Part 6

1090 Words
Kecenderungan manusia ketika berbuat salah akan pucat ketika kesalahannya diketahui orang lain. Aku sebenarnya hanya iseng saja bertanya pada Bu Rusmi. Namun, beliau justru menunjukkan kesalahannya sendiri. Tidak tahu kenapa hari ini justru ingin membuat guru PKn ini jera. Sebelumnya tidak pernah sedikit pun aku menanggapi setiap ucapannya. Jangankan menanggapi ucapan beliau, memerhatikan setiap jam pelajarannya pun malas. "Jadi, gimana Bu? Apa jawabannya?" Aku mengulang pertanyaan lagi. "Hmm ... justru ini yang akan buat PR kalian semua. Tulislah jawaban kalian pada selembar kertas beserta ringkasan bab selanjutnya!" ucap beliau sebelum mengakhiri pelajaran PKn. Ternyata Bu Rusmi cerdik, aku tidak boleh lengah sedikit pun. Sejak kelas satu jika ada pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh beliau, maka akan dijadikan PR. Tidak hanya itu, pasti akan keluar menjadi soal jika mengadakan ulangan. Awalnya meremehkan perihal PR tapi selanjutnya menjadi jera. Soal itu akan benar-benar keluar saat ulangan. "Na ... besok tagihin uang kas anak-anak, ya! Belum pada bayar uang iuran bulan ini," kata Bimo sambil menyodorkan kertas berisi daftar anak-anak yang belum membayar uang iuran kelas. "Lah, aku 'kan bendahara dua, ya. Nila ke mana?!" tanyaku sengit. Bukan masalah siapa yang kerja dan tidak kerja. Hanya saja kadang Nila itu seenaknya sendiri. Bimo-ketua kelas sering menutup kekurangan jika ada foto copy mendadak. Nila sulit diajak kerja sama, mungkin karena dia adalah kebanggan guru-guru dan merasa paling pintar. Melupakan tugas menjadi seorang bendahara. Enak saja! "Dia ikut olimpiade Fisika, jadi tugas nagih dikasih ke aku. Ga berani ngomong langsung sama kamu." Bimo sedikit gelisah ketika mengatakan hal ini. "Dia ga enak aja, pernah bikin kamu marah pas ada rapat bulan lalu," lanjutnya. "Padahal aku biasa aja, udah berlalu juga rapatnya. Rapat tentang apa juga udah lupa," jawabku ringan tanpa beban. Lagi pula apa faedahnya memikirkan rapat. Bimo tampak bingung dengan jawabanku. Mungkin selama ini dia mengira aku sosok galak. Padahal memang galak dan ajaib. Banyak yang menjadi korban keajaibanku. Mereka adalah orang yang lebih ajaib, makanya bisa menjadi korban keajaiban diri ini. "Na, ntar makan bakwan malang, yuk!" ajak Fajar padaku. "Ogah," jawabku singkat. Bukan menolak rezeki, tapi berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang pernah terjadi, saat Fajar mengajak makan, pasti aku yang bayar. Sering kali dia seperti itu hingga semua teman kadang malas. Aku baru menyadari Rini sedari tadi diam dan tampak tiduran dengan tangan menjadi alasnya. "Rin, ke kantin, yuk!" ajakku pada Rini sambil menggoyangkan tangannya. Sayangnya Rini sama sekali tidak merespon. Panik merajai pikiranku mengingat dia mempunyai riwayat penyakit asma. Mungkin saja kambuh dan pingsan saat pelajaran PKn tadi. Aku mengambil ponsel dan menghubungi petugas. "Halo, maaf bisa datang ke SMA PANDU," ucapku pada petugas. "Baik, Mbak. Kebakaran di gedung sebelah mana?" tanya petugas tersebut membuatku heran. Aku menjauhkan ponselku dan melihat nomor yang kuhubungi. "Maaf, Pak. Salah sambung," putusku seketika. Terlalu panik membuatku salah menghubungi petugas Pemadam Kebakaran. Begitulah penyakitku jika panik. Bimo, Fajar, Lia, dan teman-teman satu kelas lainnya tak kalah panik. Takut hal buruk terjadi pada Rini. "Berisik banget, sih! Aku lagi mimpi makan sama Pak Reza. Kalian ganggu aja! Kamu Nirina, suaramu kaya petasan banting!" ucapnya tanpa dosa. Satu kelas melongo, ternyata Rini tertidur bukan pingsan. Ini aku yang terlalu panik atau dia yang seperti kerbau saat tidur? Heran bisa-bisanya tidur seperti orang pingsan. Jantung ini berdetak lebih cepat saat memikirkan penyakit gadis yang bangun tidur tanpa dosa. "Heh! Aku panik! Sampai salah menghubungi petugas lagi. Aku pikir petugas kesehatan yang biasanya bawa ambulans ke sekolah, ternyata petugas Pemadam Kebakaran!" Aku mengucapkannya dengan penuh emosi. Teman satu kelasku terdiam beberapa saat, setelahnya tertawa sampai ada yang mengeluarkan air mata. Heran apa yang lucu sampe kelas ini seperti pasar. Aku menceritakan hal buruk yang baru saja menimpaku seolah menjadi hiburan tersendiri untuk mereka. Inikah persahabatan yang baik? Jadi ragu untuk menjawabnya. "Astaga! Separah ini kegilaanmu? Pantas saja ga ada yang naksir kamu, Na," ucap Bimo sambil berderai tawa. "Sembarangan kamu! Lihat aja, besok pasti kamu naksir aku!" ketusku pada Bimo yang sibuk tertawa. "Kalau di dunia cuman ada kamu, aku pilih jomlo dari pada ikut gila," balasnya membuatku ingin mencekik pria berkulit sawo matang menuju busuk. Kelasku sangat ramai hingga menggundang beberapa guru datang. Mereka terganggu dengan suara tawa dari kelas ini. Ada Pak Reza, Pak Adi, dan Pak Agus yang bertugas menggantikan guru Bahasa Indonesia yang sedang bertugas ke luar sekolah. "Ada apa ini?" tanya Pak Adi membuat seisi kelas terdiam seketika. Pak Adi adalah Wakil Kepala Sekolah bagian Kesiswaan. Tugasnya hampir mirip guru BK yaitu menasihati siswa sepertiku. Namun, belum sekali pun beliau memanggilku ke ruangannya. Mungkin saja takut pada akhirnya mendadak sakit kepala. "Bimo!" bentak Pak Adi. "Um ... A-anu ... Pak, Nirina yang ajaib ini membuat kami tertawa." Seenaknya saja Bimo menuduhku! "Nirina, tolong ceritakan apa yang terjadi!" perintah Pak Adi dengan nada tegas. "Lah, apa, sih, Pak, mereka aja yang berlebihan saat saya sedang apes. Kayaknya mereka bahagia kalo saya apes. Jadi ya, Pak, saya pikir Rini pingsan. Paniklah saya, nah saya sampe salah telepon petugas Pemadam Kebakaran harusnya petugas ambulans. Entah apa yang membuat mereka tertawa?" Aku menceritakan dengan penuh kebingungan. Sebab, apa yang lucu ketika salah menghubungi petugas. Aku mendongak dan melihat sekeliling, teman-temanku masih menahan tawa. Bahkan Pak Reza dan Pak Agus tertawa sambil menutup mulutnya. Hanya Pak Adi yang tampak takjub dengan ceritaku. Aku mengamati ketiga guru tersebut, mereka tampak ingin terbahak. Heran saja apa yang salah dengan cerita ini. Memang kenyataannya ketika panik jadi sering salah melakukan apa pun. Mengapa justru mereka malah tertawa? Membuatku bertanya-tanya saja tentang apa yang akan mereka tertawakan. "Kamu kalau makan sendoknya jangan ditelan. Itu yang menyebabkan salah menghubungi petugas." Pak Adi mengucapkannya dengan senyum lebar. "Siap, Pak! Tenang saja, kalo soal makan masih aman," jawabku tanpa mencerna ucapan Pak Adi. Pak Adi menggeleng, beliau tampak seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan. Aku bingung dengan pesan beliau. Maksudnya apa, dan mengapa membahas tentang makanan? Apakah ada hubungan antara makanan dan salah menghubungi petugas? Hanya Pak Adi saja yang tahu. Seisi kelasku tertawa terbahak-bahak. Bahkan Rini sampai mengeluarkan air mata. Hanya aku yang terlihat seperti orang bingung. Pak Reza tampak terpingkal-pingkal hingga wajahnya memerah. Pak Reza melihatku dengan pandangan yang sangat aneh. Sepertinya beliau takjub dengan salah satu keajaiban yang terjadi karena ulah diri ini. Namun, sudahlah tidak usah dipikirkan terlalu dalam. Kekonyolan akan selalu terjadi jika sedang panik, jadi harap maklum. Kelas ini ramai seperti pasar. Pasar yang menyediakan humor kelas teri hingga kelas kakap. Justru bukan diam, malah semakin gaduh. Teman-teman sibuk bercanda tawa sesuka hati mereka. Tidak memedulikan kelas yang berada di sebelah. Semoga saja kelas yang lain tidak terganggu. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD