Penyesalan

2077 Words
Malam setelah Bapak dikebumikan dan para kolega yang sejak kemarin berkumpul untuk berdoa dan berbela sungkawa mulai beranjak pulang, rumah terasa sangat lengang. Kursi rotan di teras mengingatkanku pada Bapak. Bapak senang duduk di sana sambil menikmati teh sore. Asbak di meja ruang tamu mengingatkanku pada Bapak. Bapak rajin membaca koran dan menjentikkan abu cerutunya di sana. Kulkas di sudut ruangan mengingatkanku pada Bapak. Setiap kali pulang ke rumah ini Bapak akan dengan antusias membuka pintu kulkas dan bertanya, ‘Mau Bapak masakkan apa, Git?’ Rumah dan seisinya seperti tengah bersokongkol membuat duka di dadaku bertambah lebar. Aku sudah lelah menangis sejak dua hari yang lalu saat Bapak dinyatakan kritis. Mataku sudah bengkak seolah tidak mampu lagi memuntahkan lara. Duniaku hitam putih. Aku bisa apa tanpa Bapak? Bolehkah aku ikut bersama Bapak saja? Ponsel yang kuletakkan di atas meja makan tiba – tiba berdering, menandakan sebuah pesan baru saja masuk. Suaranya seketika membuyarkan lamunanku. Itu pasti ucapan bela sungkawa lagi entah dari siapa. Mungkin dari keluarga, mungkin dari teman – temanku di kampus dulu, mungkin dari teman – teman di kantor lama. Mungkin dari Kai? Aku segera mengangkat tubuhku yang lemah karena hanya terisi dua gelas air sejak pagi. Untuk beranjak dari sofa rasanya berat sekali, tapi aku tetap berusaha begitu nama Kai muncul di dalam pikiranku. Gegas aku meraih ponsel dan melihat layarnya. Bukan Kai rupanya. Ada sebersit perasaan kecewa yang muncul di hatiku tetapi secepat itu pula berusaha kutepis. Pesan yang baru masuk itu dari Mama yang mengabarkan kalau peswatnya baru saja mendarat di Manado. Kemarin, kala mendengar berita kematian Bapak, Mama membeli tiket penerbangan paling pagi, tiba satu jam sebelum Bapak dikebumikan, menangis paling kencang di antara para pelayat, ikut melantunkan doa – doa dan kemudian pamit pulang. Mama dan Bapak sudah berpisah sejak aku berusia tujuh tahun. Aku tinggal bersama Bapak sedangkan Mama pergi membawa Aries, adikku yang kala itu baru berusia tiga tahun. Apa Kaivan sudah datang? Rupanya ada pesan lain yang masuk setelah pesan yang memberitahukan bahwa Mama sudah tiba di kota tempat tingalnya. Pesan yang membuatku seperti dihantam palu godam. Kai belum datang, belum memberi kabar, belum menghubungiku sama sekali. Tapi, alih – alih membalas pesan dari Mama, aku memutuskan untuk me – nonaktifkan ponselku, menghindari mengangkat panggilan masuk dari Mama kalau tiba – tiba dia memutuskan untuk menelepon karena aku tak kunjung membalas pesannya. “Kai mana Git, kok tidak kelihatan dari tadi?” “Sagita, suami kamu mana?” “Kaivan belum datang? Kalian tidak barengan kemari?” “Ibu Sagita, kalau tidak ada lagi keluarga yang ditunggu, sebaiknya kita kebumikan Bapak Arman sekarang sebelum matahari terbenam.” Pertanyaan para pelayat tidak berhasil kujawab dengan benar. Kadang hanya kubalas dengan seutas senyum, kadang dengan gelengan kepala, kadang sekadar satu dua patah kata. Dan tidak ada pertanyaan lanjutan karena mungkin mereka lihat aku masih kepayahan menanggung duka. Entah kalau bisik – bisik di belakang. Tidak ada pertanyaan lanjutan tentang Kaivan kecuali dari Mama. “Bagaimana hubungan kamu dengan Kaivan?” Dan pertanyaan Mama pun tidak bisa aku jawab. Hari ini Bapak dikebumikan. Bolehkah aku rehat sejenak dari berbagai pertanyaan tentang Kai dan rumah tanggaku? Kenyataan Kai tidak datang hingga para peziarah kubur berpamitan pulang bisakah kujadikan pertanda bahwa rumah tanggaku sedang tidak baik – baik saja? “Rumah sudah sepi, Pak. Hanya ada Sagita di sini sendirian.” Aku berbisik lirih sembari menatap ke sekeliling rumah yang tampak lengang. Seolah Bapak bisa mendengarnya dari alam lain. “Aries tidak datang. Susah dapat tiket mendadak dari Canberra. Tapi dia bilang akan kirim doa untuk Bapak. Kaivan … Mas Kaivan belum datang ….” Lalu tanpa sadar air mataku kembali luruh. Deringan telepon yang berasal dari sudut ruangan kembali memecah keheningan. Aku yang kini sedang duduk di salah satu kursi di meja makan kembali memaksa tubuhku untuk beranjak menghampiri telepon rumah yang deringannya terkesan menuntut untuk segera diangkat. Please, jangan Mama. Jangan Mama. “Halo.” “Astaga Gitaaa!” Aku tahu dengan baik siapa pemilik suara di seberang telepon itu. “Hape kamu nggak aktif! Aku telpon – telpon dari tadi.” “Iya, Ra. Lagi lowbat,” sahutku berbohong. Hara Lavi. Salah satu teman di kantor lamaku yang telah naik peringkat jadi sahabat karena meskipun aku sudah resign sejak nyaris satu tahun yang lalu, kami masih sering berkomunikasi dan sesekali bertemu. “Maafin aku nggak bisa datang ya, Git,” ucap Hara. Kalimat yang entah sudah berapa kali dia ucapkan sejak aku mengabarkan Bapak meninggal. Dia baru selesai cuti melahirkan, anaknya baru tiga bulan. Aku sangat maklum kalau dia tidak bisa menempuh perjalanan delapan jam dari kota untuk melayat di rumah ayahku sekarang. Aku sangat maklum. Tetapi entah kenapa Hara masih saja merasa bersalah. “Nggak apa – apa, Hara. Mama datang, kok. Jadi dia yang temani aku menyambut tamu – tamu yang melayat.” “Ah, syukurlah … Mamamu sampai kapan di sana?” “Habis penguburuan tadi langsung balik.” “Balik Manado?” Aku mengangguk meski tahu Hara tidak akan bisa melihatnya. “Iya, anaknya yang bungsu sakit. Rewel.” Tiga tahun setelah bercerai dari Bapak, Mama menikah lagi. Dari pernikahannya yang kedua dia memiliki tiga orang anak. Anaknya yang bungsu masih SD. Lalu, aku bisa apa? apakah aku tega merengek pada Mama untuk menginap setidaknya sehari saja di sini menemaniku? Terdengar embusan napas panjang Hara di seberang telepon sebelum dia bertanya, “Jadi, kamu sendiri?” pertanyaan itu terdengar diucapkannya dengan hati – hati. “Iya,” jawabku lemah. Singkat. “Kaivan belum datang?” “Kai tidak datang.” Aku menyahut tegas. Terdengar terlalu tegas di telingaku. “Gita …” suara Hara menggantung. Seperti ingin mengucapkan sesuatu tapi dia telan kembali. “Kapan kamu pulang?” Pulang? pulang ke mana? Ke kota tempat tinggal Kaivan? Ke rumah Kaivan? Setelah semua yang dia lakukan padaku? Setelah semua yang terjadi pada pernikahan kami? setelah dia tidak muncul pada penguburan Bapak padahal dia tahu kalau Bapak adalah orang yang paling berharga dalam hidupku? Pulang ke mana? Apakah dia masih pantas disebut rumah? Pulang ke mana? Apa aku bahkan masih sanggup menghadapinya? “Tidak tau, Ra,” jawabku lirih. “Aku rasanya sudah tidak punya alasan untuk pulang. Rumahku di sini. Di dekat pusara Bapak.” Suaraku tercekat. “Sagita, kamu jangan ngomong begitu!” seru Hara. “Nanti aku coba ngomong sama Ferdi. Kalau dia ijinin, weekend ini aku susul kamu ke sana, ya.” Ferdi adalah nama suami Hara. “Nggak usah, Ra. Kasihan Kenzou kalau kamu tinggal.” Aku menyebut nama anaknya. “Hang on, Sagita!” Hara tampak tidak mempedulikan kata – kataku. “Aku akan bujuk Ferdi biar ngijinin aku jemput kamu weekend ini. Sementara itu kamu harus kuat. Jangan pikir macem – macem. Harus makan dan minum yang cukup, ya.” Aku mengangguk. Senyum kecil terbersit di bibirku. Hara memang mahir mengomeliku seperti ibu – ibu yang memarahi anaknya. “Iya. Tapi kamu juga janji.” “Janji apa?” “Janji tidak akan telpon Kaivan dan ngomel – ngomel. Biarkan kami selesaikan masalah ini berdua.” “Ah, sialan!” terdengar Hara mengumpat di seberang. “Aku barusan mau telpon dia habis telpon kamu ini.” Lalu sayup – sayup terdengar suara bayi menangis. “Sudah sana! itu Kenzou kayaknya mau minta susu.” “Iya sudah. Aku tutup, ya. Take care.” Dan sambungan telepon itu pun berakhir. Tidak ada apa pun yang masuk ke dalam tubuhku selain dua gelas air tetapi anehnya aku tidak merasakan lapar sama sekali. Hanya kulit bibirku yang tampak mengelupas. Aku menyeret langkah. Kali ini menuju ke ruang tengah. Ada sebuah sofa dan televisi di sana. Aku mengempaskan tubuhku ke sofa dan meraih remot televisi. Menghidupkan benda datar itu tanpa ada niatan untuk menonton. Hanya agar rumah ini tidak terlalu lengang. Suara pembawa berita dari salah satu stasiun televisi seketika mengisi molekul – molekul udara di sekelilingku. “Komet Neowise adalah salah satu fenomen langit menarik yang terjadi di bulan ini. Komet itu sendiri dikonfirmasi oleh beberapa astronom akan dapat dilihat dengan jelas di negara – negara subtropis seperti Eropa, Australia dan Amerika. Tetapi, tidak menutup kemungkinan dapat juga terlihat di beberapa negara tropis seperti Indonesia meskipun dengan ketinggian yang terus meningkat. Beberapa kelompok pendaki sengaja berkumpul di puncak gunung di beberapa daerah di Indonesia untuk menantikan momen bersejarah yang tidak akan terulang hingga 5000 tahun mendatang.” Aku beranjak dari sofa karena merasakan gatal dan perih di kerongkonganku. Aku membuka kulkas dan menenggak langsung air dingin dari botol kaca beberapa teguk. Dingin air itu membasahi kerongkonganku dan ajaibnya terasa membasuh hatiku sekaligus. Sejuk. Aku berniat kembali ke sofa tetapi dalam perjalanan malah terantuk lemari hias tempat Bapak meletakkan benda – benda ‘berharga’ miliknya. Piagam – piagam penghargaan yang dia peroleh semasa masih aktif menjadi dosen, oleh – oleh yang dia dapatkan dari dinas luar kota atau pun luar negerinya, foto – foto masa kecilku dan Aries. Sebuah bingkai foto terjatuh dari rak. Aku memungutnya. Foto pernikahanku dan Kaivan. Bapak menyimpan foto pernikahanku dan Kaivan di lemari koleksi benda berharga miliknya. Aku menatap foto itu sejenak. Membawanya bersamaku menuju ke pekarangan belakang rumah Bapak. Rumah yang menjadi tempatku tumbuh besar. Pekarangan belakang rumah Bapak tidak begitu luas tapi dipenuhi rumput gajah sehingga waktu kecil aku senang bergulingan di sana. Bapak meletakkan sebuah bangku besi di sana. Kalau tidak sedang minum teh di teras atau membaca di ruang tamu, maka Bapak akan duduk – duduk di pekarangan belakang. Biasanya malam hari sambil memandang ke atas langit yang bertabur bintang. Kota kecil tempat Bapak tinggal jaraknya delapan jam perjalanan ke ibu kota. Tidak padat, tidak banyak polusi, sehingga bintang dan bulan adalah pemandangan lazim yang bisa dilihat dari pekarangan belakang rumah kami. “Bapak kok suka memandangi langit sambil bengong? Bapak mikirin apa?” “Bapak sedang berpikir, apakah ada kehidupan seperti di bumi, di salah satu bintang di antara jutaan bintang yang ada di alam semesta? Tuhan pasti tidak hanya menciptakan manusia bumi, kan?” “Waduh, Gita nggak bisa jawab pertanyaan Bapak.” Sebuah percakapan yang pernah terjadi di bangku besi di pekarangan belakang terlintas dengan semena – mena dalam benakku. Sialan sekali! Aku lantas duduk di bangku itu. Dingin besi menembus rok panjang yang tengah kukenakan. Foto pernikahanku dengan Kaivan kupandangi lagi. “Apakah kamu sudah yakin dengan Kaivan? Apakah kamu yakin Kaivan bisa membuatmu bahagia?” “Gita yakin, Pak.” “Ingatlah Gita, di dalam pernikahan, kamu juga harus bahagia. Kamu sebagai istri nantinya tidak harus terus menerus mengutamakan kebahagiaan suami padahal kamu sendiri menderita. Pernikahan itu harus saling – saling. Saling membahagiakan. Saling mengerti. Tidak bisa salah satunya bahagia sementara yang lain tidak. Tidak bisa yang satu berkorban sementara yang lain tidak. Apa kamu yakin Kaivan itu adalah laki – laki yang bisa saling – saling denganmu nanti?” “Iya Bapak. Gita yakin!” “Kalau sudah menikah nanti dan ada hal – hal yang tidak membahagiakanmu, kamu harus jujur sama Bapak ya, Gita. Jangan ada yang kamu tutup – tutupi.” “Bapak doain Gita nggak bahagia?” “Loh, bukan begitu … Bapak cuma ….” “Iya, Bapak, Gita paham. Gita akan jujur sama Bapak tentang semuanya. Termasuk ketika Gita tidak bahagia.” Kenangan akan percakapan lain ketika bersama Bapak kembali menyeruak dari pikiranku. Rasanya sakit sekali. Rasanya sakit sekali saat kamu mengingat momen – momen bahagia bersama orang yang sudah tidak lagi hidup di dunia yang sama denganmu. “Apa kamu bahagia Gita? Apa pernikahanmu baik – baik saja?” Bahkan di saat menemani Bapak yang kritis di rumah sakit pun, Bapak berulang kali menanyakan hal itu padaku. Dan berkali – kali pun aku berbohong. Aku bilang pernikahanku baik – baik saja. Aku bilang Kaivan sedang sibuk dan akan datang begitu pekerjaan pentingnya selesai, Aku bilang aku bahagia. “Maafkan Gita, Pak,” lirihku pada langit. Di manakah kehidupan setelah kematian? Apakah ada di salah satu bintang di antara jutaan bintang yang ada di alam semesta? “Gita tidak bahagia tapi Gita tidak bisa jujur sama Bapak. Maafkan Gita, Pak! Gita tidak bahagia menikah sama Kaivan. Gita harap Bapak bisa berumur lebih panjang. Gita harap tidak pernah menikah dengan Kaivan supaya bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan Bapak di sini!” Saat tengah menatap langit itulah seberkas cahaya yang menyilaukan tiba – tiba menerpa wajahku. Aku refleks menutup mata karena cahaya itu membuatku silau dengan cara yang menyakitkan. Lalu yang terlihat hanya gelap. Yang terasa kini hanya kehampaan. Di mana aku? Sudah matikah aku?[]
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD