Part 3

1031 Words
Nasib kalau jadi anak yang ajaib, bahkan saat sedang s**l pun tidak ada yang prihatin justru malah terbahak. Memangnya ini lelucon apa? Aku setengah mati menahan malu saat pulang tadi. Benar-benar mereka itu, ada yang sampai sakit perut karena tertawa. "Makanya jangan biasain digedor pintu kalo bangun pagi jadi ga kayak gini," ucap Arsa menasihati yang tampak bijak. "Bodo amat! Lagian juga ngapain gedor pintu 'kan udah tahu kalo hari Minggu itu waktunya aku rebahan," jawabku ketus. Riani ikut tertawa terbahak, dia tidak merasa bersalah sedikit pun atas ulahnya ini. Aku baru sadar jika di antara kumpulan teman-teman Mbak Irma ada Irwan teman satu perguruan dengan Arsa. Bahaya! Besok pasti satu sekolah akan heboh dengan berita ini. Ah ... masa bodolah, pikir besok. "Nih, bubur ayam, aku belikan tadi," ucap Arsa menyodorkan satu bungkus bubur ayam padaku. "Cie ... cie ... katanya tadi buat makan siang, eh ga taunya buat Nana," celetuk Irwan." Duh ternyata ikut jalan-jalan karena ada maunya," lanjutnya lagi. Aku kaget dan segera berlalu dari hadapan mereka tanpa menerima bubur dari Arsa. Selalu saja seperti ini, mereka itu. Arsa juga seolah tidak paham, aku menghindari dia sejak awal masuk sekolah ini. Hari berganti pagi dengan cepat. Sejak kejadian kemarin aku hanya di kamar. Malas mendengar ledekan teman-teman tentang kejadian hari ini. Makan pun hanya roti yang ada di kamarku. Kali ini aku tidak terlambat ke sekolah. "Wah ... tumben ga terlambat, Mbak?" tanya Pak Satpam yang wajahnya bikin hilang niat pergi ke sekolah. "Hmm ...." Malas meladeni orang satu ini. Hari ini tidak ada upacara bendera diganti hari Kamis besok. Entahlah peringatan hari apa, tapi Sabtu lalu sudah tertempel pengumumannya. Banyak guru dan teman yang menyapaku saat menuju ke kelasku. Tepat pukul tujuh bel berbunyi, saat itu juga aku duduk di bangku bersama Rini. "Na, kemarin kamu datang ke sekolah, ngelindur ya?" Bukan pertanyaan melainkan pernyataan dari Rini. Sudah kutebak pasti Irwan akan heboh menyebarkan berita ini. "Hmm ...." Malas menjawab pertanyaan Rini. "Selamat pagi anak-anak, mari kita mulai pelajaran yang diawali dengan doa terlebih dahulu. Doa akan di pimpin oleh Nana," kata Pak Bambang yang ternyata sudah duduk di kursi guru. Aku memimpin doa pagi ini, entah di mana ketua kelas, Bimo karena biasanya dia yang memimpin doa pagi dan pulang sekolah. Selesai berdoa dan mengucapkan salam ternyata Pak Bambang memperkenalkan seorang mahasiswa yang akan membantunya mengajar Matematika. Mereka berasal dari UNY yang sedang mengambil jadwal PPL atau kepanjangan dari Praktik Pengalaman Lapangan. Artinya mereka semua adalah mahasiswa semester akhir. Ternyata yang akan membantu mengajar adalah seorang cowok. "Silakan memperkenalkan diri, Pak," kata Pak Bambang pada mahasiswa yang mengekorinya tadi. "Nama saya Fahreza Ramadhan. Panggil saja Pak Reza. Mengajar Matematika, semoga kalian betah dan mohon bantuannya," kata Pak Reza. Aku melirik ke arah Rini yang tampak antusias. Sudah kutebak, dia pasti terpesona pada guru ini. Wajahnya menurutku biasa aja, masih ganteng dia yang menjadi idolaku. Jadi kangen kalau mengingat dia. "Sekarang gantian kalian yang memperkenalkan diri. Mulai dari Nana lalu ke kiri ya," kata Pak Bambang. "Nama saya Nirina Anjani," jawabku. "Yang lengkap Nana!" Pak Bambang memerintahku. "Asal kota, tanggal lahir, kelas, makanan kesukaan. Oh ya Nana ini murid paling rajin, bahkan hari Minggu pun berangkat ke sekolah," lanjut Pak Bambang sambil tertawa lebar. "Nama saya Nirina Anjani, dipanggil Nana, Asal kota rahasia, tanggal lahir rahasia, makanan kesukaan rahasia, dan masih banyak lagi rahasia tentang saya," jawabku menahan kesal karena ditertawakan seluruh penghuni kelas. Acara perkenalan akhirnya selesai, pelajaran Matematika dimulai oleh Pak Reza. Banyak kaum siswi yaitu mereka yang berjenis perempuan mencari perhatian dari Pak Reza. Aku tidak termasuk karena mungkin sudah berbeda jenis dengan mereka. Pak Reza menjelaskan tentang jarak, waktu, kecepatan. Materi tersebut sebenarnya ada dalam pelajaran Fisika. Matematika hanya aplikasi saja, dan biasanya menjadi aneh ketika dimasukkan dalam pelajaran Metematika. "Coba Nana, maju ke depan, kerjakan soal nomor lima!" Pak Reza memerintahkanku yang sedang asyik bengong melamun. "Rin, soal nomor lima apaan?" tanyaku setengah berbisik pada teman sebangkuku. "Di papan tulis soalnya tuh," jawab Rini sambil menunjukkan soal dengan menggunakan dagunya ke arah depan. Aku berjalan menuju soal yang di papan tulis. Soalnya mudah hanya jawabannya saja yang sulit. 'Rudi hari ini bepergian dengan menggunakan motor dari kota A ke kota B yang berjarak 60 Km. Setelahnya melanjutkan ke kota B dengan jarak 40 Km. Kembali pulang ke kota A. Waktu yang digunakan untuk menempuh perjalanan tersebut adalah 4 jam. Berapakah kecepatan rata-rata yang digunakan oleh motor Rudi?' Begitulah soal yang ada di papan tulis. Pak Reza tampak terseyum ke arahku, membuat siswi di kelasku histeris. Entah karena senyum yang mengerikan atau hal lain yang kurang ku pahami. Berpikir sejenak sebelum menuliskan jawaban dari soal tersebut. "Pak ini harus diubah dahulu ke meter atau boleh langsung?" tanyaku pada Pak Reza sebelum menuliskan jawaban. "Langsung saja, supaya saya bisa langsung melamar kamu," kelakarnya membuatku mencembikkan bibir. Tidak usah ditanya seperti apa ramainya kelasku, sudah pasti seperti pasar. Aku menuliskan jawabanku langsung tanpa menggunakan langkah seperti teman-teman yang lain. Pak Reza terheran-heran melihatnya. Sudah menjadi kebiasaan, jika aku pasti akan langsung menjawab tanpa menggunakan langkah seperti yang lainnya. "Kok langsung gitu? Harus pakai langkah dong Nana," kata Pak Reza. "Um ... itu ... anu ... saya sulit menuliskan langkah seperti teman-teman yang lain," jawabku pada akhirnya. "Ya sudah, saya bantu, jawabannya sudah benar tapi harus pakai langkah." Pak Reza dengan sabar mengajarkannya. "Pertama gambarlah segitiga sama kaki," lanjut beliau. Mataku mengerjap bingung, ujian macam apa menggambar segitiga sama kaki. Wah ... guru ini minta dijambak pakai lima belas pasang tangan orang dewasa. Sulit! Menggambar segitiga sama kaki bagiku sangat sulit. "Ayo, Nana, hampir istirahat lho ini, tinggal setengah jam lagi." Pak Reza membuyarkan lamunanku. "Maaf, Pak saya tidak bisa menggambarkannya. Saya bukan pemain sirkus!"sentakku membuat Pak Reza mengerjab bingung. "Menggambar segitiga sama tangan aja saya kadang masih salah. Nah ini Bapak meminta saya menggambar segitiga sama kaki. Tolonglah, Pak, yang manusiawi sedikit, saya bukan pemain sirkus!" Aku masih dalam tahap emosi sangat tinggi. Butuh waktu beberapa saat untuk Pak Reza paham. Teman-teman satu kelasku sudah ramai tertawa dengan ucapanku. Apa yang aku ucapkan benar adanya, menggambar segitiga sama kaki itu susah. Bayangkan kita menggambar segitiga menggunakan kaki. Itu adalah ujian terberat bagi hidup ini. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD