Meet with him

1525 Words
Halaman belakang panti asuhan Neo Paradise adalah hamparan rumput halus yang terawat. Sebuah bench alumunium dengan ukiran oriental china di sudut halaman adalah tempat favorite Luna. Semua anak-anak akan bermain dengan kaki t*******g di halaman luas itu termasuk Luna, ia kadang sengaja menggesekkan telapak kakinya di atas rerumputan halus itu kemudian tertawa kegelian. Annisa bilang ada sebuah ayunan yang tinggi tiangnya hampir tiga meter di halaman itu. Luna penasaran dan hanya pernah memegangnya beberapa kali. Ayunan itu memang tinggi tapi, Luna belum berani untuk menaikinya. Sore ini, Luna hanya tersenyum sembari mendengarkan anak-anak yang berlari ke sana ke sini sembari bermain pedang-pedangan. Luna tau di sana ada Brian, David dan Axcel. “Bunga magnolia bibi sudah berbunga lho ya,” kata seorang wanita parubaya bernama Bibi Olin sembari membawa pot berisi bibit bunga magnolia yang sudah berbunga. Luna yang mendengarnya pun semringah. “Oh ya! Warna apa, Bi?” Alih-alih menjawab pertanyaan Luna, Bibi Olin memetik serumpun bunga magnolia tersebut dan meletakkannya di tapak tangan Luna. Luna terkejut. “ Bibi, Luna kaget.” Bibi Olin tersenyum, mencubit cuping hidung Luna gemas. “Warna bunganya putih dengan semburat merah muda, seperti pipimu.” Pipi Luna bersemu seketika. “Bibi Olin ngejek, ya?” “Enggak kok, bunga itu memang cantik sepertimu, Luna ... coba hirup aroma bunga itu.” Perlahan Luna mendekatkan serumpun bunga magnolia itu ke hidungnya, aroma khas bunga magnolia terhembus. “Ini wangi, Bi.” “Bunga itu cantik Luna, sepertimu.” Mereka pun tertawa bersama, Luna bahkan sampai menutup mulutnya sendiri. Bibi Olin kemudian menceritakan beberapa keadaan anak-anak di panti asuhan tersebut. Axcel baru saja menjalani cuci darah beberapa hari yang lalu dan ia sudah tidak sanggup bermain atau berlari bersama teman-temannya, ketika temannya bermain pedang-pedangan Axcel hanya duduk di pagar beton sembari membaca buku. Sementara itu Mentari masih berada di rumah sakit karena jantungnya semakin parah. Sedangkan Mimi akan segera diadopsi oleh sebuah keluarga imigran dari Jepang. Luna menyimak perkataan Bibi Olin dengan cermat seolah tidak ingin meninggalkan setiap bait kata. Sesekali keningnya berkerut juga tertawa kecil dengan tangan masih memegang serumpun bunga magnolianya. Tiba-tiba terdengar sebuah suara nyaring berasal dari arah depan, Bibi Olin refleks menoleh dan berteriak. “Ada apa, Bi?” tanya Luna ikut terkejut. Ia berusaha berdiri, sayangnya Bibi Olin sudah terlebih dahulu meninggalkan Luna tanpa mengucapkan sepatah kata. Luna semakin panik, ia mendengar teriakan panik dari depan tapi tetap saja ia tidak semudah itu menghampiri mereka. Tak lama anak-anak itu memanggil nama David. “David, Bi ... David kenapa?” Luna tetap berusaha menggapai-gapai, berjalan memdekati kerumunan suara tersebut. Sebentar kemudian kakinya tersandung tali yang tergeletak di rerumputan. Tubuhnya oleng dan kalau bukan karena tangan seseorang yang menahannya, Luna pasti sudah terjerembab dengan bebas. *** Tirta pernah membayangkan bagaimana wujud Neverland yang sesungguhnya. Kendati pada akhirnya yang muncul di kepalanya hanyalah halaman keluarga Oscar Harron dalam film Fly Away With Me. Saat Mr. Shark memberinya kejutan dan itu mirip dengan halaman belakang Neo Paradise. Rumput-rumput hijau terawat dengan baik oleh tukang rumput profesional. Di sisi kanannya, ada rak-rak kayu mahoni berisi bunga-bunga morning daisy. Sementara di depannya ada gapura yang dililiti oleh tanaman merambat lilac biru dari Jepang. Tapi, tidak ada menarik perhatiannya cukup dalam selain bench alumunium itu yang paling menarik perhatiannya. Di antara anak-anak yang lalu lalang dengan mainannya. Sosok itu adalah yang paling mencolok di mata Tirta. Wajah yang membuatnya tak mampu menahan api amarah dalam dirinya sendiri. Jujur, Tirta hanya pernah melihat wajahnya di cover-cover majalah dan surat kabar yang pernah ia beli sebelumnya. Tapi, yang tidak pernah ia sadari bahwa tanpa bantuan efek kamera sosok itu masih tampak cantik. Gadis itu tersenyum dengan tatapan kosong, pupil matanya cokelat terang. Wajahnya bulat dengan pipi ranum dan kulit kuning langsat khas wanita asia pada umumnya, hidungnya kecil dengan ujung yang lancip. Bibirnya tipis dengan warna salmon, sementara rambutnya masih saja sepunggung berpirang cokelat tua. “Tirta?” Ia tersentak saat seseorang memanggilnya. Sebelum datang ke sini, ia hanya diberi tahu kalau seorang wanita bernama Bibi Olin adalah penanggung jawab di panti asuhan itu, saat melihat tubuh paruh baya berwajah keibuan dengan rambut hitam sebahu yang diikat seadanya. “Bibi Olin?” tanyanya. Wanita itu tersenyum dan mengulurkan tangannya. “Setelah bertemu langsung denganmu, aku pikir kamu lebih cocok menjadi anggota boyband.” Tirta hanya menyahutinya dengan sebuah senyuman. Senyuman lebar yang memperlihatkan eyes smilenya. “Mau bertemu Luna, kan?” “Eungh ... iya tapi, sepertinya saya akan di sini dulu untuk melihat-lihat,” jawab Tirta. Bibi Olin tersenyum kemudian menyentuh bahu Tirta. “Silakan melihat-lihat, kalau ada sesuatu yang ingin ditanyakan saya ada di depan sana.” Bibi Olin menunjuk sebuah lahan dengan beberapa bibit tanaman Magnolia tulip yang baru bermekaran. Tirta mengangguk dan tidak menyangka bahwa panti asuhan itu mempunyai botanical garden berisi bebungaan dan tanaman obat herbal. Tirta tidak menyangka bahwa Bibi Olin membawa satu polibag, ke dekat Luna dan memetik beberapa rumpun bunga magnolian itu. Lantas perhatian Tirta beralih menatap beberapa anak yang berlari lincah ke sana ke sini. Bahkan ada yang menabraknya. Beberapa anak perempuan yang memegang raket juga boneka beberapa kali mendongak untuk memastikan bahwa Tirta adalah orang asing yang belum dikenalnya. Anak-anak itu tak berani menyapa walaupun sudah beberapa kali melihat Tirta juga menabraknya. Kurang lebih 15 menit ia memandangi anak-anak itu bermain, sampai pada akhirnya ada seorang anak perempuan yang menggoncang kain celana katunnya. Tirta menautkan kedua alisnya. “Iya?” Gadis kecil itu menunjuk-nunjuk sesuatu di pohon alpukat besar. Astaga, sangking serunya bermain bulutangkis raketnya terlempar dan tersangkut di antara ranting dan dedaunan. Tirta hampir tertawa saat melihat hal itu namun, ia tetap memahami maksud anak itu. Dengan tinggi 175 sentimeter sama sekali tidak sulit untuknya mengambil raket tersebut. Tirta segera mengambilnya cepat lantas berbalik ingin menyerahkan benda berjaring senar khusus itu. “Wah!” kata beberapa anak kecil yang kini berkerumun di hadapannya. Tirta tersentak saat menyadari bahwa gadis kecil itu bisa bicara, pada awalnya ia pikir gadis itu tidak bisa bicara. Beberapa anak laki-laki lainnya bertepuk tangan seolah sedang melihat superhero favoritenya. “Kakak makan apa kok bisa setinggi itu?” “Wah, nama kakak siapa? Apa kakak seorang dokter?” Tirta menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, kebingungan. Selain dihujani pertanyaan-pertanyaan, jas yang dikenakannya pun sudah ditarik sana-sini. Ia tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Suasana mendadak menjadi riuh sekali sampai kemudian dari arah perosotan ia mendengar teriakan yang cukup nyaring. “David! David!” Anak-anak yang tadi berkumpul di sekitarnya kini beralih ke perosotan itu. Tirta sendiri belum bisa menentukan harus melakukan apa karena suasana yang begitu ricuh. Ia hendak beranjak saat gadis dengan gaun selutut yang sejak tadi duduk di bench alumunium menggapai-gapai ingin berdiri. Luna baru berjalan beberapa langkah saat mata Tirta menemukan seutas tali yang ada di depan kaki t*******g Luna. Astaga, gadis itu pasti akan jatuh tersandung! Tirta tidak tau apa yang membuatnya berlari sekuat tenaga hanya untuk menangkap tubuh gadis itu agar tidak jatuh. Tubuh ramping Luna melayang beberapa detik sebelum akhirnya mendaratkan kepalanya lumayan keras ke d**a Tirta, Tirta meringis. Gadis itu juga. “Hati-hati,” ucap Tirta nyaris tak terdengar. Seperti sebuah scene film yang di-pause, semua terasa hening dalam beberapa saat. Tubuh Tirta membeku dengan kedua mata yang menatap puncak kepala Luna. Hampir semenit sampai kemudian Tirta memutuskan untuk melepaskan tangan Luna dan menjauh darinya. Gadis itu sudah berdiri tegak sempurna dengan wajah bingung. Tirta tidak tahu jikalau sedekat ini dengan Luna akan membuat dadanya berdebar kencang seperti mengikuti lomba marathon. Tirta mengatupkan giginya rapat-rapat. Dia tidak bisa menemui gadis itu sekarang, dia harus pergi atau segala rencananya akan kacau. *** Kening David harus dijahit beberapa kali karena membentur besi penyangga perosotan yang sudah berkarat dan koyak. Sepertinya ia kelewat semangat saat bermain dengan teman-temannya hingga ia terjun bebas tanpa berhati-hati. Wajahnya datar tanpa ekspresi dengan berbagai macam pikiran yang muncul di kepalanya. “Hati-hati.” Dua kata itu menyisipkan sepercik api kecil yang kemudian merambat di setiap sarafnya dan mencari ujung yang setelah beribu kali dipikirkan oleh Luna tetap memberinya satu kesimpulan. TY, suara tersebut terlalu sama dengan suara sang secret admirer tapi, bagaimana mungkin? Bertahun-tahun Luna mendengarkan cerita yang dibaca dengan begitu hidup dan menarik oleh suara berat itu. Berulang kali, berhari-hari Luna terus merekamnya dalam ingatan. Hari ini ia bisa mendengar suara itu secara langsung. Dan itu terasa sejuta kali lebih hidup dari pada yang terekam dalam beberapa klip memory card. Luna masih berpikir ia pasti sudah gila karena berpikir TY ada di Neo Paradise. Ia bertemu TY di sini? Sangatlah tidak mungkin! Bukankah TY berada di San Jose? Lalu untuk apa TY ke panti asuhan? Luna bergidik lantas meraba dinding untuk keluar dari ruangan itu. “Bi ... Bibi ....” Suara Luna menggema di seluruh lorong, kemudian disahuti oleh Bibi Olin.  “Ada apa, Luna?”  “Apa ada laki-laki dewasa yang berkunjung ke sini?” tanya Luna.  “Tirta Revaga.” Luna terkesiap, benar ada. Memang ada laki-laki yang datang ke sini tadi, laki-laki asing yang mungkin saja TY.  “Siapa dia, Bi?” tanya Luna lagi. “Seorang sutradara, dia baru kembali dari—“ “San Jose?” potong Luna cepat.  “Bagaimana kamu tau kala—“  “Eum... di mana dia sekarang, Bi?” tanya Luna.  “Sudah pulang, Lun.”  “Apakah Ia akan kembali lagi ke sini, Bi?” tanya Luna cepat.  “Bibi enggak tau, Luna. Memangnya ada apa?” Luna mendengus kecewa, kedua tangannya terkepal erat, mata coklatnya pun berkaca-kaca. “Apa laki-laki bernama Tirta itu meninggalkan alamatnya, Bi?” “Sepertinya tidak, Lun.” Jantung Luna mencelos, ia merasa sangat kecewa daripada sebelumnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD