Stupid Cupid

1109 Words
Alan Wibisana   Keluargaku adalah pemilik yayasan Melati Kasih. Almarhum eyangku yang mendirikannya. Hari itu mamaku menitahkan untuk mengantar makanan, beberapa pakaian baru juga perlengkapan belajar untuk anak-anak di panti itu. Masih segar dalam ingatanku beberapa jam yang lalu ketika tanpa sengaja menemukan gadis berkerudung biru itu bersama dengan anak-anak panti. Dengan sabar meladeni mereka makan kue, juga mendongengkan cerita. Aku mengamati dari balik pintu yang terbuka dan jendela kaca yang besar di ruangan itu, tanpa sepengetahuannya. Gadis yang bersahaja dan sangat cantik meskipun tanpa olesan make up. Kembali aku mengamatinya saat ia membimbing anak-anak untuk berwudhu dan mengatur mereka untuk sholat berjamah. Pak Joko mendaulatku untuk menjadi imam. Aku sempat melirik ke arahnya ketika memasuki mushola kecil, namun dia tidak menyadari kehadiranku. Ketika aku berbalik dia sudah tidak ada di mushola, aku sempat celingukan mencarinya. Kegiatanku itu berhenti ketika Adelia kembali meneleponku dan mengatakan bahwa ibunya dan salah seorang anak sakit. Aku berbalik mengambil tas perlengkapanku di mobil. Ketika menuju ke rumah Bu Sri, aku melihat dia sedang menggendong anak yang sedang rewel. Tingkahnya sudah seperti seorang ibu, aku tersenyum melihatnya. Entah mengapa dalam bayanganku dia menjelma jadi istri yang sedang menggendong anakku. Hush… Alan! Kau belum tahu siapa nama gadis itu, mengapa sudah membayangkan dia menjadi istrimu? Sebuah suara di sudut hatiku memperingatkan dengan keras. Aku tidak mengerti bayangan dan pikiran itu datang begitu saja. Apa ini semacam kode kalau otakku sedikit eror karena kelelahan operasi maraton sampai hampir tengah malam kemarin? Benar kata Ryan sepupuku yang juga berprofesi sebagai dokter, aku harus ambil cuti untuk berlibur. Diantar pak Joko dan Narti, aku segera memasuki kediaman Bu Sri. Gadis berkerudung biru itu sedang bersama Adel di rumah Bu Sri. Dia membelakangiku tengah menggendong salah satu anak yang terlihat rewel. Sebenarnya dia tidak menyadari keberadaanku. Aku ingin sekali berkenalan dengannya, oleh sebab itu aku sengaja duduk di sofa ruang tamu terlebih dahulu- Berusaha mengulur waktu agar bisa bertemu dengan gadis itu. Namun apa daya, Narti dan pak Joko menyilakan untuk segera memeriksa Bu Sri. Tidak ada alasan untuk menolak, kulangkahkan kaki mengikuti Narti masuk ke dalam kamar Bu Sri untuk memeriksanya. Ketika kembali ke ruang tamu, gadis itu sudah tidak ada. Tampaknya gadis itu sedang buru-buru. Hati kecilku berbisik melantunkan doa, Semoga Allah menakdirkan kami bisa bertemu di lain waktu.   Sudah tiga semester aku menjadi dosen pengajar di sebuah universitas negeri di Bandung ini. Namun, aku dimintai tolong oleh Pak Ardy, senior sekaligus pamanku untuk menggantikannya mengajar di fakultas farmasi. Beliau akan menjalani operasi pengangkatan batu empedu di luar negeri. Jadi, aku membantu mengajar dan meng-handle beberapa mahasiswa bimbingannya. Hari ini kami telah berjanji untuk bertemu untuk membicarakan beberapa hal yang berkaitan dengan tugasku nanti yang akan menggantikannya mengajar. Karena waktu pertemuan masih cukup lama, aku memutuskan untuk mengembalikan buku di perpustakaan terlebih dahulu. Dukk… Brak… "Aduh..." Seorang gadis berkerudung biru muda meringis kesakitan memegang kaki kirinya, sementara kertas dan buku berhamburan di sekitarnya. Aku melihat ujung matanya berair, mungkin terasa sakit sekali olehnya. "Maaf, tadi saya nggak melihat lalu kamu tiba-tiba datang. Eh, kamu tidak apa-apa? Ini bukunya." Aku membantu membereskan buku-bukunya. “Nggak papa, Mas, mungkin juga salah saya. Maaf, saya tadi buru-buru. Ada janji sama dosen soalnya.” Gadis itu tersenyum kecut. Dia mencoba berdiri dengan susah payah. Aku mengulurkan tangan mau membantunya namun dia tak menghiraukannya. Dari nada suara dan ekspresi wajahnya aku tahu kalau dia betul-betul menyesal tak sengaja menabrakku tadi. Tanpa sadar aku memperhatikannya dengan seksama saat dia mulai bangkit dan berdiri tegak di hadapanku. Gadis itu akhirnya menengadahkan wajahnya ke arahku. Aku tercekat, tubuhku memberikan reaksi abnormal. Dadaku bergetar, jantungku bertalu-talu seperti irama waltz yang cepat dan kuat. Nafas pun menjadi lebih berat. Lho, bukankah dia gadis di panti Melati yang sempat aku perhatikan tadi? Jadi dia mahasiswi di sini? Siapa dia? Kuliah di fakultas mana? Baru beberapa jam yang lalu aku menghaturkan doa agar bisa bertemu gadis berkerudung biru itu, ternyata Alloh Maha Baik mengabulkannya. Dalam hitungan jam saja gadis itu sudah menabrakku. "Saya harus pergi. Sekali lagi maaf ya, Mas. Permisi." Dia terlihat gugup. Ucapannya singkat lalu menunduk. Gadis itu kemudian membalikkan badannya, berlalu dengan separuh berlari. Aku hanya bisa mengangguk ke arahnya. Dengan susah payah aku menelan ludah. Suaranya menyadarkanku dari lamunan. Sepertinya dia jengah bertatapan dengan lawan jenis. Keperhatikan dia memakai sepatu yang flat dan tas yang sederhana. Pakaian yang digunakan juga terlihat biasa saja. Semua tampak biasa, selain wajahnya yang memang cantik. Beberapa mahasiswa kedokteran memang terlihat lebih cantik darinya, tapi cuma gadis itu yang membuat tubuhku bereaksi liar. Dia memang bukan berasal dari komunitas mahasiswi  sosialita dengan penampilan yang luxury dan high class ke kampus yang berlomba  menyamai kaum selebriti yang menjadi idolanya. Mahasiswi muslimah dengan gaya seperti dia juga sangat banyak di kampus ini. Tapi Cuma dia yang menarik perhatianku dan membuat percikan api hasratku timbul. Mungkinkah ini jodoh? Mengapa baru dua kali melihatnya, tapi rasanya seperti sudah mengenal lama gadis itu. Mungkinkah bisa bertemu lagi? Ya Allah, tolong berilah kemudahan untuk berjumpa lagi dengan gadis kerudung biru muda itu lagi dan mengenalnya lebih jauh.  Setelah mengatur nafas dan irama jantungku kembali berdenyut dengan normal, segera kulangkahkan kaki menuju kantor jurusan. ******   Pintu ruangan baru saja tertutup. Aku memandanginya untuk beberapa saat untuk  kemudian tersenyum. Untung tidak ada orang di sini, kalau mereka melihatku sekarang pasti disangka kurang waras. Menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya.  Akhirnya aku menemukannya. Gadis berkerudung biru yang kuamati diam-diam di pondok melati beberapa jam yang lalu. Terkenang pertemuan selanjutnya saat di perpustakaan. Dia menabrakku. Walau hanya sebentar, aku tidak bisa melupakan aroma yang menguar di pakaian dan kerudungnya.  Ingatan itu membuat senyum merekah di bibirku. Sepertinya sebentar lagi aku bisa mengabulkan permintaan ibuku, memberinya menantu cantik.      Ya, memang ada yang tidak beres dengan kepala dan jantungku sejak bertemu dengannya. Harus berjuang sangat keras untuk menyingkirkan bayangan gadis itu di kepalaku selama dua hari ini. Kupejamkan mata untuk menetralkan pikiran dan debaran jantungku kembali. Merasa gadis itu berada dalam kampus yang sama denganku membuat aku semakin bersemangat mencari tahu siapa dirinya yang sebenarnya. Lirih pelan kulantunkan doa dalam hati semoga Tuhan menakdirkan kami bertemu kembali. Ada dua mata kuliah dan dua praktikum yang sekarang menjadi tanggung jawabku,  hasil pelimpahan dari kelas om Ardy. Beberapa mahasiswa di bawah bimbingannya juga menjadi tanggung jawabku setelah dia mengajukan cuti dalam rangka pengobatan ke Jerman. Beberapa kali kami bertemu untuk mendiskusikan hal ini. Siang ini, adalah kelas terakhirku menggantikan tugas mengajar om Ardy. Aku mengingat beberapa mahasiswa yang sering disebutnya, baik yang berprestasi maupun yang sering berulah dan perlu diperhatikan.  Kulangkahkan kaki dengan mantap menyusuri koridor menuju ruang kelas. Beberapa mahasiswa yang berada di luar ruangan segera masuk begitu melihatku datang.               ******
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD