Part 4

1050 Words
Selesai pelajaran Metematika adalah hal paling menyenangkan bagiku. Tidak lagi tersiksa dengan hal-hal aneh yang membingungkan. Menghitung membuat otak mengebul panas berimbas pada perut yang mendadak keroncongan. "Na, kamu makan di kantin ga?" tanya Rini sambil membereskan beberapa perlengkapan sekolah miliknya. "Lah iya, biar siap mengahadapi pelajaran PKn nanti." Aku menjawabnya enteng. "Na, Pak Reza ganteng banget, mau aku pepetin. Siapa tahu bisa jadi pacar," ucap Rini yang tampak terpesona dengan guru PPL ajaib itu. "Ambillah," jawabku singkat. Kami berjalan berdua menuju kantin yang sudah ramai dengan siswa dan siswi yang kelaparan. Ada dia--gebetanku membuat hatiku tidak menentu. Berdebar tapi bukan karena lapar melainkan virus merah jambu. "Na ... pakabar?" Dia malah menyapaku membuatku salah tingkah saja. Untungnya tidak ada yang tahu jika diam-diam aku mengidolakannya. "Alhamdulilah baik, Gung," jawabku sekenanya menghindari berlama-lama dekat dengannya. Takut nanti jantung melompat keluar bisa pingsan semua teman-teman yang ada di sini. "Na ... makan bakso, yuk," ajak Rini karena dia penggemar berat bakso. "Aku mau makan nasi kuning, aja, deh, lapar berat," jawabku yang sebenarnya menghindari Arsa yang sedang makan bakso."Kamu nanti baksonya dibawa ke sana aja yang masih banyak tempat kosong," lanjutku yang diangguki oleh Rini. Aku mengambil dua bungkus nasi kuning dan empat buah sate telur puyuh. Minumnya aku membawa sendiri karena nanti ada pelajaran Olahraga jadi harus bawa air minum. Tempat duduk masih sepi hanya aku, sambil menunggu Rini datang aku membuka nasi kuning milikku. "Boleh duduk di sini?" Suara seseorang mengganggu kekhusukkan ritual makanku. Aku mendongak untuk melihat siapa yang datang ternyata Pak Reza dan teman-temannya. "Silakan," jawabku singkat sambil terus makan. Pak Reza sejak kedatangannya memikat banyak kaum hawa di sekolah ini. Rini salah satunya yang terang-terangan memuji ketampanannya. Pria dengan lesung pipi yang membuat senyumnya terlihat menawan. Fisiknya juga bagus, rambut lurus dipotong rapi, hidung bangir, kulit warna cokelat. Tatapan matanya yang bagaikan elang mampu membius para siswi di sekolah ini. Ramah dan humoris dua hal yang mampu membuat beliau menjadi idola dalam waktu dekat. Kedudukan Arsa sepertinya akan tergeser dengan hadirnya Pak Reza. Pasti dia akan merasa tersaingi oleh Pak Reza. Namun, setampan apa pun beliau, tetap Agung yang menjadi gebetanku. "Nana ... ya ampun, aku ketinggalan, deh, kamu udah mulai makan, dan aku baru datang." Rini datang dengan membawa bakso dan es teh manis. Dia sengaja duduk di depan Pak Reza, sudah jelas tujuannya." Na ... tadi Agung nanyain kamu," lanjutnya membuatku hampir tersedak. "Hah! Tanya apa?" ucapku sambil berusaha menelan nasi kuning yang terlanjur masuk tanpa permisi ke dalam kerongkongan. "Enggak sih, dia tanya kenapa kamu jarang datang main basket lagi," jelas Rini dengan mata menatap Pak Reza. "Lah, iya, aku sibuk, pulang sore mulu. Sabtu kadang capek jadi tidur siang sampe sore. Kelewat dah itu jadwal basket," jelasku dengan penuh semangat membara. Menyangkut gebetan harus tetap semangat. "Ish ... bilang sendiri sama Agung," jawab Rini. Aku menggerutu sebal, tahu begini tidak akan menjelaskan panjang lebar pada Rini. Gadis di sebelahku tampak mencari perhatian pada Pak Reza. Hal ini tidak luput dari pengamatan kakak kelas yang suka mem-bully. Pak Reza menanggapi Rini, mungkin hanya karena ingin terjalin keakraban antara guru dan murid. Aku siswa paling ajaib, jarang ada yang berani mem-bully. Mungkin saja mereka takut dengan keanehan yang akan terjadi jika mereka melakukan hal buruk padaku. Aku mengamati sekitar, ternyata Agung sedang mendekat ke arahku. "Na ... besok ada pertandingan basket putri melawan SMA 3, kamu bisa ikut?" tanyanya langsung padaku. "Kapan?" tanyaku untuk memastikan jadwalnya. "Kapan itu bukannya kain yang digunakan untuk orang yang meninggal ya?" sela Pak Reza membuat Rini tertawa. Aku bingung apa Rini paham dengan bercandanya Pak Reza atau sekadar tertawa saja mengikuti guru PPL yang lainnya. "Hari Minggu besok, kalau kamu bisa, aku daftarkan ke panitia untuk mewakili sekolah kita. Tenang aja, ada Santi, Lisa, Riani, Ika, Pita, Wida, dan masih beberapa lagi," jelas Agung. Aku mengangguk sebagai jawaban. Bercandanya Pak Reza sama sekali tidak kubalas, guru PPL lainnya saling bersahutan membuat lelucon. Tempat duduk kami menjadi ramai dan menjadi pusat perhatian sekumpulan tukang bully. Setelah Agung berlalu, aku melanjutkan makan nasi kuning yang masih tersisa satu bungkus. Pak Reza dan yang lainnya masih sibuk bercanda tawa dengan heboh. Rini terlihat sesekali tersipu ketika Pak Reza melempar candaan padanya. Agung adalah sosok yang sederhana walaupun dari keluarga kaya. Pria hitam manis berambut ikal dan bibir tipis berhasil memesona hati ini. Tak hanya itu, rupanya keberuntungan berpihak padaku. Rini dulu satu sekolah dengan Agung. Keduanya memang tidak begitu dekat, tapi aku bisa tahu banyak tentang Agung ketika gadis cantik dan anggun ini bercerita tentangnya. Rini tidak menyadari jika aku terpesona pada temannya itu. Hanya aku dan Tuhan yang tahu hal ini. Tidak ingin berkoar-koar tentang siapa idolaku, takut jadi bahan bullyan juga Agung menjauh. Kadang hanya melihat senyumnya saja sudah berhasil membuat d**a ini berdebar tidak karuan. Ah ... virus merah jambu memang aneh, kadang membuat tersipu malu kadang juga membuat d**a berdenyut nyeri saat melihatnya bercanda ria dengan siswi lainnya. "Aku duluan ya," pamitku pada semua orang setelah selesai makan nasi kuning. Mereka tampak bingung dengan aku yang mendadak pamit. Rasanya tidak nyaman diamati oleh senior yang kurang pekerjaan. Mereka sangat gemar menekan adik kelasnya. Merasa diri hebat dan bisa berkuasa. "Nirina!" Amelia salah satu dari mereka memanggilku dengan nada tak bersahabat. Selalu saja mencari gara-gara, bukannya tobat dan mempersiapan ujian kelulusan nanti. "Ya," jawabku singkat. Mereka mendekat ke arahku. "Udah merasa cantik ya?" tanya Amel sambil mencengkeram kerah bajuku. Aku menepisnya justru dia hendak menampar, untung saja tangan itu tidak sampai ke wajahku karena kutangkis dengan cepat. "Aku memang cantik, karena kodrat semua wanita itu cantik! Ada masalah?" "Wah songong nih, masih kelas satu sudah berani sama senior," kata teman Amel yang entah namanya siapa. Amel tampak gemas melihatku dia menjambak rambutku. Segera saja kutarik tangannya agar lepas dari ramputku. Aku mendorongnya ke arah tembok hingga dia terpental. Meringis kesakitan karena kepalanya membentur tembok. "Kalian jika masih berani melakukan bullying, maka satu per satu dari kalian akan masuk rumah sakit!" ancamku pada teman-teman Amel dengan nada marah. Mereka tampak ketakutan melihat pimpinan mereka telah kalah terlebih dahulu. Jam istirahat selesai, kali ini jadwalnya adalah PKn. Biasanya Bu Rusmi akan menjelaskan beberapa materi dan ada tugas menjawab pertanyaan harus dikumpulkan. "Nirina ... kamu harus ke ruang BK," kata Bu Rusmi saat memasuki kelas. Aku hanya mendesah pasrah saja. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD