BAB 5 Dongeng

2002 Words
Kening Alice berkerut dalam. Kedua tangannya berkacak pinggang. Sedang kakinya berjalan mondar-mandir dari kiri ke kanan, kemudian ke kanan lagi dan seterusnya. Entah sudah berapa kali Alice melakukan itu. Karena, bukannya mendapat solusi dari permasalahannya, justru kakinya pegal karena terlalu lama berdiri.  Duduk di ujung ranjang, Alice melirik jam yang menempel di dinding. Pukul tujuh pagi. Dugaannya, mungkin sekitar lima belas menit lagi Levin akan datang dan meminta jawaban. Sedang Alice sendiri tidak tahu harus menjawab apa...   Di satu sisi, ia ingin bertemu paman dan bibinya agar semua ini terlihat jelas. Tapi di sisi lain, Alice juga tidak akan sanggup jika harus menuruti semua perintah Levin layaknya b***k yang tak punya kebebasan. Apa sebaiknya Alice terima saja penawaran Levin, dan setelah itu ia kabur sejauh-jauhnya dari kota ini?  Ide itu memang terdengar menggiurkan. Tetapi, bagaimana dengan kuliah Alice? Hanya tinggal dua semester lagi dan Alice sudah bisa mendapat gelar sarjana ekonomi. Alice sendiri sudah menyicil untuk membuat bahan skripsinya. Selain itu, Alice juga tidak punya cukup banyak tabungan. Tambahan uang saku pun ia dapat karena membantu bibi di toko kue selepas pulang kuliah. Jika nekat kabur, Alice tidak tahu harus membiayai hidupnya dengan apa? Alice mengerang frustrasi. Mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Dan, suara pintu yang terbuka membuatnya terperanjat dan membuka mata. Sosok tegap Levin sedang berjalan mendekatinya dengan senampan sarapan di tangan kanan. Tidak seperti kemarin, hari ini Levin hanya mengenakan kemeja dongker yang digulung hingga siku dan celana bahan. Masih tampak mempesona dan sempurna seperti biasanya. Dugaan Alice, Levin sudah siap untuk mengantarkannya ke rumah paman dan bibi hari ini.  "Kau memakai gaun yang kubelikan, eh?" kata pertama yang meluncur dari bibir seksi itu membuat Alice mengerjab, sebelum kemudian menunduk dan melihat pakaian yang ia kenakan; sebuah dress salem selutut dengan potongan sederhana.   Alice merasakan pipinya memanas. Perpaduan antara malu sekaligus kesal. Dari sekian banyak pertanyaan, kenapa justru hal konyol itu yang terlontar dari bibir Levin? Bibir Alice terbuka separo, tapi tertutup lagi ketika Levin mendahului, "Lupakan saja. Sekarang makanlah dan berikan aku jawaban seperempat jam lagi." Levin meletakkan nampan yang di bawanya ke atas nakas. Melirik Alice sejenak dengan sepasang matanya yang tajam sebelum berbalik dan melangkah lebar ke arah pintu keluar. Meninggalkan Alice yang lagi-lagi merasa kebingungan dengan sikap pria itu. *** Tarik napas. Hembuskan.  Alice mengisi paru-parunya yang kosong. Matanya menatap lurus pada jalanan ibu kota yang padat. Di sampingnya, seseorang yang mengaku bernama Mikhail Levin itu mengemudi dengan sikap kaku.  Setelah berperang dengan kepala dan batinnya, Alice akhirnya memutuskan untuk menyetujui tawaran Levin dengan berbagi pertimbangan. Pertama, Alice belum bisa mempercayai pria ini sepenuhnya. Dan mungkin saja Alice bisa minta bantuan paman Beni untuk menyelamatkannya dari cengkeraman Levin. Namun jika perkataan Levin benar, maka Alice akan mengulur waktu pernikahan mereka dengan banyak alasan. Dan, tentu saja. Alice tidak akan mengikuti perintah pria ini seperti b***k.  Jujur saja, Alice masih kesal ketika mengingat ekspresi penuh kemenangan yang pria itu tampilkan ketika Alice menyetujui tawarannya. Seolah-olah, dia tengah menunjukkan pada Alice siapa sebenarnya yang sedang berkuasa di sini. Bahwa Alice tidak akan pernah bisa menolak perintahnya.  Mendengus, Alice menatap keluar jendela. Berdekatan dengan pria ini membuat napasnya mendadak sesak. Alice tidak tahu bagaimana cara Levin melakukannya. Yang pasti, sekarang ini Alice merasa terjepit dengan aura d******i yang pria itu keluarkan. Dan, demi Tuhan. Padahal pria itu hanya diam dibalik kemudi...  "Aku akan mejemputmu besok pagi. Pukul tujuh tepat." Alice berkedip. Dua detik setelahnya, mobil Levin berbelok dan memasuki perkararangan rumah paman dan bibinya. Menoleh, ada Levin yang masih menatap lurus ke depan. Alice membuka seatbeltnya. Hendak membuka pintu mobil. Tapi gerakannya meragu. Ditatapnya Levin sekali lagi. Demi kesopanan, pikirnya. "Eh, Anda... tidak mampir dulu?" "Tidak usah. Titip salam saja pada mereka." Jawaban datar Levin membuat bibirnya langsung terkatub rapat. Seketika merasa menyesal karena telah menawari laki-laki ini untuk mampir. Mendengus, Alice keluar dari mobil dan menutup pintunya keras. *** Alice mengambil napas dalam, memejamkan mata sejenak untuk menikmati udara sejuk yang memasuki penciumannya. Terasa nyaman, teduh, dan juga damai. Seperti rumah. Yeah. Setidaknya di sini jauh lebih menyenangkan ketimbang berada di rumah besar Levin yang mencekam dan dingin.  Setelah cukup puas, Alice melangkah masuk, tidak perlu mengetuk karena pintu memang sudah terbuka lebar untuknya. Melangkah lebih jauh, Alice mencari keberadaan paman dan bibinya. Hari ini minggu. Alice buru-buru ke beranda samping rumah. Barangkali seperti kebiasan bibi Aurin yang suka menikmati udara pagi sambil minum teh di beranda. Juga Paman Beni yang yang dengan senang hati menemani. Bertahun-tahun tinggal bersama mereka membuat Alice sudah menganggap mereka seperti orangtuanya sendiri. Mungkin Alice pernah beberapa kali melihat mereka bertengkar karena hal-hal sepele. Tapi tidak akan berlangsung lama karena salah satu dari mereka akan menurunkan ego dan berdamai kemudian.  Kelak, Alice juga menginginkan kehidupan rumah tangga yang harmonis seperti paman dan bibinya. Sebuah keluarga yang akan menjadi tempatnya pulang dan berbagi keluh kesah. Keluarga yang akan membuat hidupnya lebih bermakna.  Dan, senyum Alice seketika melebar saat melihat punggung keduanya yang sedang bersandar di kursi sambil memandang taman buatan dan air terjun kecil di depannya. Seolah sadar dengan kehadiran Alice, Bibi Aurin pun menoleh. Tatapan mereka bertemu dalam beberapa detik. Dan, Alice bisa binar keterkejutan di mata bibi Aurin sebelum wanita paruh baya itu bangkit dan memeluknya erat.  Alice merasa dadanya meluap. Padahal mereka tidak bertemu hanya dua hari, tapi rasanya seperti sudah bertahun-tahun. Alice benar-benar merindukan kehangatan pelukan Aurin dan aroma vanillanya yang lembut.  Melepaskan pelukan, Alice kemudian menatap sang bibi lekat. "Jadi, apa penjelasan yang akan bibi berikan padaku?" Sekilas, Alice bisa melihat binar ketakutan dari sepasang lensa berbalut kacamata itu. Namun hanya sedetik. Karena didetik berikutnya, Aurin mengulas senyum dan menarik lengan Alice untuk mengikutinya.  "Kamu sudah sarapan? Bibi membuat banyak puding mangga tadi. Randi tidak terlalu suka mangga, jadi bibi menyimpan sisanya di kulkas. Kamu masih suka mangga kan?" Aurin terkekeh kecil. Menatap Alice jenaka sebelum menyuruh Alice duduk di ruang makan sementara ia mengambil puding.  Yang Alice bingungkan sekarang adalah, kenapa bibi Aurin seolah sedang mengalihkan perhatian agar Alice tak segera membahas kejadian kemarin?  *** Alice tidak menolak ketika Aurin menyodorkan sepiring puding mangga ke hadapannya. Tersenyum, ia mengambil sendok dan memasukkan puding itu ke mulutnya. Perpaduan antara manis, sedikit asam dan tekstur lembut puding terasa meleleh di atas lidahnya.  Alice selalu suka puding mangga semenjak pertama kali Aurin membuat puding itu untuknya. Karena, ketika merasakan lembut puding itu membelai lidahnya, Alice merasa seperti kembali ke rumah. Pun dengan hatinya yang memuncah karena perasaan damai, seolah ia kembali ke masa lalu. Pada kenangan kecilnya yang terlupakan.  "Yeay! Pudding mangga lagi!" Anak kecil itu bersorak senang. Segera duduk di kursi makan dengan sendok kecil di tangan kanannya. Seseosok wanita tersenyum hangat, mendekat dan mengangsurkan sepring pudding padanya.  Anak kecil itu makan dengan lahap. Pipinya menggembung penuh dengan bibir belepotan. Sebuah tisu hinggap di bibir dan sekitar wajahnya, mengusap lembut. "Hati-hati sayang, nanti keselek." Tidak menghirukan. Anak itu tetap memakan puddingnya dengan semangat. Sepasang kuncir kuda di kepalanya bergoyang ketika ia menggeleng saat sang wanita hendak mengambil alih piringnya.  "Alice!"  Sebuah suara datang dari arah ruang tamu. Anak kecil itu sontak menoleh, matanya berbinar-binar saat melihat seorang remaja laki-laki datang masih mengenakan seragam putih biru. Wajahnya tampak buram, hanya lesung pipit yang terlihat jelas ketika laki-laki itu mengulum senyum.  "Nanti kalo Alice enggak nurut sama bunda, Kakak enggak mau datang lagi loh." Alice tersentak. Menoleh, ada bibi Aurin yang menatapnya cemas sambil menggoyang lengannya. Mengerjab beberapa kali, barulah Alice sadar bahwa bayangan tadi hanya sekadar khayalan. Tetapi, rasa sesak di dadanya begitu nyata, seolah Alice tidak mau kehilangan momen itu begitu saja. Apa mungkin khayalan tadi adalah potongan ingatannya di masa lalu?  "Kamu enggak apa-apa?" Aurin bertanya khawatir, Alice tersenyum kecil dan mengusap punggung tangan Aurin dan berkata bahwa dirinya baik-baik saja.  "Yaudah. Kalo gitu bibi mau ke atas dulu ya. Mau ngecek Randi. Tadi katanya mau main ke rumah temannya tapi enggak turun-turun."  Alice hanya mengangguk. Bibi Aurin mengusap puncak kepalanya pelan sebelum berjalan menjauh. Menaiki anak tangga ke kamar Randi. Sedang Alice sendiri langsung menutup wajahnya dengan kedua tangan. ** Sekitar pukul sepuluh pagi. Alice sudah duduk tenang di atas sofa bersama paman Beni dan Bibi Aurin. Sedang di depan mereka, sebuah TV plasma menyala, menampilkan film kartun yang biasa tayang di hari minggu. Sengaja untuk mengurangi ketegangan.  "Jadi?" Alice mulai membuka percakapan. Sebab sudah sekitar satu jam yang lalu tidak ada yang berani bersuara. Dan Alice juga merasa canggung berada di tengah-tengah mereka seperti ini. Padahal biasanya, sebelum kejadian penculikan itu, semua masih baik-baik saja.  "Ehm." Aurin berdehem, memringkan sedikit tubuhnya agar bisa menatap Alice leluasa. Bibirnya mengulas senyum kecil, mencoba mencairkan suasana. "Apa yang ingin kamu tahu, sayang? Kami akan menjawab semampu kami." Alice mengambil napas, menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa dan menatap keduanya bergantian. "Siapa itu Mikhail Levin?" Kali ini Aurin yang menjawab. Ia tersenyum tipis, "Yang kami tahu, dia adalah teman masa kecilmu, Alice. Kalian cukup dekat waktu itu." "Dan kenapa kalian membiarkan Levin menculikku? Kalian yang paling tahu kalau aku enggak ingat masa kecilku. Aku pikir dia itu penjahat." Alice menatap bibinya penasaran, dengan kening berkerut dan bibir menekuk.  "Eh." Aurin mengulum senyum salah tingkah, melirik sang suami guna meminta bantuan. Tapi Beni malah bersedekap dan menatap ke arah lain.  Aurin mengambil napas. "Kemarin malam Levin ke sini. Katanya dia mau bawa kamu main ke rumahnya, supaya kamu bisa,–yeah beradaptasi untuk dekat dengannya." Kerutan di kening Alice bertambah semakin dalam, "Levin bilang, dia akan menikahiku. Apa itu benar?" secercah rasa kesal terlihat di mata Alice. "Kenapa buru-buru sekali? Maksudku, aku masih kuliah dan..." menghela napas, Alice menyandarkan punggungnya ke sofa. Menatap keduanya bergantian.  "Apa Levin mengancam kalian? Tolong bilang yang sejujurnya padaku." Aurin menggenggam tangan Alice yang tergeletak di samping tubuh. Tatapannya melembut, "Alice, kamu harus percaya sama kami. Menikahlah dengan Levin karena dia adalah lelaki yang paling tepat buatmu," ujarnya, tersenyum tulus.  Alice berkedip dua kali. Masih tidak mampu untuk mencerna semuanya. Yang ada hanya rasa kesal berlumur frustasi yang kini memenuhi dadanya. Alice tidak tahu kehidupan macam apa yang dirinya alami sekarang. Kehadiran Mikhail Levin yang tiba-tiba telah menghancurkan seluruh rancangan hidup yang ia buat.  Alice sendiri belum mengerti apa alasan Levin menikahinya? Dan kenapa pula paman dan bibi seolah menyetujui begitu saja? Oke, mungkin dirinya dan Levin memang pernah mengenal waktu kecil. Tapi Alice tak bisa mengingat satu pun. Bisa jadi Levin adalah penjahat yang menyamar kan? Atau yang paling parah, dia punya kepribadian ganda yang gampang meledak dan menyakiti Alice ketika emosinya tidak stabil. Alice belum mengenal laki-laki itu sepenuhnya.  Alice mengambil napas dalam, melegakan paru-parunya yang terasa sesak. Sekarang, Alice tak punya pilihan lain. Ketika Beni dan Aurin sudah menyetujui rencana pernikahan ini, Alice sudah tidak bisa berbuat apa pun. Mereka yang telah merawat Alice sejak kecil, dan rasanya Alice akan jadi keponakan tidak tahu diuntung jika menolak keinginan mereka.  "Kapan kami akan menikah?" Alice berujar dengan nada pasrah. Kedua orangtua itu saling pandang sebelum kemudian tersenyum lebar.  "Dua minggu lagi," jawab mereka serempak. Alice menutup wajahnya dengan kedua tangan. Dan, Alice yakin jika hidupnya tidak akan pernah sama lagi seperti dulu. Bahwa kini ada Mikhail Levin yang akan mengendalikan hidup Alice sesuai kehendaknya. Menjadikan Alice boneka. **** Dulu, entah kapan, dan entah berasal dari mana, Alice mendengar sebuah dongeng. Dan isi dongeng itu seolah melekat di dalam kepalanya, tak menghilang meski Alice ingin membuang dongeng itu jauh-jauh.  Tidak. Itu bukanlah jenis dongeng mengerikan di mana tokoh utamanya mati atau sengsara. Hanya sebuah cerita mengenai pangeran berkuda putih yang menjemput tuan putrinya. Mereka saling menatap untuk pertama kali dan langsung jatuh cinta. Kemudian menikah dan hidup bahagia selamanya.  Semua orang pasti ingin kehidupan semacam itu. Namun pada kenyataannya, dunia justru jauh lebih mengerikan daripada itu, lebih pelik. Dan Alice tidak yakin apa ia bisa menjalani hidup ke depannya?  Alice menatap langit-langit kamar dengan pandangan menerawang. Mundur dari pernikahan ini jelas tidak akan bisa. Tapi, Alice bertekat pada dirinya sendiri untuk mencari tahu kejanggalan yang mereka tutupi darinya. Mulai sekarang, Alice akan berusaha mengingat masa lalunya dan menemukan benang merah dari kejadian yang ia alami kini. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD