Part 8

1086 Words
Bukan terpaksa duduk bersama dengan Agung dan teman-teman satu kelasnya. Hanya saja bangku kosong yang tersedia hanya tinggal itu saja. Rini tampak melotot saat aku tidak duduk di dekatnya. Semua mata memandang ke arahku, tak mengapa daripada harus berdempetan duduk dan tidak nyaman lebih baik mencari bangku kosong. Aku melirik sekilas siapa saja yang duduk dekat Agung. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak basket yang sudah kukenal baik. Mereka tak akan peduli dengan hal remeh temeh seperti gosip. Fokus mereka adalah basket atau acara bola lainnya. Ada beberapa cewek, mereka juga pendiam fokus pada makanan yang ada di depannya. Aman jika duduk di sini. Masalahnya satu, Agung adalah gebetanku, itu yang membuat aku tidak aman. Jantung sibuk berdisko berlomba dengan perut yang juga berdisko. "Na ... kamu hebat deh, Matematika dapat seratus," puji salah satu teman kelas Agung. Aku menghela napas panjang, sebelum menjawabnya. Sebab, tidak begitu dekat dengan teman gebetanku itu. Agung hanya melirikku sekilas. Pandangan matanya tertuju pada Rini yang sedang sibuk bercanda dengan guru PPL terutama Pak Reza. "Belum tahu, aku soal itu, Pak Bambang 'kan belum bagi kertas ulangannya. Pengajarnya juga masih guru PPL." Aku mengucapkan hal yang sebenarnya. Pak Bambang belum membagikan hasil ulangan tempo lalu jadi masih ada kemungkinan salah. Tidak boleh berbangga dan tinggi hati dahulu. Bisa jadi semua itu hanya lelucon yang dibuat oleh Pak Bambang. Sekilas, Agung yang berada di depanku mengalihkan pandangan dan memperhatikanku. d**a ini rasanya tambah berdebar kencang. Mungkin pipi ini akan merona, untung saja memang jika panas pipi ini akan merona tanpa pemerah pipi. Merah muda alami jadi tidak akan ada yang curiga jika pipi merona karena malu dan tersipu. "Kamu tuh sukanya merendah, Na, Pak Bambang yang cerita sendiri, tadi di kelas waktu pelajaran beliau," kata Agung menimpali. Aku hanya terdiam bingung hendak menjawab apa. Agung, gebetanku sibuk membahas agenda pertandingan basket yang akan diadakan besok Minggu. Aku salah satu peserta yang mengikutinya. Agung terkenal tidak suka basa-basi. Baginya pembicaraan harus langsung intinya. Bedanya denganku adalah jika pembicaraan basi, sebelumnya harus di hangatkan agar tidak jadi basi. Terdengar aneh dan ajaib mungkin bagi yang mendengarnya, tapi itulah diri ini dengan segala keunikannya. "Na, Kamis siang latihan basket ya, habis kamu remedial Sejarah besok." Agung mengucapkannya dengan nada tegas."Jangan lupa pakai sepatu basket jangan sepatu pantofel ya," lanjutnya sambil tersenyum. Baru aku ingat ternyata hari Kamis ada latihan basket. Padahal sudah ada di pengumuman tempo hari. Otakku kadang tidak bisa diajak kerja sama dengan baik. Selalu saja melenceng dan membuat orang du sekitarnya pusing. Aku mencatat apa yang dikatakan Agung saat hendak membayar makananku. Menggunakan selembar kertas minyak yang ada di meja kasir. Langsung ambil aja tanpa izin. Takut lupa jika tidak segera mencatat apa yang dipesan Agung. Jam istirahat akhirnya selesai, jam pelajaran Olahraga setelahnya. Kali ini topiknya adalah kasti. Aku tidak begitu suka dengan permainan satu ini. Sebab, jika terkena lemparan bola sakit pada bagian tubuh tertentu. Terlebih harus menghadapi ucapan yang keluar dari mulut Bu Sari, guru Pelajaran Olahraga. Beliau sangat sinis terhadapku juga siswi lainnya. Berbeda jika dengan siswa pria, akan menjadi ramah. Sungguh guru yang sangat ajaib. Mungkin saja mengalahkan keajaiban yang ada di dunia ini. "Nirina tumben ikut Olahraga?" tanya Bu Sari dengan nada yang sedikit ajaib. "Biasanya malas-malasan dan banyak alasan," cibirnya dengan nada sinis. "Justru itu, Bu, ini hal langka. Makanya saya ikut Olahraga," jawabku mantap."Lagian Ibu kenapa sih ga suka banget kalo saya ikut pelajaran Olahraga?" tanyaku dengan nada bercanda. "Bukan tidak suka, hanya saja saya heran tiba-tiba kamu ikut pelajaran saya," katanya dengan wajah yang memang heran. Ingat, Bu Sari tidak punya wajah yang lain, hanya wajah heran yang beliau tampakkan. "Jangan sering heran, Bu, kemarin ada orang suka banget heran, eh ga tahunya dia kelilipan biji durian. 'Kan kasihan, Bu," jawabku sesantai mungkin. Teman-teman sekelasku tersenyum mendengar jawaban dariku. Memang sesekali jika ada guru yang ajaib, kita harus lebih ajaib. Seimbang itu menyenangkan karena tidak berat sebelah. Jadi, jawablah sesuai pertanyaan dari guru. "Kalo ngomong sama kamu itu bikin sakit kepala. Mending ngomong sama tembok." Bu Sari mengucapkannya dengan nada hendak marah. "Lah, hebat dong, ngobrol sama tembok. Jarang orang bisa lho, kalo boleh bagi resepnya, Bu, supaya saya bisa mengikuti jejak Ibu," kataku sambil tertawa. Bu Sari tampak kesal, terlebih teman-teman satu kelas sudah tertawa lebar. Bahkan ada yang terpingkal-pingkal. Rini salah satunya, dia sampai memegangi perutnya. Heran saja dengan tingkah Rini, apa mungkin dia sedang sakit perut saat ini? Sungguh tidak bisa di duga penyakit bisa kapan saja datang. Kami semua berolahraga di lapangan milik sekolah kami. Panas dan banyak debu hal itu salah satu yang menyebabkan aku malas ikut pelajaran ini. Bukan tanpa sebab, alergi pada kulit ini yang membuat tidak bisa sering mengikuti pelajaran Olahraga jika di lapangan. Kulit ini sensitif pada debu, bisa gatal jika terkena debu. Satu-satunya jalan untuk mengurangi gatal adalah dengan menggunakan lotion khusus kulit sensitif. Sayangnya mahal harganya, jadi lebih baik tidak ikut pelajaran Olahraga. Bagiku naik dan menuruni tangga sekolah setiap hari sudah termasuk olahraga. "Anak-anak, hari ini kita permainan kasti. Bentuk jadi dua kelompok. Berhitung satu dan dua untuk menentukan kelompok!" Perintah Bu Sari kepada kami semua. Dari ujung sudah terlihat jika aku akan mendapatkan kelompok pertama dan harus berpisah dengan Rini. Tak masalah hanya saat Olahraga ini, selebihnya tidak. "Na ... kamu pukul bolanya yang bener! Biar kita ga jaga!" perintah Nila seolah paling paham dengan permainan kasti. Aku seperti lepas saat merasa bisa memukul bola kasti tersebut. Pos pertama menunggu kedatanganku. Di sana Bimo sedang berjaga sambil memantau bola yang datang. Sampai di pos tersebut justru Bimo berlari ke arah sebaliknya. "NIRINA! LIHAT INI KEPALA SAYA BENJOL TERKENA PEMUKUL KASTI!" Bu Sari berteriak sambil berjongkok memegangi pelipisnya yang konon terkena pemukul kasti. Aku bahkan tidak sadar jika pemukul ikut terlempar saat berhasil memukul bola tersebut hingga melambung tinggi. Rupanya pemukulnya juga ikut melambung dan mengenai Bu Sari. "Loh, Ibu kenapa?" tanyaku saat tiba di dekat beliau. "Kamu itu ya! Bolanya yang dipukul, kalo pemukulnya diletakkan aja di dekat bendera itu!" bentak Bu Sari padaku. "Lah, 'kan saya sudah benar Bu, pemukulnya saya tinggal," belaku tak terima. . "Maksudmu? Pemukulnya terbang sendiri ke pelipis saya gitu?!" Kali ini Bu Sari benar-benar marah. Siapa yang salah coba, mana aku tahu jika pemukulnya juga ikut melambung. Lagi pula, Bu Sari kenapa ada di dekat tempat memukul bola. Seharusnya cukup melihat dari pinggir lapangan saja. Pelajaran Olahraga yang aneh siang ini. Bu Sari terkena pemukul kasti dan aku yang disalahkan. Kalau dipikir-pikir, ya, salah Bu Sari, kenapa ada di tempat yang membuatnya celaka. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD