The Things Called Long Flight

2392 Words
Dengan jalan tak beraturan, Jay jelas mabuk berat, kakinya berjalanan sempoyongan dengan tangan bertumpu ke dinding bar. Sementara itu Luna hanya meminum satu gelas fermentasi buah persik, kepalanya sudah pusing namun, ia masih berusaha membantu Jay berdiri seraya menahan rasa sakit di kepalanya sendiri. “Malam ini adalah sebuah keberuntungan bagimu ... selamat sayang, kamu adalah bintang sekaraaaaang!” Jay meracau sembari mencari kunci mobilnya yang tersimpan di dalam saku. Begitu menemukannya Jay meyerahkan kunci tersebut kepada Luna. Luna mengernyit bingung. “Malam ini, kamu yang menyetir karena ini hari bahagiamu.” “Tapi, aku belum punya SIM, Jay,” jawab Luna. Jay bersikeras, “Tidak masalah, hari ini adalah hari bahagiamu, Luna.” Jay merosot dan terhantup oleh kap mobil, ia mengernyit kesakitan. “Hati-hati Jay.” Dengan terpaksa Luna memegangi tubuh Jay dan mengambil kunci mobilnya untuk membuka pintu mobil, setelah itu ia mendudukkan Jay di sebelah kursi kemudi. Luna menyalakan mobil BMW itu cepat, ia sendiri sadar bahwa dirinya masih di bawah umur untuk menyetir secara bebas karena belum memiliki SIM. Tapi, seperti sekarang ia harus mengemudi untuk sampai di rumah karena Jay sendiri sudah mabuk berat di sampingnya. Sekaligus merayakan hari bahagianya sebagai pemenang acara TOP BEAUTY ASEAN, ia terpilih menjadi runner up karena kepiawaiannya dalam segala bidang entertainment. Siapa yang tidak terkesima bila mengetahui Luna baru berusia 15 tahun, dan sudah beberapa kali memborong beribu penghargaan bergengsi di yang belum pernah dimiliki Indonesia. Untuk urusan mengemudi, ia pernah belajar dengan kakak laki-lakinya beberapa tahun kebelakang. Itu sebabnya iia tidak terlalu kebingungan untuk mengemudikan mobil tersebut. Semua berjalan baik-baik saja, bahkan Luna mengemudi dalam kecepatan 50km/h dalam keadaan terpengaruh fermentasi buah persik. “Luna! Ke mana kita? Apa kita akan ke pelabuhan?” tanya Jay dengan mata menyipit. Luna sendiri tertawa kebingungan. “Ke mana?” Luna tidak tahu menahu ke mana mobil mereka melaju, yang ia lihat hanyalah barisan lampu-lampu penerang jalan yang berjejer monoton di pinggir jalan. Ia juga melihat beberapa pos yang ada di setiap gerbang jalan. Ini menyimpulkan bahwa mobil itu melaju di atas jalan tol. Luna mencoba mengedipkan matanya beberapa kali berharap kesadarannya kembali pulih, Jay tiba-tiba menarik lengan kiri Luna, Luna yang terkejut pun berusaha memberontak karena mobil mereka sekarang melaju tak keruan berbelok ke kanan dan kiri. “Jay, apa yang kamu lakukan itu membahayakan,” keluh Luna. Jay mengabaikan perkataan Luna, ia tetap berusaha memeluk Luna sesekali berkata, “Sayaaang ... aku sayang banget sama kamu ... aku cinta sama kamu ... aku enggak bakal ninggalin kamuuuu ....” “Jay! Lepaskan tanganku, aku sedang mengemudi!” bentak Luna. Jay tetap berusaha menggapai tubuh Luna dan memeluknya sementara itu Luna mencoba melepaskan diri dan meluruskan setir mobil yang melaju kencang secara tak beraturan tersebut. Tiba-tiba saja di depannya melintas seseorang dengan hoddie berwarna silver, Luna mencoba menghindari orang tersebut namun, sayangnya Jay menarik tangan kiri Luna untuk kedua kalinya dan menabrak orang tersebut hingga terpental membentur pembatas jalan. Luna kehilangan kendali, ia kebingungan saat ingin menginjak pedal rem selain itu Jay terus menerus menarik stir. Mobil BMW itu berputar secara brutal dan melindas tubuh yang sudah setengah sekarat dihadapannya lantas terjun bebas. Enam Tahun Kemudian.... “Luna ... itu tadi apa ... Luna ... apa tadi kita melindas sesuatu? Luna ....” “Ayah ... ayah ... ayah!” Gadis berambut sebahu dengan pirang coklat itu terduduk dengan napas terengah, jari jemari lentiknya meremas boneka beruang yang ada dipangkuannya kuat-kuat. Ia menitikkan air mata, kemudian ia mencoba mencari gelas minumnya yang biasanya diletakkan di atas nakas oleh perawatnya. Gelas tersebut jatuh dan menciptakan suara yang nyaring. Samar-samar terdengar suara langkah kaki menuju kamarnya, Annisa pasti sangat terkejut karena keributan yang hampir setiap malam terdengar dari kamarnya. “Luna enggak apa-apa?” tanya Annisa. Luna menggeleng, mata cokelatnya tampak kosong memandang Annisa, keringat dingin membasahi wajahnya dengan cepat. Anissa pun mengelap keringat Luna dengan beberapa lembar tissue. “Kamu mimpi buruk lagi?” Luna tersenyum kecut. “Maaf, aku selalu merepotkanmu malam-malam.” Sebenarnya Luna sudah sering menawarkan agar Annisa tidur di kamar terpisah darinya namun, ayah dan kakak laki-lakinya selalu menolak permintaan tersebut. Annisa adalah gadis yang baik, bahkan Luna merasa bahwa Annisa adalah sahabatnya, perawatnya yang sangat baik. Namun, Luna sering membencinya karena selalu merasa dirinya adalah beban. “Minum obatnya, ya?” tanya Annisa dengan pelan. Luna menggeleng keras, ia nyaris tak mau membuka suara agar tidak dipaksa menelan pil-pil yang diberikan dokter untuknya. Walaupun konsekuensinya sangatlah mengganggu kenyamanan orang lain. “Kamu harus minum obat agar cepat sembuh,” kata Annisa. Luna tetap menggeleng. “Enggak usah, aku mau mendengar cerita saja.” Luna berusaha bangkit hendak mengambil Ipod yang ada di atas meja belajarnya. Nyaris saja ia menginjak pecahan gelas kaca yang masih berserak di lantai kalau saja Annisa tidak mencegahnya. “Kamu duduk saja di sini, biar aku yang mengambilkanya.” Luna benar-benar kesal setiap kali Annisa mencegahnya melakukan sesuatu, Luna tidak ingin merepotkan orang-orang di sekitarnya untuk kesekian kalinya. Namun, mau bagaimana lagi? Semenjak ia kehilangan penglihatan ini adalah pilihan Luna, kenyataannya ia sekarang adalah beban bagi semua orang. “Mau dengerin apa malam ini?” tanya Annisa memecah keheningan. “Bawa saja Ipodnya ke sini, Annisa,” pinta Luna pelan. Beberapa detik kemudian, Annisa memberikan Ipod kepada Luna. Dengan jari telunjuknya Luna mencari tombol play yang ada di ipod tersebut. “Nostalgia Night ... Secret Garden ... Fly Away With Me ... eumm ... Ini cerita Long Flight” Luna mengerucutkan bibirnya, lantas mendengarkan cerita berjudul Long Flight itu, cerita ke 19 yang dikirimkan oleh secret admirernya. “Annisa.” “Hmm ....” “Apa belum ada cerita baru dari TY?” Annisa menatap kedua mata cokelat Luna dengan tajam, ada sorot menyedihkan di dalam sana. Lelaki yang mengaku sebagai secret admirer Luna itu merasuk begitu dalam ke kehidupan Luna tanpa ia sadari. Laki-laki yang menggunakan inisial TY itu pertama kali mengirim surat 5 tahun yang lalu, kemudian ia mulai mengirimi Luna beberapa buket bunga lilac dan beberapa potong memori card berisi cerita yang ia rekam sendiri. Walaupun Luna sering membuat cerita, Luna tidak terlalu suka membaca. Banyak waktu yang ia habiskan untuk berpetualang mencari bahan pemotretan juga bahan outline novelnya. Tapi, setidaknya ia melakukan hal apa saja yang membuatnya bahagia. Luna tidak akan tahu kalau apa yang dilakukannya hanyalah sementara. Dari TY lah ia mendengar banyak cerita, mulai dari cerita-cerita rakyat hingga cerita romansa yang diberi judul No Longer oleh TY. Karena TY lah Luna mulai berpikir banyak hal, tentang bagaimana keadaan dunia setelah 6 tahun lamanya ia tak dapat melihat. Berkat TY lah Luna perlahan menguatkan keinginannya untuk dapat melihat lagi, dan melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi banyak orang. Ia juga ingin membaca lebih banyak cerita lagi, cerita yang kemungkinan dapat bermanfaat di kehidupannya, layaknya TY menjadikan segala mungkin bagi Luna. Secara berkala, ia membacakan cerita-cerita karangannya untuk gadis itu bersama beberapa untai kata yang lama-lama seperti sumber kekuatan Luna. Annisa tidak bisa membayangkan apa jadinya Luna bila tidak menerima surat-surat dari TY. Tidak ada yang mereka ketahui tentang laki-laki itu selain suara beratnya saat membacakan cerita-cerita tersebut dan alamat yang tertera di bawah nama pengirimnya adalah San Jose. Dan sudah dua bulan lamanya laki-laki berinisial TY itu tidak mengirimkan surat ataupun cerita, membuat Luna gusar menunggu. “Sampai sekarang belum ada surat yang datang Luna, bersabarlah ... mungkin TY sedang sibuk,” jawab Annisa. Luna tersenyum kecut. “Hmm ... iya mungkin.” *** Pria dengan rahang tegas itu masih menyandarkan kepalanya dan berusaha memejamkan mata. Kaki panjangnya bersilang juga dengan kedua lengannya yang ia silangkan di depan d**a. Ia benci dengan melakukan perjalanan panjang yang sangat merepotkan dan sangat menyiksa. Satu jam lagi ia akan mendarat di kota kelahirannya. Tirta menyerah, pria berusia 25 tahun itu lantas menegakkan tubuhnya dan menarik napas panjang. Pramugari yang sama menegur Tirta untuk kesekian kalinya selama penerbangan ini. “Ada yang bisa saya bantu, Pak?” Tirta tersenyum tipis sehingga tulang rahangnya terlihat sangat jelas, kemudian ia menggeleng. “Tidak usah, Terima Kasih.” Tirta tahu pramugari pasti merasa kasihan melihat dirinya yang tersiksa sepanjang perjalanan, Tirta menyesal tidak meminum obat tidur tadi. Setelah si pramugari beranjak, Tirta mengambil tas cangklong yang ia letakkan di bawah kaki. Kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari sana. Sebuah plastik berisi beberapa klip memory card yang sudah ia beri judul dengan huruf braile. Di bawahnya, masih ada setumpuk kartu pos yang belum ia tulisi. Sebentar lagi ia bahkan bisa menyerahkan benda-benda itu secara langsung tanpa bantuan jasa pengiriman barang seperti yang sudah dilakukannya 5 tahun ini. Tirta mendesah, mengusap wajahnya kasar. Enam tahun sepertinya sudah cukup untuk menunggu, Tirta tidak ingin bersembunyi lagi. Ia sungguh-sungguh kembali kali ini, melawan segala ketakutannya. Pulang untuk menemui gadis itu. Ya, Luna. “Can’t wait to see you, Luna,” gumam Tirta dengan wajah datar, ia membuang napas kasar sebelum memasukkan lagi barang-barang itu ke dalam tasnya. Selama berumur hidup Luna belum pernah melihat wajah Annisa secara langsung namun, Luna tahu bahwa Annisa adalah lulusan sekolah keperawatan di Surabaya yang kemudian dipekerjaan untuk Luna setelah kecelakaan itu. Secara harfiah, Annisa hanya merawat Luna namun, bukankah hubungan manusia akan terus berkembanh seiring berjalannya waktu yang mereka habiskan? Annisa adalah gadis yang periang, Luna menyukai watak Annisa yang periang. Mungkin karena itulah ayahnya memilih Annisa kemungkinan agar keceriaan Annisa bisa menular kepada Luna. Sayangnya semua itu berkebalikan, Annisa sudah jarang tertawa begitu juga dengan Luna yang tetap seperti itu. Yang belum ingin melakukan apa pun selain bertemu dengan laki-laki misterius berinisial TY itu. Selain itu ia selalu menghabiskan waktu sore dengan anak-anak di panti asuhan yang dikelola saudara ibunya. Jay sendiri adalah pria yang mengesankan, ia adalah Annisa versi laki-laki. Bahkan Luna sempat berpikir bahwa mereka berdua cocok untuk menjadi pasangan. Jay adalah cinta pertama Luna saat pertama kali mengenal dunia permodelan, Jay adalah laki-laki yang rela memanjat pagar rumah hanya untuk meminta izin dengan ayah Luna untuk mengajak Luna ke taman bermain tak jauh dari rumah. Luna mengalami koma kurang lebih 10 bulan lamanya setelah mobil yang ia kemudikan terjun bebas dari tol berketinggian 12 meter itu. Ia tidak tau apa-apa setelah itu kepada Jay, yang ia tau Jay mengalami depresi berat hingga vakum dari dunia entertainment beberapa tahun. Hampir dua bulan Jay tidak membuka mulut, juga membatalkan kontrak kerja dengan beberapa agensi perfilman. Setelah 2 tahun menjalani terapi Jay perlahan mulai membuka diri dan kembali menjadi Jay yang sebelumnya. Kemungkinan besar banyak orang yang berpikiran bahwa Jay adalah orang yang paling menderita akibat kecelakaan itu namun, sebenarnya salah. Luna lah yang masih berkubang dalam lautan masa lalu itu, Luna takut berhadapan dengan orang banyak bahkan ia takut melihat dunia, Luna sangat ketakutan akibat kecelakaan itu. *** Luna bisa menghirup aroma cokelat vanila yang perlahan menyentuh cuping hidungnya. Ia langsung tersenyum dan mengulurkan tangan, mengira itu adalah Annisa. “Annisa?” gumamnya. Saat sosok itu mendekat, Luna baru menyadari bahwa itu bukanlah Annisa. Aroma perfume itu mana mungkin ia lupa. “Jay?” Jay meletakkan mug porselen itu di hadapan Luna lantas tangannya terulur ke pucuk kepala Luna yang sedang kebingungan. “Sepertinya sekarang pacarmu adalah Annisa,” rajuk Jay terkekeh. Luna tersenyum menampakkan sebuah lesung pipi yang menghiasi pipi kirinya. Ia berusaha mencari anggota tubuh Jay yang paling dekat dengan jangkauannya, Ia harus melakukan dengan cepat karena bisa saja Jay menghindar tanpa sepengetahuan Luna, dan kali ini dengan satu gerakan, Luna berhasil menggenggam lengan Jay dengan erat. “Ash! Jangan mencengkeram lenganku, sayang,” kata Jay. “Semakin lama jemarimu semakin tajam, ya ... lihat aja nanti aku bakal latihan karate.” “Sejak kapan kamu suka karate, Jay?” tanya Luna bingung, genggaman tangannya terlepas seketika. “Sejak aku berjanji akan melindungimu,” jawab Jay. “Kamu membintangi film baru?” Jay tersenyum simpul, lantas Ia memberikan mug porselen itu tepat di tangan Luna kemudian ia mengacak gemas puncak kepala Luna. Jay menghela napas ketika menatap pupuk cokelat milik Luna yang tampak kosong, mata yang selalu menatapnya beberapa tahun yang lalu. Jay sudah kehilangan tatapan mata tersebut selama 6 tahun lamanya. “Luna.” “Eum?” tanya Luna sembari menyesap coklat favoritenya. “Kamu enggak pengen ikut pemotretan lagi?” tanya Jay balik. Senyuman hangat di wajah Luna memudar seketika. “Jay, bukannya kita sudah berbicara tentang ini?” “Luna ....” “Jay, Aku benar-benar takut.” “Luna, jujur aja aku rindu kamu yang dulu. Aku rindu tatapan mata kamu,” ucap Jay. Luna berdiri tiba-tiba. “Sudahlah, enggak usah dibahas lagi aku enggak mau kita berantem Cuma karena masalah ini, Jay.” Luna berjalan pelan tanpa tongkat, tangannya terulur berusaha menggapai apa saja yang ditemuinya. Ujung gaunnya tersangkut di meja dan membuatnya hampir tersungkur. “Annisa?” “Iya, ini aku,” jawab Annisa. Sementara itu Jay masih mencoba menggapai tangan Luna, sampai pada akhirnya Annisa memberi isyarat agar Jay diam di tempatnya. Jay menatap sendu langkah-langkah kecil Luna menjauhinya. *** “Aku enggak percaya ada orang sinting sepertimu yang meninggalkan San Jose hanya untuk sebuah gedung sampah ini.” Doni meletakkan kembali cangkir kopinya. Saat pertama kali mendengar rencana Tirta kembali ke Indonesia, ia mengira bocah itu hanya membual. Tapi, nyatanya sekarang Tirta sungguh-sungguh ada di hadapannya. Sutradara muda yang sudah melahirkan berbagai film ternama di negara paman sam. “Saya biasa aja Don, lagi pula, kalau saya enggak pulang siapa yang akan mengelola tempat ini?” Tirta ikut menyesap minumannya. Secangkir coklat favoritnya. Doni berdecak, sebenarnya ia tidak begitu tertarik dengan dunia entertainment tapi, Roni Alphasa, ayahnya adalah seorang aktor juga seorang atlet yang sangat disegani, saat Roni merancang gedung teater itu sendiri satu-satunya orang yang ada dipikirannya hanyalah Tirta. Doni sempat merasa aneh saat meminta teman sebangkunya itu untuk membantu mengurusi gedung teater bernama Alphasairis itu. Sampai kemudian Tirta menyetujuinya dengan amat sangat mudah. Doni sempat menyangka bahwa Tirta sedang mengerjainya waktu itu hanya karena Tirta menjawab pertanyaannya dalam hitungan detik. “Ya, aku tau Roni Alphasa itu sangat hebat menentukan setiap detail pekerjaannya,” kata Tirta. “Yang saya minta sudah ada?” Doni terhenyak, lagi-lagi sosok di depannya itu membuatnya tercengang. Tirta Revaga Wirabrata itu 25 tahun dan sekarang mendadak seperti bocah ingusan yang baru mengalami pubertas dan minta dicarikan alamat artis kesukaannya. “Kenapa Luna? Dia kan sudah lama enggak muncul ke layar kaca sudah sejak lama, apa kamu enggak tau beritanya?” tanya Doni diselingi tawa mengejek. “Saya tau.” “Jangan bilang dirimu ke sini hanya karena ingin bertemu Aluna Respati Arjuna,” sindir Doni kemudian. Tirta tertawa kecil lantas mengeluarkan beberapa set DVD dari dalam tasnya. “Apa ini?” “Itu hadiah untukmu, siapa tau setelah menontonnya kamu menjadi entertainer juga seperti Om Roni,” kekeh Tirta. “Dan ... ini adalah bayaran untuk informasi seorang Luna?” tanya Doni. “You got my point, brother.” Doni mengerucutkan bibirnya. “Neo Paradise.” Tirta mengernyit bingung. “Sebuah panti asuhan milik keluarga Luna, biasanya Luna menghabiskan sorenya di sana dengan anak-anak.” jawab Doni cepat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD