Part 7

1082 Words
Seisi kelas masih sibuk tertawa tidak jelas. Aku memutuskan untuk pergi ke kantin walaupun sebentar lagi jam istirahat kedua. Rasanya perutku lapar, mungkin saja karena lelah pikiran setelah dipanggil guru BK dan mengikuti pelajaran PKn. Kelasku berada di lantai dua, lumayan panjang saat menuruni tangga. Jika tidak hati-hati bisa jatuh. Kantin sekolah letaknya di sebelah timur dari kelas. Banyak siswa yang malas untuk datang ke kantin karena jauh. Sial! Lihatlah di depan sana, ada Amelia dan Arsa. Mereka berdua tampak berdebat, tapi entahlah apa yang diperdebatkan. Bagiku kedua orang tersebut sangat aneh. Mereka akhirnya menyadari kedatanganku. Kesadaran yang seolah dipaksakan oleh keduanya. Namun, baguslah jika mereka sadar artinya tidak pingsan. Bahaya jika kedua makhluk itu pingsan, obatnya mahal. Satu obat supaya tidak mem-bully satunya lagi obat supaya waras. "Nana ... udah istirahat?" tanya Arsa tampak berbasa-basi tidak jelas. "Belum," jawabku singkat karena malas melihat Amelia. "Trus ngapain ke kantin kalo belum istirahat?" Arsa seolah memberikan perhatian yang membuatku mual. Dia bertanya tujuan ke kantin untuk apa? Aneh sekali, sementara pria sok ganteng ini juga berada di kantin yang sama denganku. Pertanyaan yang mengada-ada. Membuatku malas untuk makan, hilang sudah mafsu untuk makan siang di kantin. "Kamu sendiri ngapain ke kantin?" Sengaja aku membalikkan pertanyaan untuknya. Melihat ekspresinya sepertinya cowok di depanku ini sangat terkejut. Aku meninggalkan mereka berdua. Arsa tampak bingung dengan kepergianku. Ada beberapa bangku kosong di depan musala, aku menuju ke sana untuk menunggu Rini turun. Mungkin saja dia akan salat Duhur sebelum istirahat kedua. Bel istirahat kedua berbunyi dengan nyaring. Siswa dan siswi kelas satu hingga kelas tiga berhamburan keluar kelas menuju kantin. Banyak juga yang menuju ke musala. Mereka menunaikan ibadah salat Duhur. Aku sedang libur karena berhalangan. Istirahat kedua waktunya empat puluh lima menit. Lebih panjang dibandingkan dengan istirahat pertama yang hanya tiga puluh menit. Hal ini bertujuan agar siswa dan siswi dapat menunaikan salat Duhur dan sejenak beristirahat makan siang atau bisa pulang ke tempat indekos. "Na ... keren deh kamu, Amelia sampe babak belur gitu," kata salah satu kakak kelasku bernama Indah. Aku hanya membalasnya dengan senyuman. "Sesekali emang dia harus diberi pelajaran supaya tidak sok. Mentang-mentang keponakan Pak Agus makanya belagu," lanjutnya. Aku baru tahu hubungan kedua manusia ajaib itu ternyata paman dan keponakan. Pantas saja kelakuan sama-sama aneh. Akhirnya terjawab sudah hubungan kedua manusia itu. Apa aku saja yang baru tahu atau memang dirahasiakan? Seulas senyum terbit di wajahku, jika dipikir-pikir Amelia dan Pak Agus memang ada kemiripan. Cewek kurus kering seperti kurang makan itu adalah Pak Agus versi perempuan. Hampir saja aku terbahak jika memikirkannya, hingga Rini mengagetkan lamunanku. "Na, makan di tempat Bu Parni aja ya, deket indekosku itu?" Suara Rini mengagetkanku yang sedang sibuk melamun. "Iya, buruan salat, aku dah lapar," kataku pada Rini. Dia hanya memberikan jawaban dengan tangan seolah sedang hormat. Memangnya aku tiang bendera apa sampai harus diberikan penghormatan. Lima belas menit menunggu Rini membuat perutku berdisko menagih jatah. Lapar! Rini datang dan segera menggunakan sepatunya. Kami berjalan beriringan bersama dengan yang lainnya. Banyak teman-teman yang membahas tentang remedial sejarah yang akan dilakukan pada hari Kamis besok. Sudah pasti aku akan ikut remedial pelajaran Sejarah. Jangan lupakan diri ini adalah ketua panitia remedial semua mata pelajaran. Bu guru sejarah yang bernama Lusiana yang mengangkatku menjadi ketua. Hebat! padahal aku berat, tapi beliau kuat mengangkatnya. "Lihat pengumuman nilainya di mana?" tanyaku pada salah satu dari mereka. "Nah, kamu Na, siap-siap aja remedial. 'Kan kamu ketua panitia remedial setiap pelajaran," jawab salah satu dari mereka. Ika, salah satu cewek jika bicara mulutnya tidak ada saringannya. Aku mengehela napas panjang, untung saja sedang tidak ingin makan orang melainkan ingin makan nasi. Jika emosi sudah di ubun-ubun, Ika akan bernasib sama seperti Amelia. "Jangan salah lho ya, Nana nilai ulangan Matematika kemarin itu seratus lho. Pak Bambang yang cerita di kelasku tadi siang," kata Jenny salah satu warga kelas 2B. Aku sangat terkejut, baru kali ini dapat nilai tertinggi. Bukan bodoh, hanya saja kadang malas belajar. Sebenarnya Matematika itu mudah. Rumusnya sudah ada hanya tinggal memasukkan angka yang tertera pada soal. Tidak ada yang menjawab tentang pengumuman remedial pelajaran Sejarah, justru mendapatkan informasi lain. Informasi yang sangat langka dan baru sekali terjadi dalam hidupku. Nilai tertinggi ulangan Matematika. "Ini beneran?" tanyaku tidak percaya pada Jenny. "Beneran kok, hebat kamu, keren banget. Nila aja cuma dapat delapan puluh lima," jawab Jenny dengan penuh semangat. Bahagia dan terkejut saat mendengar berita ini. Bukan tanpa sebab, jika tidak remedial nilaiku pasti di ambang batas minimal untuk raport. Nilai terbaikku ulangan Matematika dari kelas satu hingga kelas dua adalah delapan puluh satu. Selebihnya berkisar antara enam puluh lima hingga tujuh puluh delapan. Semesta jika ini adalah mimpi tolong jangan bangunkan. Pertama kali mendapatkan nilai seratus dan mengalahkan Nila itu rasanya membuat hati menjadi berdebar. Namun, tidak boleh sombong atau terlalu percaya pada Jenny, tidak tahu jika besok saat pelajaran Matematika justru sebaliknya yang terjadi. Tidak ada lagi obrolan pembahasan tentang nilai ataupun remedial pelajaran Sejarah. Kami semua bergegas menuju warung Bu Parni. Jam istirahat sudah hampir habis, sekitar dua puluh menit lagi. Warung Bu Parni ramai dengan pembeli yang sebagian besar adalah siswa dan siswi di sekolahku. "Nana makan di sini juga?" tanya Pak Reza ketika kami sampai di warung Bu Parni. Aku mengangguk sebagai jawaban dan penghormatan pada beliau. Aku malas meladeninya, Rini tampak mencari perhatian Pak Reza. Aku hanya menghela napas panjang. Takut jika napas pendek dikira sakit asma. Teman sebangkuku sangat antusias, bahkan memesan nasi sama persis dengan Pak Reza. "Na ... buruan! Lapar tadi katanya," ucap Rini saat sudah duduk tepat di depan Pak Reza dan beberapa guru PPL yang lainnya. Pak Reza dan beberapa guru lainnya tampak melihat ke arahku. Panggilan dari Rini membuat mereka mengalihkan pandangan. Semoga saja mereka tidak tersedak sendok saat makan dan melihatku. "Bentar," jawabku seadanya sambil mencari tempat duduk yang kosong. Sayangnya tempat duduk yang kosong tinggal di dekat Agung dan teman-teman satu kelasnya. Kalau begini namanya jantung berolahraga sebelum pelajaran Olahaga dimulai. Belum duduk di sana saja sudah grogi seperti ini. Lancangnya kaki ini justru melangkah menuju tempat duduk itu. Perut yang menagih jatah lengkap sudah dengan debaran d**a ini. Virus merah jambu yang melanda memang sangat dasyat. Aku bahkan menjadi salah tingkah. Beruntung Agung dan teman-temannya tidak menyadarinya. Mereka tetap fokus pada makanan masing-masing. Aku pun berusaha tenang saat makan. Jangan sampai tersedak atau melakukan tindakan yang konyol di depan idola. Bahaya, bisa turun pamor jika mendadak aku bertingkah konyol di depan Agung. Sosok idola yang membuat d**a ini berdebar tidak jelas. Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD