa memanas. “Aduh, aduh! Kayaknya beneran masih ngigo ini anak gadis satu! Kamu doain Bapak mati?” Aku bisa mendengar nada terkejut dalam suara Bapak di seberang sana. “Sudah! Sana mandi dan siap – siap. Jangan lupa sarapan, ya. Bapak tutup dulu. Bapak juga mau bikin sarapan.” “Tunggu, Pak.” Aku gegas menyela. “Apa lagi?” “Gita cuma mau bilang, Bapak sehat – sehat, ya. Gita sayang banget sama Bapak.” “Ck … ck … ck … pagi – pagi sudah mellow. Ini pasti ada maunya.” Bapak menyelutuk demikian sebelum menutup sambungan teleponnya. Beberapa menit setelah panggilan masuk dari Bapak berakhir, aku masih terpaku menatap layar ponsel. Berusaha menelaah peristiwa yang baru saja terjadi. Apakah ini mimpi? Apakah aku sedang bermimpi? Aku masih bisa mengingat dengan jelas betapa hancurnya duniaku saat menyaksikan tubuh Bapak dimasukkan ke liang lahat kemarin. Bisakah aku meminta kejadian itu saja yang mimpi? Peristiwa mana sebenarnya yang hanya mimpi? Aku rela bermimpi buruk asalkan hidup di dunia nyata yang masih ada Bapak di dalamnya. Tetapi andaikan kematian Bapak adalah kenyataan, maka aku sangat berterima kasih kepada Tuhan karena memberikan mimpi yang seindah ini. Mimpi mendengar suara telepon Bapak di pagi hari. Tunggu dulu. Mataku mengernyit. Layar ponsel kubawa semakin dekat untuk dapat melihat dengan jelas dan terang pada penunjuk waktu serta tanggal yang tertera di sana. 07.10. Senin, 03/04. Bapak meninggal di hari Jumat tanggal 24 Juli tahun 2020. Tapi kenapa waktu di ponsel ini menunjukkan tanggal 3 April tahun … ah sebentar, aku menekan tanggal pada layar dan tampilan kalender terbuka. Tahun 2017? Apa waktu di ponsel ini salah? Mataku bergerak liar mencari sesuatu di dinding. Kalender, jam, apa saja yang dapat menjelaskan waktu saat ini. Dinding itu lengang. Tidak ada apa – apa di sana. Dengan tergesa – gesa aku beranjak, meraih gagang pintu sambil berharap pintu itu tidak terkunci dan memang benar, pintu kamar itu ternyata tidak terkunci. Pemandangan pertama yang kulihat adalah sebuah pekarangan. Pohon mangga, beberapa bunga dalam pot yang berjajar rapi. Aku tidak tahu nama – nama tumbuhan itu. Motor dan mobil berlalu lalang. Aktivitas di pagi hari yang tampak normal. Dari ekor mataku, aku bisa merasakan sesosok wanita berjalan mendekat. Gegas aku menoleh. “Bu Yanti?” Aku bisa merasakan mataku melotot. Sosok wanita gemuk paruh baya itu menatapku heran. “Memangnya tadi malam kita sempat kenalan ya, Mbak? Kok Mbak tau nama saya?” Aku tersenyum canggung. “Ya, tau. Bu Yanti kan yang jaga kosan saya dulu waktu saya pertama kali datang ke kota ini. Bu Yanti ngapain di sini, Bu?” Bu Yanti masih menatapku dengan heran. Dan mungkin semakin bertambah heran karena kini mulutnya tampak melongo membentuk huruf O. “Mbak baru datang kemarin. Tiba hampir jam satu malam dan bilang lelah. Saya antar Mbak ke kamar kos. Itu, kamar nomor 5.” Bu Yanti menunjuk ke belakang punggungku. Aku mengikuti arah telunjuknya yang mengarah pada pintu kamar tempatku keluar tadi. Ada angka 5 tertulis di pintu itu. “Mbak coba – coba berbaring di kasur, eh malah ketiduran. Karena saya tungguin sejam Mbak nggak bangun – bangun akhirnya kamar Mbak saya kunci dari luar. Takut ada maling. Jam 6 tadi saya bukain lagi. Ini kuncinya.” Berganti aku yang melongo mendengar penuturan Bu Yanti. Apa lagi sih, ini? apakah ini masih satu rangkaian dengan mimpiku? Atau apakah memang ada yang berniat mengerjaiku dan mengajak Bu Yanti terlibat dalam tindakan iseng ini? “Loh, malah bengong. Ini Mbak, kuncinya.” Bu Yanti sengaja menggoyangkan anak kunci yang sudah diberi gantungan miniatur Menara Eiffel itu untuk mengembalikan kesadaranku. “Ah … I … iya, makasih ya, Bu.” Aku meraih kunci itu dari Bu Yanti dengan perasaan dan pikiran yang masih sangat kacau. Bu Yanti tersenyum ramah. “Nah, karena Mbak sudah tau nama saya, sekarang gantian saya yang mau tanya nama Mbak.” Logat Bu Yanti yang medok Tegal adalah salah satu hal yang sangat aku rindukan ketika pada akhirnya harus pindah ke rumah Kai usai pernikahan kami. Tunggu dulu. Tapi, kenapa aku terbangun di kamar kos lamaku? “Malah bengong lagi. Mbaknya ini kayaknya masih jet … eh apa tuh, jet …” “Jetlag?” “Nah itu … jetlag!” Senyum di bibir Bu Yanti bertambah lebar. “Saya tadi tanya nama Mbak. Nama Mbak siapa toh?” “Sagita, Bu. Sagita Riusara. Panggil Gita saja.” Bu Yanti mengangguk. “Oke Mbak Gita. Kalau begitu selamat datang, ya!” Aku membalas senyuman Bu Yanti dengan senyuman hambar dan kaku lainnya. Pikiranku masih sibuk mencoba menelaah apa yang sebenarnya sudah terjadi padaku. Apakah Bu Yanti saat ini hanya berpura – pura tidak mengenaliku? “Saya tinggal masak dulu, ya.” Bu Yanti sudah berbalik dan berjalan menjauh ketika aku menyebut namanya kembali. “Ini tanggal berapa, ya?” Langkah kaki Bu Yanti terhenti. Dia berbalik menatapku sambil merogoh saku dasternya. Sebuah handphone monoponik dia keluarkan dari sana. Bu Yanti kemudian menatap layar ponsel itu dengan mata yang menyipit. “Tanggal 3, Mbak,” sahutnya.” “3 April?” “Iya, sudah bulan April. Nggak terasa ya, Mbak.” “Tahun?” tanyaku lagi. “Tahun?” Bu Yanti balik bertanya dengan tatapan heran. Orang bertanya tanggal sudah biasa. Tapi, bertanya tahun? “Ini tahun 2020 kan, Bu?” Bukannya menjawab, Bu Yanti malah tertawa. “Mbak Gita ini senang bercanda rupanya.” Wanita itu mengibaskan tangannya padaku. “Sudah ya, saya tinggal dulu. Mbak Gita juga harus siap – siap ke kantor, toh?” “Tahun berapa, Bu? Saya tidak lagi bercanda.” Tawa di wajah Bu Yanti seketika lenyap. Dia kembali memandangku heran sebelum menjawab, “Tahun 2017 lah, Mbak!”[] ### Hai Bestiee.. Makasih banyak udah mau mampir di cerita ini. Kira - kira ada yang bisa menebak tidak apa yang sudah terjadi pada Sagita? tulis di kolom komentar yeee...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD