Part 2

1017 Words
Aku merebahkan tubuh setelah sampai di tempat indekos. Kasur yang lumayan empuk sepertinya mengundangku untuk mendatanginya. Akhirnya bisa rebahan dan tidur siang yang tidak jadi gagal. Pulang sekolah hari ini cepat karena seluruh guru dan staf lainnya akan ada rapat di kabupaten. Semoga saja sering seperti ini, jadi bisa mengistirahatkan badan ini lebih sering dari biasanya. Banyak tugas dan ulangan membuat pikiran lelah berakibat pada letih berlebihan pada badan. Tak jarang masuk angin datang tanpa permisi. Teman-teman kadang menganjurkan untuk minum obat herbal, sayangnya aku tidak bisa. Sebab, obat herbal yang disarankan itu hanya untuk orang pintar, sedangkan aku tidak pintar. Teringat pesan Rini, besok ada Matematika membuatku heran saja. Mengapa Pak Bambang suka sekali menambahkan jam pelajaran Matematika? Padahal kalau dipikir-pikir dengan kepala dingin bisa yang bisa jadi setelah berpikir menjadi panas, Matematika itu jarang peminatnya. Kalangan murid cerdas saja yang menyukainya. Aku jauh dari kriteria cerdas. Kecerdasan hanya akan muncul jika sudah terdesak saja. [Na, besok jadwal kita berubah.] Satu pesan dari Fajar masuk ke ponselku. [Berubah? Kaya Power Rangers gitu maksudnya?] Jawabku malas, mengganggu jadwal tidur siangku saja Fajar ini. [Ck, maksudnya tuh besok pelajarannya Olahraga,PKN, dan Metematika ga ada Bahasa Indonesia.] Aku yakin Fajar membalasnya dengan kesal. Aku tidak lagi membalas pesan dari Fajar, bisa habis waktu tidur siangku. Aneh, mata ini malah sulit terpejam. Otak di kepala justru memikirkan pelajaran Matematika. Tidak biasanya ada tambahan yang terkesan pemaksaan yang berlebihan. Ah ... s**l gagal tidur siang. Aku keluar kamar, ternyata banyak kakak kelasku yang sedang berkumpul. Rupanya Kak Irma sedang ulang tahun. Aku terbiasa tidak peduli dengan mereka, bukan karena sombong tapi malas berkumpul dengan mereka. Ada alasan mengapa hal itu terjadi, ada Arsa di sana. Salah satu pria yang sangat ku benci. Gayanya selangit, menasihati setiap orang. Lihatlah dia sendiri juga manusia yang kadang berbuat salah. Arsa adalah sesosok yang konon tampan menurut pengamatan wanita yang memujanya. Bagiku tidak sama sekali, justru dia adalah sosok aneh yang membuatku ingin mencakar wajahnya. Arsa, tinggi hampir seratus delapan puluh centimeter, berambut ikal, hidung bangir, dan mata kecokelatan. Kulit eksotis, sawo matang menuju busuk. Hal itu membuatnya banyak dipuja para siswi di sekolah kecuali aku. "Na, sini gabung, makan bakso gratis," ajak Kak Irma sambil melambaikan tangan padaku. "Makasih, Kak, aku mau keluar ada keperluan sebentar," tolakku halus supaya tidak membuatnya tersinggung. Kak Irma memaklumi, dia tahu aku malas jika digoda dan dijodoh-jodohkan dengan Arsa. Walaupun bukan termasuk cewek cantik tapi aku punya gebetan. Biarlah ini jadi rahasia, takutnya dia malah kabur saat tahu aku mengidolakannya. Aku bergegas keluar dari kos, berjalan tidak tentu arah. Bingung hendak ke mana justru bertemu Fajar. Pria ajaib ini mengajakku ke tempat indekos Rini. Alasannya meminjam catatan, hal ini membuat takjub. Mungkin saja habis kesambet jadi mendadak rajin dan ingin mendapat nilai bagus. Semoga prasangka ini benar. Aku dan Fajar tidak lama di tempat indekos Rini, pemilik indekos sangat galak. Kami memutuskan untuk pulang ke tempat masing-masing. Waktu berlalu dengan cepat, aku di kamar tidak mengerjakan apapun. Jam dinding bahkan sudah menunjukkan waktu tepat pukul jam sepuluh malam. Saatnya tidur untuk pelajar yang patuh kecuali aku. Jangan ditanya lagi, aku menderita insomnia, bahkan bisa tidak tidur jika memikirkan sesuatu. Gedoran pintu kamarku semakin terdengar sayup-sayup ditelinga, aku membuka mata dan melihat sekeliling. Ternyata sudah pagi dan jam dinding menunjukkan pukul 06.40 pagi. Bergegas mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Membersihkan badan sebelum ke sekolah. Masih bisa sarapan karena biasanya ritual mandi hanya lima menit tidak lebih ataupun kurang. Sarapan anak kos itu mudah, setangkup roti tawar yang di dalamnya terdapat keju dan cokelat dan segelas s**u. Lumayan bisa mengganjal perut hingga nanti pukul 09.30 saat jam istirahat. Keluar dari kamar tempat indekos tampak sudah sangat sepi. Mungkin saja mereka sudah berangkat. Aku berjalan dengan santai karena masih pukul tujuh kurang sepuluh. Sesampainya di sekolah gerbang juga terbuka dengan lebar. Langkah kaki ini mantap menuju kelas. Senyum merekah, ternyata belum ada yang datang ke kelas. Baiklah aku pertama dan ini harus dicatat dalam sejarah tidak terlambat sekolah. Duduk di bangku favorit dekat jendela agar bisa melihat dia jika melewati kelasku. Aku menunggu teman-temanku hampir setengah jam. Rini bahkan tidak tampak tanda-tanda batang hidungnya. Heran bercampur bingung mendapati tak satupun teman datang ke sekolah bahkan kantor guru juga tidak ada orang sama sekali. "Lho ... Mbak Nana kok sekolah?" kata Pak Wagiman penjaga sekolah yang sangat baik hati. "Iya, Pak, 'kan pelajaran hari ini," jawabku santai. "Hahaha ... Mbak, hari ini Minggu, sekolah libur. Gerbang dibuka karena mau di cat ulang nanti siang." Jawaban Pak Wagiman membuatku terpekur beberapa saat. Mencerna keadaan yang terjadi, mengingat pesan yang dikirim Fajar. Bukankah dia mengatakan besok ada jadwal Matematika? Pak Wagiman masih saja tertawa dengan ulahku. Lantas mengapa tadi ada yang menggedor pintu kamarku? Biasanya jika ada yang menggedor pintu kamar, salah satu teman membangunkanku untuk berangkat sekolah. Jika ini hari Minggu kenapa mereka menggedor kamarku? "Pak, aku pulang dulu ya," pamitku akhirnya dengan menahan sedikit malu. Giliran tidak terlambat berangkat sekolah ternyata hari Minggu. Aku menggerutu sebal sepanjang perjalanan pulang tempat indekos. Banyak mata memadangku heran karena menggunakan seragam sekolah saat hari Minggu. Berusaha tidak peduli dan tetap berjalan dengan menahan malu akhirnya sampai di tempat indekos. Tampak sudah ramai kumpulan kelas tiga teman-teman Mbak Irma. Ada Arsa yang memandangku heran. "Darimana? Kok pakai seragam sekolah?" tanyanya membuat teman yang lain menoleh kearahku. Menghela napas panjang sebelum bertanya, "Tadi yang gedor kamarku siapa?" tanyaku ingin mencakar wajah orang yang menggedor kamarku tadi. "Aku," jawab Riani dengan polosnya. Dia teman satu angkatanku hanya beda kelas dan tidak terlalu akrab. "Bangunin kamu, kita tadi mau ajak jalan-jalan ke Alun-Alun Kota. Sudah lama rasanya tidak jalan-jalan bersama," katanya tanpa dosa. "Kamu tahu, hati ini aku kira sekolah!" jawabku dengan nada naik beberapa oktaf. Pertanda aku sedang marah karena ulah Riani. Mukaku pasti sudah merah padam saat marah seperti ini. Heran mereka tidak merasa bersalah justru tertawa terbahak-bahak. Menyakitkan memang jika aku yang sedang s**l malah ditertawakan oleh penghuni tempat indekos ini. Mungkin aku dianggap pelawak yang menghibur dengan suka rela. Tidak tahukah mereka, jika aku sedang sangat marah? Atau kemarahanku sangat lucu dan menggemaskan? Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD