BAB 4.

949 Words
Bab 4.  Permulaan.  Sapuan angin sore menerpa lembut, menerbangkan beberapa anak rambut Alice yang mencuat dari ikatannya. Sinar jingga menimbulkan siluet menawan ketika menyentuh wajah cantik Alice. Menaruh dagunya pada lipatan lutut, Alice menatap kosong pada sekumpulan bunga mawar di depannya duduk.  Alice kebingungan. Dirinya tidak tahu apa yang harus ia lakukan sekarang? Kenyataan yang pria asing itu lontarkan begitu bertubi-tubi, membuat ia kewalahan dalam mencerna semua ini. Alice butuh alasan kuat kenapa dirinya harus menikah dengan Levin. Mungkin, Alice harus bertemu dengan paman dan bibi untuk menanyakan semuanya agar jelas? Karena, Alice tidak yakin jika Levin akan dengan senang hati menceritakan tentang masa lalu yang pernah mereka alami.  Alice berkedip ketika pandangannya terhalang sesuatu. Mendongak, sosok tegap berpakaian serba hitam berdiri kaku di depannya. Matanya menatap lurus ke depan. Tetapi, bibir kaku itu bergerak mengeluarkan suara. "Hari sudah semakin gelap. Sebaiknya Anda kembali ke kamar, Nona." Itu Alex. Seorang bodyguard yang dijanjikan Levin untuk menemaninya berkeliling rumah. Alice mendengus samar. Ia sendiri merasa bingung sekaligus heran, kenapa Levin repot-repot menyiapkan bodyguard untuk mengawasinya? Jika melihat betapa luas dan rumitnya bentuk rumah ini, kecil kemungkinan Alice bisa melarikan diri. Lagipula, ada penjaga di setiap sudut rumah yang berdiri seperti patung.  Alice bergerak perlahan. Meringis saat hampir jatuh karena kakinya kesemutan. Untung saja Alice berhasil berpegangan pada sudut meja untuk menyeimbangkan tubuh.  "Anda tidak apa-apa?" Alex hendak membantu, tapi kemudian mengurungkan niat ketika Alice mengibaskan tangannya tanda baik-baik saja. Di detik berikutnya, Alice memekik ketika ada sepasang lengan yang merangkulnya. Menoleh, ia bisa melihat wajah datar Levin dari samping. Sejak kapan pria ini ada di dekatnya?  Berkedip, Alice mencoba melepaskan diri. Berada sangat dekat dengan pria ini membuat sistem kerja jantungnya berantakan. Apalagi dengan aroma parfum pria itu yang menyerbu penciumannya. "Lepaskan. Aku baik-baik saja." "Tidak akan." Levin menjawab keras kepala. Lelaki itu mulai memapah Alice hati-hati, mencengkeram pinggangnya agar tubuh mereka makin menempel.  "Demi Tuhan, aku hanya kesemutan, Om, Pak, atau siapapun kau. Sebentar lagi juga hilang. Jadi lepaskan tanganmu karena aku bisa berjalan sendiri." Alice masih berusaha menjauhkan tubuh. Tetapi, pegangan Levin justru semakin menguat. Dan Alice mendengus keras. Ternyata, selain misterius, dingin, pemaksa dan juga seenaknya, pria ini juga keras kepala.  Maka, Alice hanya diam dan membiarkan laki-laki ini bertindak semaunya. Mau mengelak pun rasanya percuma saja, karena pria itu justru akan menunjukkan taringnya yang paling tajam.  Alice berusaha mengendalikan diri ketika harum musk berpadu pinus segar itu merayunya untuk semakin mendekat. Mengalihkan pandangan, dirinya mencoba untuk berpikir jernih. Alice sendiri tidak tahu apa yang akan terjadi jika mereka terus dekat seperti ini? Apa Alice akan jatuh dalam pesonanya?  Buru-buru, Alice menggeleng kuat. Tidak akan terjadi! Alice akan membentengi diri sekuat tenaga agar tidak masuk dalam perangkap Levin.  Tanpa sadar, mereka sudah sampai di depan sebuah pintu berukuran besar, berwarna putih pucat dengan ganggang berwarna emas. Dan, jangan salahkan Alice karena kali ini dia tidak ingat lagi jalan ataupun lorong yang telah mereka lewati sebelumnya. Sebab, di mata Alice, semua bentuk lorong dan jalan itu terlihat sama, tidak ada sesuatu yang bisa ia jadikan patokan. Mungkin lain kali Alice akan menaruh tanda supaya dirinya tidak tersesat dan keluar dari ruangan ini dengan mudah.  Alice duduk di atas ranjang tanpa suara. Pun dengan Levin yang memilih bungkam. Alice menarik napas dalam. Jika bukan dirinya yang memulai lebih dulu, ia tidak yakin akan menemukan ujung permasalahan ini. Jadi, Alice yang harus lebih dulu bertindak.  Maka, sebelum sempat pria itu berbalik, Alice cepat-cepat berujar, "Aku... bisakah aku bertemu paman dan bibi? Maksudku, aku tidak bisa mempercayaimu sepenuhnya. Aku butuh bicara pada mereka."  Ujung sepatu Levin terhenti. Sebelah alisnya terangkat, "Tidak bisa." Alice berkedip. "Kenapa tidak bisa? Anda tidak punya bukti jika kita memang pernah mengenal di masa lalu. Menunggu ingatanku pulih akan memakan banyak waktu. Aku bahkan tidak yakin jika ingatanku bisa kembali sepenuhnya." Bibir kemerahan itu membentuk garis lurus. Tatapannya berubah dingin. "Mungkin memang lebih baik jika kau tidak perlu mengingat semuanya, Alice." Kening Alice berkerut dalam. Mencoba mencerna kalimat Levin yang terdengar ambigu. Kemarin, pria itu bilang jika Alice harus mengingat masa lalunya untuk tahu alasannya menikahi Alice. Tapi sekarang, perkataan pria itu berubah lagi. Membuat bingung saja.  Alice mengambil napas lagi. Rasanya ingin mengerang kesal. Kenapa Levin tidak mengiyakan saja permintaannya agar tidak perlu berbelit-belit?  "Oke, Om, Tuan, Pak Levin. Kalau Anda masih menutupi fakta itu dariku, maka jangan harap aku akan sudi menikah denganmu! Anda pikir, pernikahan itu hanya untuk main-main? Kemudian bercerai ketika Anda mulai bosan?" Alice tidak menahan-nahan diri lagi. Mengungkapkan segala ganjalan dihatinya sepagian ini. Bagi Alice, semua ini tidak masuk akal. Tidak ada yang bisa dicerna Alice dari semua omong kosong Levin.  "Panggil aku Levin. Tanpa embel-embel pak." Levin menipiskan bibir, "Baiklah. Aku akan mengantarmu ke rumah Beni dan Aurin. Tapi sebelumnya, kita harus membuat kesepakatan." Laki-laki itu kembali melangkah maju. Menipiskan jarak mereka hingga hanya tersisa dua jengkal. Sudut-sudut bibirnya terangkat, menyeringai. "Kau hanya punya waktu satu hari untuk bertemu mereka. Setelah pulang dari sana, kau harus menikah denganku, tanpa paksaan, dan menuruti perintahku tanpa banyak tanya. Bagaimana?" Bola mata Alice membesar. Setengah mulutnya terbuka. Ia berkedip beberapa kali sebelum akhirnya melayangkan protes. "Itu tidak adil! Kau sama saja sedang memaksaku, Pak. Bagaimana jika aku tidak bisa menerima alasan dari paman dan bibi? Ya Tuhan," Alice mengusap wajahnya kasar. "Aku benar-benar tidak bisa membayangkan hidupku jika menikah denganmu." Levin menampilkan raut tak peduli. "Aku tunggu keputusanmu besok pagi, Alice. Dan berhenti memanggilku Pak." Setelahnya, Levin melenggang santai menjauhi Alice. Menutup pintu bercat putih itu dan menimbulkan suara berdebum.  Dan, Alice menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang. Mendesah panjang sebelum menutup wajahnya dengan selimut. Alice nyaris tidak bisa berpikir sekarang. Levin dan semua hal yang menyertai pria itu membuat Alice nyaris gila.  **
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD