Part 5

1116 Words
Aku sudah menduga, setelah ini pasti akan berurusan dengan guru BK--Pak Agus. Namun, itu wajar saja, jika dalam waktu satu minggu belum dipanggil guru BK artinya hidup ini tidak wajar. Biarlah, hadapi dengan senyuman dan omongan yang membuat beliau akan terkena pusing mendadak. Merindukan ruangan BK dan Pak Agus adalah kewajiban agar hidup tidak monoton. Apa kabar aku jika dalam seminggu tidak masuk ruangan BK sama sekali? Hidup rasanya tidak lengkap jika belum melihat beliau pusing mendadak. Bukan hanya itu, rindu camilan di maja Pak Agus yang sangat menggiurkan. "Na, tadi kenapa jambak-jambakan sama Amelia?" Rini bertanya padaku, sayangnya aku enggan menjawabnya. Rini hanya mendesah pelan melihatku diam tanpa menjawab pertanyaannya. Teman sebangkuku ini sangat khawatir jika sampai ada kasus dan harus masuk ruang BK. Entah mengapa khawatir, toh diri ini jika keluar dari ruang BK selalu baik-baik saja dan kenyang. Justru Pak Agus yang dalam keadaan tidak baik setelah memanggilku. Aku berjalan menuruni tangga sekolah menuju ke ruang BK. Takut jika terlalu lama Pak Agus tambah kangen untuk segera ribut. Banyak guru yang mencibirku, tapi abaikan saja. Mereka selalu seperti itu padaku. "Assalamualaikum," salamku saat memasuki ruang guru BK."Bapak merindukan saya?" tanyaku pada Pak Agus yang sedang duduk dengan wajah jeleknya. Muka Pak Agus sepertinya akan marah, terlihat dari rahang yang mengeras. Namun, aku berusaha untuk tenang. Sebab, jika ikut terpancing sudah pasti akan mendapatkan hukuman. Hukuman dari Pak Agus kadang tidak masuk akal sehat. Bukan tanpa alasan beliau seperti itu, mungkin saja akalnya berubah menjadi tidak sehat setelah menghadapiku. "Duduk!" titah beliau tanpa menjawab salam dariku. Aku duduk di kursi yang ada depan meja beliau, baru aku sadar ternyata ada sesosok makhluk bernama Amelia. Dia tampak pucat dan dahinya berdarah. Plester di kepalanya menunjukkan jika dia terluka saat baku hantam denganku tadi. Dia yang mulai tapi kenapa dia yang babak belur? "Tahu apa salahmu hari ini?" tanya Pak Agus padaku dengan wajah menahan amarah. "Wah ... justru itu saya juga heran mengapa dipanggil ke sini. Sebab, saya merasa tidak punya kesalahan sama sekali." Aku menjawab dengan wajah tanpa dosa sama sekali. "Kamu kenapa mendorong Amelia hingga dia celaka?!" Pak Agus semakin marah. " Selalu saja membuat onar dan menjadi biang kerusuhan!" bentak Pak Agus untuk membuatku takut. Sayangnya justru aku malah ingi tertawa tapi tertahan karena waktu yang kurang tepat. "Pak, dia yang mulai!" Aku tak mau kalah galak dengan Pak Agus."Dia yang menjambak saya duluan. Coba cek CCTV pasti terekam jelas siapa yang memulai duluan." Perkataanku sukses membuat Amelia pucat seketika. "Saya curiga ya Pak, Bapak ada pacaran dengan pem-bully ini!" tuduhku dengan nada mengintimidasi. "Nirina!" bentak Pak Agus. Nada beliau sudah naik satu oktaf lebih tinggi walaupun masih sumbang alias falls. "Ya, Pak, ga usah teriak-teriak Pak, nanti otot di leher putus malah repot," jawabku mengingatkan beliau. "Kamu harus minta maaf pada Amelia! Biar bagaimanapun kamu penyebab dia celaka!" bentak Pak Agus. Enak saja mengatakan aku penyebab celaka. Lihat saja aku buat Pak Agus dan Amelia jera seketika. Pintu ruang BK diketuk seseorang. Ternyata Mas Nano mengantarkan minuman untuk Pak Agus. Ada camilan juga, pisang goreng, arem-arem dan tempe mendoan. Sangat menggiurkan untuk dicicipi oleh mulut ini. "Pak, salah dia sendiri kenapa pake acara kejedot tembok. Tadi waktu saya dijambak, hanya membela diri. Mana saya tahu kalo dia kelempar dan kena tembok. Makanya ya, kalo istirahat itu makan, jangan sibuk mantau orang lain. Jadi gini 'kan badan seringan kapas gitu aja langsung jatuh." Aku mengucapkannya sambil mengambil teh milik Pak Agus untuk kuminum. "Itu teh saya Nirina," kata Pak Agus menyadari teh miliknya berpindah ke mulutku. "Saya haus, Pak, menjelaskan panjang lebar tapi kalian sepertinya ga paham. Lagian ya Amelia itu kurang makan makanya selain ringan jadi b**o, masa saya kelas dua dibilang kelas satu," ucapku sambil mengembalikan gelas yang telah kosong. "Saya itu heran lho ya, kok bisa kamu cewek kelakuannya bar-bar seperti ini. Saya sampai pusing setiap saat menghadapi kamu Nirina," ucap Pak Agus sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangannya. "Jangan sering heran, Pak, bahaya. Takutnya ya ketika Bapak heran pada saya malah terjadi hal yang aneh. Seperti misalnya tersedak sandal jepit begitu." Aku menjawab dengan bahagia. "Sudah, ya, Pak, saya mau kembali ke kelas dulu. Buang-buang waktu saja di sini," lanjutku sambil berjalan keluar dari ruang BK. Saat di ruang guru, aku berpapasan dengan Pak Rama--wali kelasku. Beliau sepertinya sedang tidak mengajar karena berada di ruang guru. Menyunggingkan senyuman dan dibalas oleh beliau. Aku membalas senyum beliau dengan ramah. "Darimana?" tanya Pak Rama padaku . "Biasa, Pak, itu guru BK kangen sama saya." Aku menjawab dengan santai. "Rekaman CCTV menunjukkan kamu tidak salah. Tenang saja, saya akan membelamu sebagai wali kelas." Beliau mengucapkan dengan mantap membuatku terharu. Beliau satu-satunya guru yang selalu berprasangka baik terhadap siswa dan siswi. Tidak pernah sedikit pun beliau marah atau bahkan menggunakan nada tinggi saat menegur siswa dan siswi. Banyak yang menyukai beliau, terlebih saat istrinya menggundang makan di rumah. Pak Rama memahami jika anak indekos itu kadang kekurangan. Aku berjalan menuju kelasku yang sedang berlangsung pelajaran PKn. Tangan ini justru lancang mengetuk pintu seharusnya tadi ke kantin atau UKS untuk istirahat tambahan. Bu Rusmi membukakan pintu untukku. "Tumben sebentar di ruang BK? tanya beliau. "Biasanya bisa berjam-jam betah di sana," sindirnya padaku dengan nada sinis. "Woh, kali spesial Bu," jawabku sambil berjalan menuju bangkuku. "Rin disuruh apa?" tanyaku pada Rini dengan nada setengah berbisik. "Ga ada, malah ngomongin kamu tadi. Ini aja baru mulai mau bahas soal hukum dan apa gitu, lupa aku." jawab Rini. Ternyata diam-diam Bu Rusmi membicarakan aku. Baiklah lihat saja nanti akan kuberi pertanyaan yang membuatnya sakit kepala. Kali ini beliau menjelaskan mengenai hukum untuk tindak pidana mencemarkan nama baik. Nanti akan bertanya perihal hukum juga supaya jera Bu Rusmi. Bu Rusmi menjelaskan materi dengan tenang. Terlihat dari pembawaannya yang seperti biasanya. Mungkin juga karena sudah hafal materi PKn. Aku memperhatikan dan sempat mencatat beberapa materi yang beliau sampaikan. "Sampai di sini ada pertanyaan?" tanya Bu Rusmi sebelum mengakhiri pelajaran hari ini. Aku mengangkat tangan untuk bertanya. Kali ini apa jawaban yang akan beliau katakan. Aku sangat senang ketika beliau bingung. Seenaknya saja membicarakan dibelakangku tanpa tahu masalahnya. "Silakan Nana," ucap beliau sambil tersenyum menghina. "Berapa tahun hukuman untuk orang yang mencemarkan nama baik dan berbuat tidak menyenangkan pada orang lain?" tanyaku dengan nada serius. "Lima tahun penjara maksimal," jawab beliau dengan cepat. "Artinya jika saya melaporkan perbuatan Ibu membicarakan saya di depan kelas tadi juga akan dihukum 'kan?" Perkataanku sukses membuat wajah putih beliau menjadi pias seketika dan bingung hendak menjawab apa. Supaya beliau juga sadar dan menyadari jika menggunjing orang lain dibelakang itu adalah perbuatan yang tidak baik. Akan banyak siswa dan siswi yang menyontoh perbuatannya. Jika dibiarkan hal ini akan berkembang dan menjadi kebiasaan buruk. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD