Panti Melati

1852 Words
Meidinda Rajingga   Pagi itu langit Bandung cerah dan biru dengan semburat tipis awan putih. Biru itu memang warna favoritku, karena nuansa biru selalu membawa ketenangan dan keceriaan. Ya, seolah langit tahu isi hatiku saat ini. Dengan penuh senyum dan sangat bersemangat kulajukan scoopy biru membelah jalan di kota kembang yang belum padat hingga akhirnya kumatikan mesin motorku di area parkir sebuah bangunan tua di tengah Bandung. Baru saja kulepaskan helm di atas kepalaku lalu kuletakkan pada salah satu kaca spion, ketika tiga anak sudah berlari sambil berteriak memanggil namaku. Aku tertawa melihat tingkah mereka yang lucu. “Teh Iga… Teh Iga.... Yeah… Ibu, Bapak, Teh Adel, Teh Iga dateng… Hore!” ucap mereka sambil melompat-lompat kegirangan. “Hai, assalamu‘alaikum Farid, Indah dan Argi. Ayo masuk, jangan dekat-dekat knalpot motor, masih panas nanti kulit kamu bisa melepuh.” “Melepuh itu apa, Teh?” tanya Argi dengan mimik wajah sangat menggemaskan. “Melepuh itu seperti lecet, luka.” “Sakit?” tanya Indah “Ya, sakit sekali, perih dan panas.” “Knalpot itu yang tempat keluarnya asap bukan, Teh?” tanya Farid. “Iya, dan kalau mesin kendaraan berjalan maka knalpot juga bekerja mengeluarkan asap dan panas. Makanya kalau ada mobil yang mesinnya masih menyala atau baru berhenti jangan dekati knalpotnya ya. Bahaya!” “Iya, Teh,” jawab mereka kompak. “Teh Iga bawa apa?” “Bawa buku cerita dan kue untuk kalian.” “Asyiiikkk…”  ucap mereka sembari berlari kecil mengiringi langkahku memasuki bangunan tua itu. Setiap rabu pagi, aku hanya ada jadwal satu mata kuliah umum pada jam 13.00 WIB. Setelahnya aku bebas. Ini mata kuliah dasar umum terakhir yang aku ambil. Hari ini aku ada janji dengan Pak Ardy, dosen pembimbing akademikku. Kami akan membahas tentang perkuliahan semester pendek yang akan aku ambil, dan proposal penelitian yang akan aku ajukan untuk semester depan. Beliau menyarankan aku untuk mulai menyicilnya dari sekarang, mencoba mencari literatur dan jika memungkinkan akan melakukan uji pendahuluan di bawah bimbingan dan arahannya. Aku bersyukur dapat menjalin komunikasi yang baik dengan beliau, karena rumor yang beredar di kalangan kakak tingkat bahwa beliau tergolong kelompok dosen killer yang punya pengaruh kuat di fakultas bahkan lingkungan rektorat. “Ayo, siapa yang belum dapat kuenya?" tanyaku lagi. “Kalau sudah dapat semua, boleh dimakan ya kuenya, tapi baca bismillah dulu. Dan kalau mau nambah boleh kok, ini masih banyak. Tapi setelah itu kita bereskan meja dan ruangannya bersama ya!” “Ya, Teh,” teriak mereka kompak. “Siap, Teh!” Aku masih menyuapi dua batita kecil, si kembar Yogi dan Yuna. Setiap kali kedatanganku, dua anak ini selalu lengket dan nggak mau pisah denganku. Masih teringat pertama kali ketika Ririn dan Annisa membawaku ke panti ini. Dua anak itu langsung berlari dan memelukku sambil berseru, “Mama… Mama… Mama...”. Tentu saja aku terkejut dan merasa asing dan rikuh dengan panggilan itu. Bayangkan saja, jika kamu seorang gadis, yang tiada angin tiada hujan lalu dikejutkan dengan ada dua anak batita, atau usia di bawah tiga tahun, yang memanggilmu “Mama”. Pasti akan shock kan?  Beragam perasaan yang kurasa. Aneh, canggung, kaget dan malu. Begitu pula yang kualami saat itu. Tapi begitu memandang mata anak kembar itu aku jadi trenyuh dan tak tahan untuk segera merangkul dan menciumi mereka berdua. Wajah polos mereka lucu dan menggemaskan, akan menarik siapa saja untuk memeluk dan mencium gemas pipi keduanya. Bila teringat memori itu, aku suka senyum-senyum sendiri. Untunglah pada akhirnya mereka mau memanggilku Teh Iga seperti sekarang.  Menurut Annisa dan Mira hal ini bisa meminimalisir anggapan miring yang menggolongkanku sebagai anggota mahmud, mamah muda. Mengutip kalimat Bang Thamrin, salah satu sahabatku di kampus yang juga aktif membantu di panti bersama aku, Dion, Mira, Sahrul dan Annisa, “Paling tidak, si kembar sudah tidak menjatuhkan pasaranmu lagi, Jingga.” Sejak itulah aku sering mengunjungi panti ini, minimal seminggu sekali. Lama tak bertemu mereka membuatku kangen. Aku dan teman-teman sering melakukan bazar atau pertunjukan kecil musik dan puisi untuk membantu mereka mencari dana. Cukup sering aku dan teman-temanku menyanyi dan bermain musik di sebuah resto cafe milik orang tua Mira sahabatku setiap malam minggu untuk menggalang dana untuk mereka. Selain memiliki resto dan cafe, ayah Mira memiliki studio musik, dan disanalah biasanya kami berlatih setiap Jum’at malam.  Bertemu dan bercengkrama dengan mereka selalu membuatku bersyukur. Merekalah yang menjadi penyemangat, penghiburku ketika jenuh serta kangen pada keluarga yang tinggal jauh di sebuah pulau kecil di Papua. Kisah awal penghuni panti ini memang beragam. Ada yang dititipkan oleh keluarganya dan tidak pernah dikunjungi lagi, ada pula yang terkadang masih dikunjungi. Sebagian besar hanya ditaruh begitu saja dan tidak diketahui siapa kedua orangtuanya. Dari Bu Sri kepala panti Melati itu aku baru mengetahui kalau si kembar Yogi dan Yuna diletakkan di depan pintu panti saat subuh dengan kondisi tubuh yang mulai membiru. Saat itu Bu Sri dan Pak Joko yang mengurusi panti segera membawanya ke rumah sakit. Beruntung salah satu donatur dan pemilik panti Melati ini memiliki anak yang berprofesi dokter dan mau menolong mengurus sekaligus menanggung biaya perawatan bayi kembar tersebut selama di rumah sakit. Adel, putri Bu Sri dan Puput putri Pak Joko merasa heran dengan kelakuan si kembar saat itu. Sejak awal kontak mata dan melihat wajah mereka yang menggemaskan, aku sudah jatuh cinta pada keduanya. Karenanya aku sangat menyayangi Yuna dan Yogi, buatku mereka begitu spesial. Mereka tidak mau berpisah denganku ketika jadwalku berkunjung, dan merengek tidak boleh pulang ketika aku pamit akan pergi. “Teh...Teteh, jangan pulang dulu yah. Aku mau diceritain nabi Sulaiman." Kemeja di bagian bawahku ditarik Lira, seorang anak perempuan usia enam tahun. "Iya, Teh, ayo ceritakan!" Tiba-tiba muncul dua anak laki-laki lagi di hadapanku. Yanto dan Fadil yang tadi menjemputku di arena parkir. Sejenak aku bimbang. Ada kuliah jam 13.00 dan janji dengan dosen pembimbing akademikku pukul 15.15 nanti. Kulihat jamku sudah jam 11.00 siang. Mungkin dua  puluh menit saja cukup untuk bercerita. Setelah selesai kami merapikan tempat itu. Segera kukumpulkan anak- anak panti itu.  Segera kutunaikan janjiku berkisah tentang ketauladanan Nabi Sulaiman AS. Kisah itu belum sempurna tuntas ketika adzan Dzuhur bergema. Segera kuhentikan kisahnya. Kujanjikan kelanjutan kisahnya saat kujunganku berikutnya. Aku segera menggiring anak-anak itu untuk berwudhu dan bergegas menuju mushola yang ada di kompleks panti.  “Ayo bersiap sholat berjama'ah," seruku kembali mengingatkan anak-anak di panti asuhan Melati. Aku masih membantu memakaikan mukena dan mengatur shaf mereka. Lalu, tanpa kusadari seorang lelaki sudah berada di depan siap memimpin sholat berjamaah. Irfan sudah mengumandangkan iqomat. Dan aku membalikkan badan untuk sholat berjamaah.  Saat sedang berdoa selepas sholat, Yogi tiba-tiba duduk dipangkuanku dan membuatku terkejut. Badan anak itu agak panas. Sepertinya tadi  dia baik-baik saja. Dia memelukku erat, hingga aku harus dibantu Narti merapikan kembali mukena dan sajadahku. Kulihat yang lain masih khusyuk berdoa dan berdzikir. Imam yang memimpin kami juga masih bersimpuh di tempatnya. Wajah Yogi sedikit pucat dan tidak bersemangat. Dia terus memelukku dan  duduk di pangkuanku tidak mau dilepas. Meskipun sempat bertengkar dengan Yuna karena berebut duduk di pangkuanku dan berakhir membuat Yuna menangis. Aku berhasil mengatasi kekacauan itu dan membuat Yuna tenang kembali. Kuraba dahi Yogi, masih panas. Anak ini tadi makannya juga sedikit meskipun telah aku bujuk dan menggendong sambil menyuapkan makanannya.  Aku kembali menggendongnya, dan membawanya ke belakang untuk memberitahu Adel, namun rupanya Adel tidak ada di tempat biasanya. Aku memutuskan mencarinya di kantor panti, tapi tempat itu juga kosong. Jadi aku memutuskan untuk terus ke belakang tempat kediaman Bu Sri. Setelah mengucapkan salam dan mengetuk pintu, ada jawaban dari dalam untuk masuk. Adel keluar membawa baskom yang berisi air. “Ada apa, Iga?” “Eh, aku tadi cari kamu di kantor tapi nggak ada orang di sana. Ini, Yogi kok badannya panas ya? Sepertinya sudah dari pagi saat aku datang anak ini lesu. Apa semalam dia sudah panas juga?” “Waduh aku nggak sempat memperhatikan, Ga. Coba nanti aku tanya Narti. Sebentar ya aku telepon dokter Alan, kebetulan Ibu juga sedang demam.” “Eh, Bu Sri sedang sakit?” “Iya, aku baru saja cek tekanan darahnya tinggi. Tunggu sebentar ya, aku mau kompres Ibu dulu.” Aku mengikuti langkah Adel memasuki kamar  Bu Sri. Aku melihat wanita itu sedang tertidur dengan wajah sangat pucat. Karena Yogi rewel, segera saja kubawa keluar kamar takut mengganggu Bu Sri. Aku menimang anak tiga tahun itu diiringi sholawat dengan suara pelan hingga dia tenang dan tertidur. “Dia tidur, Ga?” “Ya, badannya makin panas. Kamu punya obat penurun panas untuk anak-anak, Del?” “Oh, ada. Nanti aku ambilkan. Eh, kamu nggak ke kampus?” “Ini mau pulang, tapi tadi anak-anak minta diceritakan nabi Sulaiman. Lalu Yogi rewel nggak mau ditinggal.”            “Ya sudah, kamu letakkan saja di kamarku biar lebih mudah aku menjaga dan mengawasinya. Sebentar lagi kalau dokter Alan datang, sekalian Yogi diperiksa juga. Kamu bisa bergegas ke kampus, nanti terlambat.”  Aku mengikuti langkah Adel untuk ke kamarnya dan meletakkan Yogi di ranjangnya. Kuusap kepalanya perlahan dan kukecup keningnya. Kupandangi wajahnya sebentar. Ya Alloh, tega sekali orang  yang membuang anak yang ganteng dan menggemaskan ini. Semoga pelakunya bisa segera sadar. Bisikku dalam hati. “Baiklah kalau begitu. Titip Yogi ya, nanti kalau ada apa-apa kamu bisa telepon aku. Aku akan ke sini lagi nanti kalau urusanku di kampus sudah selesai.” “ Oke, terima kasih ya, Ga, atas bantuannya.” Aku mengangguk dan mengucapkan salam. Setengah berlari aku menuju tempat sepeda motorku di halaman depan. Kulajukan scoopy biruku dengan kecepatan prima yang masih bisa kulakukan. Sebenarnya letak panti dengan kampus tidak terlalu jauh, kadang macet yang membuat waktu tempuh jadi lebih lama. Untungnya siang itu tidak macet dan rejekiku dapat traffic light yang selalu hijau. Salah satu keunggulan motor matic yang kugunakan adalah mampu membuat gerakan lincah untuk  menyalip kendaraan lain hingga pada akhirnya bisa berhasil berada di ruang kelas lima menit sebelum jam kuliah yang ditentukan dimulai. Lega rasanya meski nafasku belum normal karena berlari menaiki tangga hingga lantai tiga. Semester ini sedikit lebih ringan karena hanya ada dua mata kuliah praktikum, hingga bisa dipakai untuk menuntaskan satu penelitian kemarin bersama teman-teman. Hari itu hanya satu mata kuliah yang aku ikuti dan selesai lebih cepat. Masih ada  waktu  lima puluh lima menit lagi sebelum janji bertemu dengan pak Ardy dosen pembimbing akademikku. Kuputuskan melenggang menuju perpustakaan untuk memperpanjang buku pinjamanku dan mencari buku lainnya. Kelemahanku kalau sudah berhadapan dengan buku yang seolah menyedot duniaku masuk ke dalamnya hingga lupa waktu.  Kulirik arloji di pergelangan tanganku. Astagfirullah, sudah jam 15.10! Teriakku dalam hati. Aku sangat hapal betul karakter pak Ardy yang sangat disiplin dan tidak mentolerir keterlambatan. Bergegas kurapikan buku yang kupinjam dan menyambar tas untuk segera berlari menuju kantor jurusan.  Karena panik aku menabrak orang menimbulkan suara yang sangat keras. Untuk sementara kami menjadi pusat perhatian banyak orang. Seorang pria asing yang kutabrak dengan baik hati membantuku membereskan buku dan barang di dalam tasku yang tidak tertutup dengan sempurna. Ah, aku malu sekali. Setelah meminta maaf padanya, aku pun berjalan dengan tertatih. Dia berniat membantuku, namun kutolak dengan halus. Semoga dia tidak tersinggung.   ******            
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD