BAB 9

1665 Words
Seorang wanita cantik berjalan keluar rumah menuju mobil yang terparkir di halaman. Bosan di rumah sendirian dia memutuskan untuk nongkrong di kafe sahabatnya, Mira yang juga teman Rey. Mereka sering menghabiskan waktu bersama untuk sekadar mengobrol. Tidak sampai dua puluh menit mobil yang Lembayung kendarai sampai di tempat tujuan. Dia mematikan mesin mobil kemudian turun dan berjalan santai ke pintu utama kafe yang segera dibuka oleh si pemilik karena sebelumnya mereka sudah saling berkirim pesan. Mira menyambut hangat kedatangan sahabat yang sangat dia ridukan. Bagaimana tidak, sudah dua tahun mereka tidak bertemu semenjak terakhir kali Lembayung berkunjung ke makam adiknya yang ada di Jakarta. Tujuan kepulangannya kali ini pun sama untuk mengunjungi makam Lian. “Hai, orang Turki ... kirain udah lupa jalan pulang?” sapa sang pemilik kafe sambil berpelukan ala mereka. “Ah, bisa aja,” sahutnya terkekeh. “Yuk, duduk dalem aja.” Mira mengajak Lembayung masuk ke ruang yang lebih privat agar bisa mengobrol lebih santai. Tak lupa dirinya menanyakan pesanan sang sahabat. Tak lama kemudian pelayan datang membawakan pesanan yang langsung disambut hangat wanita berambut cokelat itu. Menyesap kopi kesukaannya, “Hmm ... nikmat seperti biasa," komentar Lembayung membuat keduanya tertawa. “Beberapa hari lalu Rey mampir tapi cuma bentar, bis ngamar dia ... biasa,” ungkap Mira mengingat kedatangan teman prianya tempo hari. “Aku juga dari bandara langsung mampir ke apartemen dia. Tapi fokus aku malah ke cewek yang dia bawa loh. Cewek berhijab! Kamu tau lah gimana bejatnya tuh anak. Namanya Jingga,” cerita Lembayung menggebu. “Dia nggak ada cerita apapun sama aku.” “Bilangnya sih ART baru tapi aku nggak percaya. Entah kenapa aku pingin tahu lebih jauh tentang cewek itu.” “Cemburu ya?” goda Mira sambil menaikturunkan sebelah alis. “Enak aja, aku masih doyan suamiku, Jhon! Nggak ada ya aku suka sama cowok modelan Rey, udah ketebak berengseknya. Kamu kali tuh yang tergila-gila ma dia, hayo ngaku!” Senjata makan tuan. Berniat menggoda malah kena goda. Seketika pipi Mira merona menahan malu. “Aku juga nggak ngerti kenapa bisa suka sama dia padahal kita tau dia berengsek,” akunya kemudian. Mulut Lembayung menganga mendengar penuturan sahabat bodohnya ini. Bodoh karena sudah tahu Rey berengsek masih saja suka. “Jadi bener?” tanyanya tidak percaya. “Tapi ... bukan mau bikin kamu pesimis ya, cuma menurut aku mending kamu move on deh. Nggak baik buat kesehatan hati kamu. Kita tahu dia luar dalem lah.” “Tenang aja aku nggak buta karena cinta kok. Aku pasti bisa move on.” Keduanya tertawa bersama sambil bercerita banyak hal yang mereka lewatkan selama dua tahun terakhir. Melirik arloji di pergelangan tangan kiri Lembayung berseru, “Eh udah malem loh kamu nggak tutup? Aku mau balik nih.” Wanita itu menoleh pada beberapa pelayan yang sedang beberes. “Bentar lagi, aku lagi nunggu seseorang,” ucap Mira mencurigakan. “Dih, udah punya gebetan masih aja ngarep yang ono,” cibir Lembayung membuat Mira tergelak. “Yah, siapa tau yang ono berbalik." Gadis itu terkekeh. "Nggak sih, aku udah coba move on kok. Kalo nggak mana mungkin sekarang punya gebetan.” “Baguslah kalo gitu. Aku balik yah, lain waktu mampir lagi.” Mereka berpelukan setelahnya berjalan beriringan menuju pintu kafe. “Ati-ati, Lea, thanks udah mampir.” Lembayung menautkan ibu jari dan jari telunjuknya sambil tersenyum, masuk mobil dan meletakkan kotak mika pemberian Mira di kursi penumpang sampingnya kemudian mulai melaju. “Aku mampir ke Rey aja kali ya? Nggak mungkin kan cake sebanyak ini aku lahap sendiri, bisa gendut nanti,” monolognya sambil melirik kotak di samping sebelum berbelok arah menuju apartemen pria itu. Tok Tok Tok “Lea .... ” seru Rey tersenyum lebar melihat tamu yang datang malam-malam ternyata sohibnya. “Aku bis dari kafe Mira, dibawain oleh-oleh.” Lembayung mengangkat cake pemberian Mira yang ditentengnya. “Nggak mungkin aku makan sendiri, baik kan?” pujinya pada diri sendiri membuat pria yang diajak bicara memutar bola mata. Lembayung berjalan ke dapur untuk mengambil piring. Suara gemericik air tertangkap indera pendengarannya. Berpikir Jingga sedang mandi dia berjalan kembali ke ruang tv menghampiri Rey yang sudah duduk di sana. Wanita itu menata cake dalam piring kemudian mulai menyantap diikuti sang sahabat. Mereka makan sambil sesekali diselingi obrolan ringan. Lima puluh menit berlalu Lembayung teringat Jingga yang sedang mandi. Lama juga mandinya. Begitu dia pikir. “Jingga mandi lama banget, Rey?” tanya wanita itu yang belum melihat Jingga keluar dari kamar mandi padahal sudah cukup lama. “Astaga!” Rey bergegas bangkit, berlari menghampiri pintu kamar mandi dan membuka kunci kemudian masuk ke dalam. Lembayung yang tidak tahu apa-apa mengekor. Heran kenapa pintu kamar mandi dikunci dari luar. Lembayung menutup mulut yang terbuka karena kaget melihat penampakkan di depan. Jingga tergeletak di bawah kucuran air shower dengan pakaian masih melekat. Sementara Rey segera mengangkat tubuh lemas itu. Setengah berlari membawa Jingga ke kamar gadis itu. Tubuhnya terasa sangat dingin. Masih setia mengekor Lembayung ikut masuk ke kamar Jingga, “Biar aku yang gantiin baju!” interupsinya saat Rey berjalan ke arah lemari untuk mengambil baju ganti. “Kamu tunggu di luar!” titahnya. Menurut, Rey membiarkan sahabatnya itu mengganti pakaian sang istri. Di luar pintu dia berjalan mondar-mandir, panik. Merutuki kebodohannya yang lupa mengunci gadis itu di dalam kamar mandi. Beberapa menit kemudian Lembayung keluar. Menatap tajam ke arahnya. “Apa yang kamu lakuin? Kamu bisa bunuh dia, Rey!!” desisnya tajam. Rey hanya bisa bungkam karena dirinya memang salah. “Maaf.” Satu kata yang dia ucap tapi sarat akan penyesalan. “Aku nggak ngerti sama kamu!” Tatapan kecewa Lembayung tunjukkan. Dia tidak menyangka sahabatnya bisa melakukan hal sekejam itu. “Aku nggak ngerti apa yang terjadi antara kamu sama Jingga, aku juga nggak berhak ikut campur tapi nggak harus dengan cara kayak gini dalam nyelesein masalah, Rey. Telat bentar aja dia bisa lewat. Kamu mau jadi pembunuh?” marahnya masih tidak percaya dengan tindakan pria itu. “Aku nginep sini temenin Jingga takut kamu aneh-aneh,” lanjutnya. Membalas dengan anggukan Rey beranjak menuju kamar untuk mengambil bantal dan selimut. “Kamu tidur kamar aku!” titahnya. “Nggak, aku tidur bareng Jingga aja.” Jelas Lembayung tidak mau kecolongan. “Ya udah.” Rey menatap punggung wanita itu yang masuk kembali ke dalam kamar istrinya kemudian berlalu. Lembayung merawat Jingga dengan telaten. Beberapa kali mengompres kening gadis yang semalam demam tinggi itu. Rey yang melihat itu merasa bersalah. Niat menghukum malah berujung petaka. Beruntung Lembayung datang di waktu yang tepat. Jingga mengerjap beberapa kali menyesuaikan cahaya yang masuk ke mata. Ternyata sudah pagi. Melihat berkeliling tatapannya bertemu dengan Lembayung dan ... Rey. Pria kejam yang semalam menyiksanya itu tengah menatapnya dengan tatapan tak terbaca. Tatapan sayu Jingga berubah datar membuat suasana menjadi canggung. Lembayung yang memahami itu bangkit, “Aku ke dapur dulu,” pamitnya membiarkan dua insan berbeda sifat itu menyelesaikan masalah mereka. Memilih membuat bubur ayam untuk sarapan wanita itu menyiapkan beberapa bahan, mencuci beras kemudian mulai merebus air. Dengan cekatan dia berkutat dengan alat dapur. Lahir dari keluarga berada tidak lantas membuatnya malas sehingga apapun yang menjadi pekerjaan seorang wanita dia terbiasa melakukannya. Tiga puluh menit berlalu semua masakan selesai, Lembayung mengambil semangkuk bubur ayam dan segelas air putih lalu membawanya ke kamar Jingga. Mengetuk pintu kemudian masuk setelah dipersilakan. “Loh, Rey mana?” tanyanya. “Tadi keluar, Kak.” Jingga menjawab dengan senyum di wajah pucatnya. Kok Lembayung tidak melihat? Mungkin karena sibuk dengan masakannya. “Makan dulu ya, abis itu minum obatnya.” Lembayung menaruh nampan di depan Jingga kemudian memberikan obat yang tadi sempat dia beli di apotek. “Mau aku suapin?” tawarnya. “Eh, nggak Kak, makasih.” Jingga menggeleng merasa tidak enak merepotkan wanita cantik itu. “Jingga, aku boleh nanya sesuatu nggak?” tanya Lembayung ragu-ragu. “Boleh, Kak.” Mendongak, perhatian Jingga fokus pada wanita yang semalam merawatnya. “Sambil dimakan dong.” Lembayung melirik bubur Jingga yang masih utuh. Gadis itu mulai memakan buburnya setelah mengangguk. “Jujur aku penasaran sama kamu.” Jingga terkekeh, “Kayak yang Rey bilang, Kak, aku ARTnya.” Gadis itu menyadari ada yang salah dengan kalimatnya melihat kernyitan di dahi Lembayung. “Maksudku, Tuan Rey,” ralatnya telihat sekali berbohong. “Bukan itu. Maksud aku ... tentang kehidupan kamu. Tapi kalo kamu keberatan nggak pa pa kok, aku cuma penasaran.” Jingga tersenyum manis sekali. “Nggak ada yang menarik dari kehidupan aku, Kak. Dari kecil aku tinggal di Batu bersama ibu. Sedangkan ayah punya usaha meubel di Jakarta. Awalnya usaha ayah cukup maju hingga setelah lulus SD ayah memboyong kami ke sini. Beberapa tahun setelah itu ada masalah dengan rumah tangga mereka. Aku nggak tahu masalah orang dewasa, yang aku ingat waktu itu ayah yang dulu penyayang jadi sering lakuin kekerasan sama ibu. Tiap hari ayah main judi dan mabuk-mabukan. Harta yang kami punya ludes hingga ibu pergi gitu aja ninggalin kami. Sampai sekarang ... aku nggak tahu keberadaan ibu,” lirihnya setelah bercerita panjang lebar. Tanpa Jingga sadari setetes air mata menitik. Karena ulah ayahnya juga lah sekarang dia ada di sini bersama pria laknat nan kejam itu. Tentu saja tidak dia ceritakan pada Lembayung. Bisa dibunuh sama Rey kalau sampai dirinya buka mulut. “Maaf, aku nggak bermaksud bikin kamu sedih.” Lembayung merasa tidak enak mengingatkan Jingga pada kisah kelam masa lalu keluarganya. Dia mengusap pundak gadis itu yang terlihat rapuh. “Nggak pa pa, Kak. Aku nggak pernah menyesali masa lalu. Banyak pelajaran yang bisa aku petik.” “Hubungannya sama ... Rey?” Ragu Lembayung bertanya tapi dia ingin memastikan yang dikatakan pria itu tentang Jingga. “Kamu bener kabur dari pernikahan?” Jingga mengangguk canggung. Lebih tepatnya terpaksa mengangguk karena harus menutupi kebohongan suaminya. Lembayung mengusap kembali pundak gadis itu. Sebenarnya masih ada beberapa hal yang ingin dia tanyakan tapi tidak tega melihat Jingga bercerita saat kondisinya sedang tidak baik seperti ini. Tanpa mereka tahu sepasang telinga mencuri dengar percakapan mereka di balik pintu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD