First Impression

2944 Words
Meidinda Rajingga     Seperti dua hari yang lalu, rutinitas pagi bermula di tempat ini. Panti melati itu seperti punya magnet yang selalu bisa menarikku untuk pergi ke sana. Aku selalu tertawa geli melihat tingkah lucu anak-anak balita di sana walau sering juga ikut berperan menjahili. Mungkin itu pelampiasan akibat kangen pada adikku yang dahulu biasa aku kerjai ketika kami masih tinggal bersama. Menuntut ilmu yang jauh dari keluarga itu benar-benar melelahkan lahir batin. Rindu rumah dan keluarga yang terasa mencekik, bisa membuat gangguan kesehatan mental lalu berdampak pada hasil belajar. Walau terkadang tingkah anak-anak itu menyebalkan, tapi keberadaan mereka berhasil mengusir rasa jenuh karena belajar dan lelahnya mengerjakan banyak tugas. Aku bersyukur  Annisa dan Bang Thamrin mengajakku ke panti ini. Paling tidak tempat ini membuatku merasa lebih bersyukur dan tidak merasa sendirian di kota besar ini. Berada di tengah mereka itu  seperti sedang bercengkerama dengan keluarga besar sendiri.  Kekonyolan, perhatian dan keluh kesah mereka terkadang memancing ide untuk melakukan sesutu yang tidak pernah kulakukan sebelumnya. Bahkan kadang aku sendiri juga terkejut setelah melihat hasilnya dan tidak percaya bisa melakukan itu. Aslinya aku ini adalah anak yang cuek dan malas kalau berurusan dengan dapur. Berbeda dengan adikku yang cekatan.  Ibuku sering mengeluhkan gerakanku yang lambat jika disuruh membantunya memasak dan membuat beberapa kudapan. Pesan dan ajarannya saat itu seperti angin lalu saja bagiku saat itu. Tapi begitu merantau di tanah orang seperti ini, entah mengapa semua pesan dan ajarannya tiba-tiba melekat dalam ingatanku. Sejak sering berkunjung ke panti ini, selalu terkesan dengan tangan Narti yang sangat terampil memainkan peralatan dapur dan performa hasil kerjanya yang benar-benar memukau, memanjakan lidah dan mengenyangkan perut. Walau tanpa riasan di wajah ditambah gelungan rambut asal dan  dibantu penjepit rambut seadanya, tapi gerakan saat dia memasak yang dipenuhi senyuman dan sesekali terdengar gumaman kecil senandung lagu yang keluar dari bibir tipisnya itu terlihat sangat anggun layaknya seorang dewi. Aura kecantikannya memancar. Meskipun  masih ada dua orang petugas yang bekerja di dapur itu, tapi tiada yang dapat menampik kalau Narti adalah bintangnya. Narti adalah master chef di panti ini. Hanya menonton aksi Narti memasak di dapur panti saja  bisa jadi tontonan yang menghibur untukku. Tak heran, Bang Thamrin jatuh hati pada gadis yang baru menuntaskan pendidikannya SMK itu. Narti itu seperti virus,  mampu menularkan kegemarannya padaku. Bu Sri, pak Joko, Puput dan Adel menerima kehadiranku dengan senang hati. Bu Sri yang hobi merajut dan membuat banyak kerajian tangan itu juga berhasil meracuniku dengan hobinya. Adelia anak Bu Sri juga mulai membuka usaha kecil-kecilan dari mulai konveksi jahit kerudung hingga pakaian anak-anak. Kini tengah membuka usaha tanaman hias dan parcel tanaman di halaman depan panti. Aku kagum dengan mereka dan merasa panti ini banyak memberikan energi positif padaku. Jika ada waktu luang, aku pasti ke sana . Meskipun yang kulakukan hanya membacakan  cerita anak-anak , sedikit membantu Narti di dapur, membantu mereka megerjakan tugas sekolah atau sekedar mengobrol dan tertawa ngakak menanggapi cerita mereka. Sesuatu yang sebelumnya tidak pernah kulakukan. Menyaksikan mata mereka berbinar dan antusias mendengar ceritaku, itu adalah hadiahnya. Walau terkadang ada juga protes dan saling berdebat satu sama lainnya yang berujung ricuh. Tapi aku menikmatinya. Pagi ini, urusan di Panti Melati bisa diselesaikan dengan mulus. Kondisi Yogi sudah membaik dan dengan bisa dibujuk untuk makan dan minum obat tanpa paksaan. Dia dan Yuna pun tidak rewel ketika aku pamit tadi.  Sepertinya tak ada masalah yang berarti. Meskipun demikian, aku tidak berencana terlambat datang ke kampus.  Aku tidak  mau olahraga jantung karena nyaris terlambat masuk kelas atau bimbingan dengan dosen seperti dua hari yang lalu. Saat itu aku bergegas ke kantor dosen hingga menabrak seseorang di perpustakaan, setelah itu masih harus berlari ke gedung fakultas dan mengetuk  ruangan pak Ardy dengan nafas yang masih  tersenggal dan wajah berantakan hingga ditertawakan Bu Wina dan Prof. Farida yang tengah melintas di depan ruangan pak Ardy. Dari Prof. Farida aku mengetahui jika pak Ardy tidak ada di tempat, sedang menghadiri lokakarya ke luar kota. Seketika tanganku bergerak mengambil gawai dan meneliti banyaknya pesan yang belum terbaca. Baru aku melihat ada pesan yang terkirim dari pak Ardy yang membatalkan janji hari itu.  Bu Wina menatap iba padaku yang masih berjuang menormalkan nafas kembali. Matahari belum sampai pada titik tertinggi ketika sampai di kampus. Perkuliahan masih satu jam lagi. Sejumlah mahasiswa tengah berkumpul di selasar gedung fakultas farmasi sebuah perguruan tinggi negeri di Bandung. Kulangkahkan kaki dengan riang menghampiri mereka.             “ Hei Ga, kamu dari panti Melati lagi?”             “ Iya Nis.”             “Bagaimana kabarnya Yogi?”             “Alhamdulillah sudah baikkan. Suhu badannya sudah normal, aku bisa lega. “             “Syukurlah. Aku pinjam buku catatanmu dong. ” Aku masih mengambil buku catatan di dalam tas ketika dua orang gadis mendekati kami. “ Udah tahu belum Ga kalau ada dosen baru lho yang gantikan bapakmu ngajar farkoter 3 (farmako terapi 3)? “ Eh, sejak kapan bapakku ngajar di kampus ini? Bapakku ada di Papua Rin.“ Ririn melambaikan tangan didepanku dan berdecak kesal. “ Maksudku itu bukan bapak kandungmu Ga, tapi dosen favoritmu itu lho.” “ Dosen favorit? Siapa sih? Eh, farkoter 3 kan? Hm... yang ngajar pak Ardy. Dia yang kamu maksud?” “Ya iyalah, pak Ardy, siapa lagi? Kamu kan anak emasnya pak Ardy dan bu Wina.” “Kok bisa aku jadi anak emasnya sih Rin?” “Lha cuma kamu yang selalu disanjung pak Ardy.” “ Kapan pak Ardy menyanjungku? Aku nggak pernah tuh dengar dia memujiku saat mengajar di depan kelas atau praktikum di lab. Ngaco ah kamu, Rin!” “Iya di depan kamu dia mencoba sok cool. Coba aja kamu dengar ocehannya saat aku, kakak tingkat atau teman-teman lainnya bertemu dan bimbingan dengannya. Selalu namamu yang harum disebut olehnya. Ingat saat perkuliahan, beberapa kali dia marah karena beberapa mahasiswa yang ditanya tidak mampu menjawab pertanyaanya. Lalu ketika kamu yang menjawab maka wajahnya ceria kembali.” “Ya kebetulan saja saat itu jawabanku pas benar.” “Saat aku bimbingan kemarin bareng Bang Thamrin, pak Ardy selalu menceritakan keberhasilan kamu menang PIMNAS (Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional). Kamu bisa tanya Bang Thamrin kalau nggak percaya!” Kami baru sampai di ujung selasar sebelum berbelok masuk ke dalam ruang perkuliahan.  “ Wah itu kan kerja tim, bukan hanya aku saja yang punya peranan. Gak enak ah kalau didengar teman-teman yang lain. Mereka juga punya andil besar atas karya itu.” Mira yang baru saja bergabung jalan berjajar di samping aku, Annisa dan Ririn itu terlihat terengah-engah. “ Udah lihat belum dosen kita yang gantikan pak Ardy?” “ Belum, memangnya kamu sudah Mir?” Tanya Annisa. “ Sudah. Aku dan Sahrul baru saja bertemu di kantor dekan. Bu Anggi yang bekerja di kantor fakultas yang memberitahu kami. Ganteng lho orangnya.” “ Tapi kelihatannya, dingin gitu.” “Maksud kamu dia baru keluar dari coolkas atau kutub selatan?” Aku bertanya iseng sambil tertawa kecil. “Eh, ayo jalannya cepetan. Dia orangnya gak galak sih, cuma kalo ngomong tajem banget. Dan selalu on time. Aku nggak mau kena semprot karena terlambat.” “ Kamu tau dari mana, Nis?” “Dari Teh Ria, Ga. Ayolah cepetan jalannya!” Annisa mendorongku masuk ruang kelas. Kami duduk satu shaf dan memilih barisan tempat duduk di bagian tengah. “Semoga aja orangnya asyik dan nggak bikin jiper kayak pak Ardy,” harap Mira setelah duduk di sebelahku. “Aamiiinn,” sahut Ririn. “Aku heran deh sama kalian. Kenapa bisa percaya rumor tentang dosen itu,  padahal baru satu kali papasan dan cuma dapat sedikit info.” “ Kalau aku pikir rumornya benar. Lihat aja nanti. Awas yah jangan jatuh cinta lho. Dia milikku!” Mira pura-pura mengancam.  “Ambil deh, silahkan dihabiskan.” Jawabku sambil tertawa menanggapi gurauannya. Mahasiswa yang masuk semakin banyak dan mulai memenuhi ruangan . Aku menoleh kiri dan kanan, Dion dan Bang Thamrin belum masuk. “ Bang Thamrin dan Dion kemana? “ Aku mencolek Mira. “Nggak tahu. Buat aja pengumuman di grup kita Ga. Suruh cepetan datang. Dosennya lebih killer daripada pak Ardy. “Kalau sampai mereka terlambat, bisa bahaya nih. Aku nggak ingin mereka dipermalukan di depan kelas. “ Ucap Nisa cemas. Kuambil gawai dan membuka aplikasi w******p, dengan cepat mengetik pesan pada mereka agar segera sampai ke kelas. Ternyata yang disampaikan Annisa sebelumnya memang benar, dosen baru itu datang tepat waktu. “Duh ... mereka kemana aja sih?” bisik Annisa di telingaku. “Sabar...,” sahutku kemudian. Selepas percakapan pelan kami, Bang Thamrin bersama Dion berhasil menyusup masuk dengan nafas terengah-engah, tepat begitu dosen baru itu sampai pada meja di depan kelas. Aku, Mira dan Annisa menarik nafas lega dan mengucap hamdallah dalam hati. Setelah suara dehem yang dikeluarkan dosen itu berhasil membuat dengung suara di kelas ini lenyap, dia berjalan ke tengah ruangan. Kami semua memperhatikan. “ Assalamu’alaikum warrohmatullahi wabarakatuh. Selamat siang! Seperti yang sudah kalian ketahui bersama bahwa saya diberi amanah untuk melanjutkan perkuliahan pak Ardyanto pada sisa semester genap ini. Perkenalkan nama saya Alan Gazali Wibisana ...” Aku tidak terlalu mendengar penjelasan selanjutnya, suaranya seperti berdengung. Seperti ada yang mengganggu  pikiranku, entah apa itu. Memori di kepala melakukan kilas balik dan kemudian membuat tubuhku menegang. Aku memperhatikan lagi wajah dosen baru dengan teliti. Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri seperti menampar kesadaranku. ”Astagfirullah... ternyata orang yang tak sengaja aku tabrak kemarin adalah dosen pengganti Pak Ardy. “ Aku menggigit bibir tanda cemas. Meredakan gelisah dalam hati itu bukan perkara mudah. Dosen muda itu mulai mengabsen, dan mahasiswa yang dipanggil namanya mengacungkan tangannya. Meski hanya beberapa detik, tapi ada kontak antara dosen itu dengan mahasiswa yang dipanggil namanya. Kecemasan bertambah. Jantungku berdetak lebih cepat. Bagaimana kalau dia nanti mengenaliku? Apakah dia akan marah?Ya Alloh, mau dikemanakan wajahku ini? Seandainya dia berhasil mengenaliku, semoga dia tidak dendam padaku nanti.” Aku menunduk dan memejamkan mata, menanti dengan cemas giliran namaku dipanggil hingga ... “Meidinda Rajingga Hapsari!” Aku mendengar namaku disebut. Tubuhku sedikit gemetar dan ragu untuk mengangkat tangan.  Dosen itu menyebut kembali namaku. Annisa menyikut lenganku keras membuatku memutuskan harus segera bereaksi menanggapi panggilannya. “Meidinda Rajingga Hapsari!”Aku pelan mengangkat tangan dengan gemetar dan wajah pias. “Saya Pak!” Dosen itu terlihat sedikit terkejut. Sejurus kemudian dia menghela nafas berat dan terdiam untuk beberapa menit. Matanya seperti elang yang seperti ingin menguliti mangsanya, memandangku lekat. Dari tatapannya itu aku paham kalau dia sudah mengenali bahwa aku adalah orang yang menabraknya saat di perpustakaan dua hari yang lalu. Merasa jengah diberi tatapan tak terbaca seperti itu, aku cepat memutuskan kontak mata lalu menunduk menekuri lantai. Dari gerakan kaki Annisa yang menyenggol kakiku berulang kali, aku tahu bahwa telah terjadi sesuatu. “Ga, kenapa sih pak Alan masih memandangi kamu terus?” Bisik Annisa pelan. Aku mengabaikan ucapan Nisa dan pura-pura asyik dengan gawaiku. Siapa yang tidak salah tingkah dipandangi dengan aneh begitu. “Tolong selama perkuliahan ini berlangsung, gawai anda dinonaktifkan dering notifikasinya terlebih dahulu. Dan saya tidak suka ada mahasiswa yang memainkan gawai selama kegiatan kita sedang berlangsung. Kamu paham Meidinda?” Eh, dia memanggil namaku? Aku mendongak memandang ke arahnya. Mata kami bertemu kembali. “Paham Pak. Maaf!” Ucapku keras. “Jangan ulangi lagi, Meidinda!” Aku menahan nafas. “ Siap Pak!” Ingin rasanya aku teriak lalu bilang kalau saya tidak akan menunduk dan memainkan gawai kalau bapak tidak memberikan tatapan aneh seperti tadi yang membuat saya serba salah.  Tapi nggak mungkin berlaku tidak sopan dengan  dosen.  Beliau itu guru yang harus dihormati. Walau bagaimana pun juga  nasib masa depanku juga tergantung dari penilaiannya. Ini kali pertama selama hampir tiga tahun menempuh pendidikan di perguruan tinggi aku ditegur dosen pengajar. Aku malu sekali. Pembelajaran berlanjut agak tegang, menurutku.  Pak Alan memulai ceramah tentang rule of the game selama menempuh perkuliahan dengannya. Beberapa kali dia melirik padaku. Aku nggak berani macam-macam kali ini. Memasang wajah serius seolah antusias mengikuti perkuliahannya. Tak lama kemudian dia berbalik ke mejanya dan menayangkan slide presentasinya. Rupanya dia membahas tentang anemia. Semester kemarin aku diajak dua kakak tingkat untuk melakukan penelitian. Bu Wina dan pak Ardy yang menjadi pembimbingnya. Sebenarnya aku juga masih belajar tentang penelitian  dan berniat mencari pengalaman baru. Ini debutku yang pertama, namun lama-lama aku memang jatuh cinta dengan kegiatan ini. Meski anak baru dan masih anak bawang, aku benar-benar berjuang dan belajar giat untuk itu. Bersyukur mereka mau membantu dan nggak pelit ilmu. Kebetulan kami juga meneliti tentang anemia.  Kepercayaan diriku sedikit muncul karena sudah cukup banyak membaca literasinya. “ Baiklah, sebelum melanjutkan kegiatan kita, saya ingin tahu terlebih dahulu apa saja yang kalian ketahui tentang anemia?” Mira segera mengacungkan tangan dan mendapat apresiasi baik atas jawabannya. Aku masih melanjutkan mencatat penjelasan selanjutnya yang penting hingga kemudian suaranya kembali mengagetkanku. “What do you know about anemia of inflammation, Meidinda?” “Hah? Saya?” Ucapku pelan sembil menunjuk d**a dengan ekspresi wajah kaget. Terus terang aku memang tidak siap untuk ditanya. Bisa mengatasi rasa malu dan bersalah tadi saja sudah membutuhkan energi banyak. Apa ini cara dia membalas kekesalannya karena ditabrak di perpustakaan dua hari yang lalu? “ Ya kamu, Meidinda. Silahkan jawab!” Deg. Apa dia tadi mendengarnya? Jantungku mulai bertalu dengan keras. Semua perhatian di ruangan itu mengarah padaku. Sial benar aku hari ini ya. Ya Allah, kesalahanku karena memainkan gawai sebentar tapi dia masih belum puas menghukumku. “ Kamu bisa menjawab dalam Indonesia atau Inggris. Saya akan memberi nilaitinggi jika kamu mau menjawabnya dalam bahasa Inggris.”  Aku masih menyusun kalimat untuk menjawabnya. Sesaat kemudian ruangan menjadi sedikit ribut, lalu suaranya terdengar kembali.             “ Saya mendengar kabar kalau kamu menang PIMNAS tahun lalu dan ikut kompetisi lanjutan di Swedia kan? Itu manandakan kamu mampu berkomunikasi dalam bahas Inggris dengan baik, bukan?” Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya. ‘Astagfirullah, Sabar Iga, sabar.... ’ Rasanya seperti dihadapkan dalam sidang dengan tim penguji saja.’ “Ehm... Anemia of inflammation (AI) ya?” Suasana ruangan hening kembali. Aku memutuskan meneruskan kalimatku. “AI also called anemia of chronic disease is a common, typically normocytic normochromic anemia that is caused by an underlying inflammatory disease.”   (Anemia peradangan pada umumnya merupakan penyakit anemia yang kronis, merupakan jenis anemia normokrom normositik (anemia akut karena terjadi kerusakan sumsum tulang belakang. Sumsum tulang belakang ini merupakan tempat produksi sel darah merah) . Karena terjadinya peradangan pada sumsum tulang belakang maka produksi sel darah merah terganggu.  Treatment should focus on the underlying disease. If this is not feasible and the anemia limits the quality of life or the performance of daily activities, a combination of erythropoiesis-stimulating agents and intravenous iron may be effective but should be attempted only after careful consideration of risk and benefit. (Penanganannya harus fokus pada mengatasi penyebab peradangan itu terlebih dahulu. Jika hal ini tidak memungkinkan karena mungkin dapat menurunkan kualitas hidup atau mengganggu kinerja keseharian, maka penggunaan kombinasi zat perangsang eritropoesis (pembentukan sel darah merah pada sumsum tulang belakang) dan pemberian zat besi intravena secara efektif  bisa dipertimbangkan.” Kelas hening. Aku lega sudah selesai mengucapkannya. Terserah saja tanggapannya. “ Good!” Hanya satu kata itu yang dipakai untuk menanggapi jawabanku yang lumayan panjang. Aku tidak mempedulikan itu, yang penting dia sudah tidak bertanya lagi.  Pak Alan  kembali menjelaskan tentang informasi anemia lebih lanjut. Annisa meremas pergelangan tanganku, sebuah kode untuk mengungkapkan,”selamat kamu berhasil.” Aku masih fokus mendengar penjelasan dosen muda itu, tidak berani beralih menanggapi aksi Annisa. Aku nggak mau menanggung resiko ditegur olehnya lagi. ” Nah, sekarang kita beralih ke SCD. Ada diantara kalian yang mau menjelaskan tentang SCD? Silahkan!” Kelas menjadi hening hingga beberapa menit ke depan. Dosen itu mengambil absensi dan mulai menyebut nama beberapa temanku. Dia menunjuk acak mahasiswa untuk menjawabnya. Aku fokus mendengar tanggapan beberapa temanku yang mencoba menjawabnya. “Nah Meidinda, coba apa yang kamu ketahui tentang SCD?” Mata dosen itu menatap lekat ke arahku. Keningku berkerut, benakku sudah berteriak protes. Kenapa aku masih kena lagi sih? Aku menoleh ke arah Annisa mencoba meminta pertolongan, dia menatapku ngeri lalu  memberi kode gelengan kepala ringan padaku. Aku susah payah menelan ludah, mencoba mengingat sesuatu. Kelas semakin hening. Tak ada satupun teman yang mau mengambil alih menjawab untuk mengalihkan perhatian pak Alan. Akhirnya aku terpaksa menjawab walaupun dengan suara yang sedikit bergetar. Takut salah. “SCD? Sickle Cell Syndromes? Sindrom sel sabit atau penyakit anemia sel sabit.Ini merupakan anemia akibat kelainan genetik. Tubuh memproduksi sel darah merah yang tidak biasa, yaitu bentuknya yang seperti bulan sabit. Sel darah normal memiliki bentuk yang bundar dan lentur sehingga dapat dengan mudah bergerak dalam pembuluh darah membawa oksigen merata ke suluruh tubuh. Jika bentuknya tidak normal,  maka akan mempengaruhi jumlah oksigen yang dibawanya. Akibatnya suplai oksigen dalam sel dan jaringan menjadi berkurang. Pada anemia sel sabit (SCD), sel darah merah berbentuk seperti sabit yang kaku dan mudah menempel pada pembuluh darah kecil. Akibatnya, aliran darah yang mengandung hemoglobin pembawa oksigen menjadi terganggu dan mengakibatkan timbulnya rasa nyeri dan kerusakan jaringan.” Hening beberapa menit. Dosen itu masih menatapku dengan pandangan tak terbaca. Aku lega bisa menjawab tak peduli itu benar atau salah. Tapi tak bisa memungkiri hati yang ketar ketir menunggu reaksinya. “ Ya Benar.” Huft, aku menarik nafas kembali. Tadinya mata kuliah farmakoterapi III ini adalah salah satu favoritku karena sangat menarik dan pak Ardy menyampaikannya dengan baik dan mudah dimengerti. Tapi setelah diserahkan pada dosen baru ini membuatku tidak nyaman berada di kelas ini. Masih belum selesai kejutan, dia memberi tahu  jika kami harus bersiap menghadapi kuis. Kelas mulai heboh dengan gumaman seluruh mahasiswa dalam ruangan itu dan saling melempar pandang. Aku nggak berani berkomentar apalagi bertindak yang memancing kekesalan  pak Alan lagi. Pasrah mengikuti kemauannya, yang penting jam perkuliahan ini cepat berlalu.   ******      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD