BAB 8

1821 Words
Setelah berdebat sengit dengan sang suami, Jingga akhirnya bisa keluar untuk menemui Lala. Ya, sebelum pergi gadis itu meminta ijin terlebih dahulu pada Rey dan harus terjadi drama picisan sebelum akhirnya pria itu memberinya ijin. Rupanya Lala sudah menunggu di tempat yang mereka janjikan. “Assalamualaikum.” Seperti biasa Jingga tidak lupa mengucap salam. “Waalaikumussalam. Kamu telat lima belas menit, Beb.” ucap Lala melirik arloji di tangan kiri. “Ya maap aku kan harus minta ijin suami dulu.” Bukan keceplosan tapi Jingga berniat memberitahu satu-satunya sahabat yang dia percaya tentang pernikahan konyolnya. “Hah, suami? Siapa yang mau jadi suami cewek dingin kaya kamu, Ga. Hahah ... jangan halu deh!” Dih, Lala nggak percaya malah terbahak-bahak. Gadis itu terkekeh mendengar ejekan sahabatnya. “Aku nggak lagi halu, Lola.” “Hah!” Mata yang sudah bulat itu semakin membulat sempurna dengan mulut menganga. “Demi apa aku nggak salah denger?” Kini ganti memicingkan mata. “Kamu nggak salah denger kok.” Jingga tersenyum miris. Lala yang masih tidak percaya terus bertanya, “Serius?” Jingga mengangguk sebagai jawaban membuat mulut Lala kembali menganga. Dia pikir sahabatnya bercanda. “Kenapa sih, Ga? Aku nggak ngerti deh,” ucapnya sambil mengamati mata gadis itu yang sialnya tidak berbohong. “Jelasin!” titahnya kesal karena Jingga tidak bercerita padanya. “Elah, pesen minum dulu ngapa?” Lala melambaikan tangan memanggil pelayan. “Lemon tea satu, Mbak,” pesan Lala begitu pelayan sudah berdiri di sampingnya kemudian menoleh ke arah Jingga. “Kamu apa?” “Samain aja,” jawab gadis itu tanpa menoleh. “Lemon tea dua ya, ada lagi?” tanya pelayan sambil mencatat pesanan mereka. “Tambah burger sama fench friesnya ...” Lala menggantung ucapannya, “Kamu mau juga, Ga?” tanyanya menoleh kembali pada gadis depannya yang sekarang sibuk dengan ponsel sambil mengangguk mengiyakan. “Masing-masing dua ya, Mbak,” ucapnya dijawab anggukan ramah sang pelayan. “Ditunggu sebentar.” Pelayan cantik itu berlalu untuk menyiapkan pesanan. “Ckk, malah sibuk sama ponsel. Kamu utang penjelasan sama aku, Ga.” “Aku nikah dua hari lalu ... maaf nggak ngasih tau.” Gadis itu menghela nafas pelan. Lala masih diam menunggu sahabatnya bercerita. Bisa dia merasakan kegundahan hati Jingga. “Kalo belum siap nggak usah cerita, aku bisa nunggu kapan pun kamu siap.” Mengelus pundak Jingga yang mulai bergetar, Lala berpindah ke kursi samping Jingga hanya untuk memeluk gadis itu, memberi kekuatan. Jingga mengurai pelukan setelah beberapa saat diam kemudian menggeleng. Dia butuh teman cerita namun diam sejenak saat pelayan datang membawakan pesanan. “Silakan,” ucap pelayan tersebut sambil tersenyum ramah kemudian berlalu setelah mendapatkan ucapan terima kasih dari kedua gadis itu. Jingga mengambil minum, meneguknya sedikit kemudian melanjutkan cerita dari awal kejadian sampai sesaat sebelum dirinya datang ke tempat ini tanpa ada yang terlewat. ` Lala yang sudah berpindah kembali ke hadapan sahabatnya menyaksikan dengan seksama dengan tangan yang sibuk memasukkan kentang goreng ke dalam mulut menanggapi, “Aku nggak nyangka Om Rendi bisa lakuin itu.” “Apalagi aku, La.” “Terus kuliah kamu gimana?” “Aku udah minta ijin buat lanjutin dan dia setuju.” “Syukurlah kalo gitu.” Lala jadi ingat Aron, apa kabar pria itu? “Nasib Aron gimana, Ga, kamu kan tau dia suka sama kamu? Dia nyariin kamu terus tauk. Aku rasa kamu mending jujur deh sama dia dari pada digantungin gitu. Dia pasti kecewa kalo sampe tau dari orang lain.” “Aku nggak tau harus mulai dari mana. Aku belum siap, La ... Aron terlalu baik selama ini.” Huh! Jingga merasa bersalah pada pria itu. Dia memang sengaja bersembunyi untuk menghindari pertanyaan Aron. Pria itu selalu tahu saat Jingga menyembunyikan sesuatu. “Ya udah gimana kamu aja ... aku cuma bisa dukung semua keputusan kamu. Mudah-mudahan suatu saat Rey sadar kalo yang dinikahinya adalah bidadari dunia, hehe,” kekeh Lala dengan ucapannya sendiri. “Aku anggep itu pujian,” balas Jingga membuat keduanya tertawa. Obrolan mereka berlanjut hingga senja. Jingga bisa melupakan sejenak masalah beratnya saat bersama Lala. Gadis itu, yang orang bilang cupu bagi Jingga adalah sosok sahabat yang luar biasa. Bukan dari keluarga biasa, Lala adalah anak salah satu konglomerat di Jakarta. Hanya dia tidak mau menunjukkan ke orang lain jati diri yang sebenarnya termasuk Jingga. Biarlah orang lain memandang dirinya sebelah mata. Dengan begitu dia bisa melihat mana yang tulus dan tidak. ** “Kamu berhutang penjelasan padaku, Dew,” ungkap seorang pria pada wanita yang duduk di depannya setelah selesai makan malam. Rendi baru pulang kerja setelah Isya. Mendapati istrinya terlelap membuatnya tidak tega untuk mambangunkan. Tapi kemudian Dewi menyadari kedatangan suami dan mengajaknya makan malam. “Emm, putri kita mana, Mas? Dari siang aku belum melihatnya?” Bukan menjawab Dewi malah melemparkan pertanyaan pada sang suami. “Jawab aku dulu!” titah Rendi tidak ingin dibantah. Dewi menghela nafas panjang sebelum menjawab. “Aku pulang ke Batu, Mas ... bukan pergi bersama Candra seperti dugaan kamu. Aku dan Candra nggak ada hubungan apa-apa. Kami bertemu untuk menyelesaikan masalah kami yang belum selesai dulu. Seperti yang kamu tahu, kita menikah saat aku masih berpacaran dengannya karena perjodohan orang tua kita.” Penjelasan panjang Dewi membuat Rendi bungkam. “Kenapa kamu nggak memberiku penjelasan?” Setelah beberapa menit diam, Rendi kembali bertanya. “Kamu lupa, Mas, kamu yang nggak mau mendengar penjelasanku,” ungkap Dewi menohok. Memang benar wanita itu sudah berusaha menjelaskan hanya saja Rendi tidak mau mendengar karena terlanjur cemburu. Terlihat tatapan menyesal pada netra pria paruh baya itu. Ternyata selama ini dia salah paham. Tidak menyangka istrinya tidak bersalah. Egonya terlalu tinggi untuk sekadar mendengarkan penjelasan sang istri. “Maafkan aku,” ungkap Rendi penuh penyesalan. “Semua sudah berlalu, Mas. Sebernarnya tujuanku kesini adalah untuk bertemu kalian. Aku ingin mengakhiri kesalah pahaman kita. Aku tidak ingin kalian membenciku. Aku kangen Mas dan putri kita.” Tak kuasa menahan air mata, Dewi terisak pun dengan Rendi yang merasa bersalah karena perlakuan kasar dan prasangka buruknya pada sang istri. Rendi merengkuh tubuh ringkih itu, mengusap punggung istrinya yang bergetar. Berkali-kali menggumamkan kata maaf yang sudah tidak ada artinya. Menyesali sepuluh tahun yang terlewat. Sungguh, Rendi ingin kembali ke masa itu jika bisa untuk memperbaiki kesalahannya. Dia gagal menjadi suami yang baik bagi Dewi, pun untuk Jingga dia menjadi ayah paling kejam di dunia. Mengurai pelukan suami Dewi bertanya, “Mas belum jawab pertanyaanku. Dimana Jingga?” “ .... ” Rendi tidak bisa berkata-kata karena sang istri pasti marah kalau tahu kebenarannya. “Mas ... ?” “Jingga ikut suaminya,” jawab Rendi setelah mengumpulkan keberanian. “Putri kita sudah menikah? Dengan siapa, Mas?” Netra Dewi terlihat berbinar. Mungkin dia berpikir sang putri sudah bertemu jodohnya dan hidup bahagia bersama pria itu. “Maaf. Aku ... aku menikahkan Jingga untuk .... ” Rendi menarik nafas panjang tak kuasa meneruskan ucapannya. “Untuk?” “Untuk ... membayar hutang judiku.” Satu detik, dua detik. Plak!! Pipi kiri Rendi terasa panas karena tamparan lemah sang istri. Dia sudah menduga akan seperti ini. Tapi tidak apa dia memang pantas mendapatkannya. “Aku minta maaf, Sayang.” “Kamu tega, Mas, setelah dari kecil kita rawat dan besarkan, sekarang kamu jual putri kita!” teriaknya menahan sesak luar biasa. Dewi memalingkan wajah muak menatap suaminya. Pria itu meraih dagu sang istri agar tetap menatap ke arahnya. “Aku punya alasan untuk itu selain karena tidak bisa bayar hutang.” “Apapun alasannya kamu nggak boleh egois, Mas, Jingga punya kehidupan sendiri, dia berhak memilih siapa pun untuk jadi pasangannya.” Dewi tidak habis pikir dengan pemikiran suaminya. “Suatu saat kamu akan mengerti.” Rendi berbalik meninggalkan istrinya. Bukan karena marah tapi dia tidak tega melihat mata tua sang istri yang menatapnya penuh luka dan kecewa. Dewi menangis tergugu. Kali ini dia yang merasa menyesal sudah pergi dari rumah. Menyesal tidak bersikeras membujuk sang suami untuk mendengar penjelasannya. Kalau saja dulu dia lebih bisa bersabar menghadapi suaminya mungkin hal ini tidak akan terjadi. Mungkin sekarang dia bisa melihat senyum bahagia di wajah sang putri. “Maafkan Ibu, Nak. Ibu bersalah padamu.” Batinnya bersuara. ** Rey berjalan mondar mandir di depan pintu apartemen miliknya sedangkan jalang yang siang tadi dia bayar sudah kembali ke habitatnya. Sudah lewat Isya tapi Jingga belum pulang. Kemana sebenarnya istrinya pergi? Sepertinya lain kali dia harus mengutus seseorang untuk membuntuti gadis itu. Sebenarnya Rey juga bingung kenapa dirinya harus repot-repot peduli pada istrinya. Yang jelas ini bukan karena khawatir menurut Rey. Dia hanya kesal karena Jingga mulai banyak tingkah. Setengah jam berlalu yang ditunggu datang. Bagus ini saatnya memberi pelajaran karena sudah membuatnya menunggu. Lagi pula siapa yang menyuruh Rey menunggu? Bukankah itu kemauannya sendiri? “Dari mana kamu?!” bentak Rey keras membuat si gadis terlonjak. “Aku kan udah minta ijin,” bela Jingga. “Ini jam berapa, huh? Pantes seorang istri berkeliaran di luar hingga malam!” “Istri?” Jingga terkekeh. “Aku ini b***k bukan istri, kalo kamu lupa sama ucapan kamu sendiri.” Jingga mencibir membuat Rey naik pitam. “Bagus! Kamu sadar posisimu. Sebagai istri aja salah berkeliaran di luar apalagi b***k!” Rey mencengkeram rahang Jingga membuat gadis itu meringis. “Inget batasanmu!” desis Rey tajam. Keras Jingga menepis tangan besar Rey yang mencengkeram rahangnya. Netranya berkilat tajam menatap pria itu penuh permusuhan. Berniat meninggalkan suami yang sedang diliputi amarah namun langkahnya terhenti saat Rey menarik kasar pergelangan tangan dan melemparkannya begitu saja hingga tubuh Jingga menubruk meja makan di sampingnya. “Auww!” Gadis itu mengaduh merasakan sakit di punggung. “Abis ngejalang sama siapa, huh?” Tangan Rey kembali meraih kasar lengan Jingga. “Aku nggak kaya mereka yang kamu bawa-bawa ke sini buat muasin kamu. Lepasin!” Gadis itu meronta tapi malah semakin membuat suaminya kalap. Belum pernah Rey menghadapi wanita keras kepala seperti Jingga. Sepertinya dia tidak sadar bahwa dirinya juga keras kepala. Rey menyeret Jingga ke kamar mandi kemudian melemparnya di bawah shower. Mendekat, satu tangannya mencekik leher sang istri sedang satu lagi menyalakan shower. Nafas Jingga terasa sesak, tenggorokannya tercekat hingga mengeluarkan air mata. Berusaha melepas cekikan di leher namun tangan besar itu terlalu kuat. Tubuhnya sudah basah kuyup. Melihat istrinya kesusahan bernapas Rey melepas kasar leher Jingga. Ringis kesakitan terdengar namun pria itu tidak peduli. Dia sudah hilang akal dan kembali mendekat hanya untuk berbisik. “Itu hukuman bagi b***k yang berani sama majikan!” Rey pergi meninggalkan sang istri dengan derai air mata berhambur dengan derasnya air shower. Membekap mulut, Jingga berusaha menahan suara isak tangis. Tak berniat mematikan keran. Membiarkan tubuhnya mulai menggigil merasakan dingin air shower. Tok tok tok. “Siapa yang bertamu malam-malam gini? Aku bunuh kalo nggak ada kepentingan,” gumam Rey yang masih dalam mode murka. Namun seketika senyumnya terkembang saat mendapati seseorang yang bertamu malam-malam. Tanpa sadar dirinya meninggalkan sang istri di kamar mandi dengan pintu terkunci dari luar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD