Part 9

1119 Words
Permainan kasti akhirnya dihentikan mendadak karena tragedi pemukul melayang ke pelipis Bu Sari. Aku masih tidak habis pikir, kenapa bisa terjadi hal seperti ini. Teman-teman satu kelas akhirnya mengantar Bu Sari ke UKS. Sepanjang perjalanan menuju UKS kami semua menjadi perhatian, terlebih Bu Sari. Bagaimana tidak menjadi perhatian sepanjang perjalanan hanya mengeluh sakit pada pelipisnya. Apa memang benar sakit, atau hanya pencitraan saja? Kadang Bu Sari harus dicurigai, wajahnya tidak pernah ganti. Hanya wajah heran saja yang beliau punya. "Loh ... kenapa Bu?" tanya Pak Rama pada Bu Sari yang sedang memegangi pelipisnya yang benjol. Seperti mempunyai kesempatan emas, Bu Sari segera memasanga wajah kesakitan. Tujuannya agar bisa mengadukan tingkahku pada wali kelas. Bahagia jika diri ini mendapat hukuman, tapi lihat saja nanti. Bu Sari kadang tampak meringis memperlihatkan gigi putihnya yang rapi. Kadang bingung, sedang sakit tapi masih sempat senyum begitu. "Tanya saja pada murid kesayangan, Bapak," kata Bu Sari sambil menunjuk ke arahku. Aku hanya diam saja hingga Pak Rama mendekat ke arahku. Banyak teman yang berbisik kemungkinan aku akan masuk ke BK lagi. Kalau itu jangan ditanyakan, sudah menjadi kegemaran. Suka sakit kepala kalau tidak masuk ruang BK dalam waktu seminggu. "Bisa dijelaskan Nana?" tanya Pak Rama padaku. Aku mengehela napas panjang-panjang agar tidak salah menceritakan. Takutnya bukan keprihatinan yang akan ditunjukkan oleh Pak Rama melainkan tawa berderai. Sebab, ini adalah kejadian langka ada pemukul terbang menuju pelipis Bu Sari. "Jadi begini ya, Pak, tadi itu main kasti di lapangan. Nah saya giliran pertama memukul bola. Seneng banget Pak, baru kali ini bisa pukul bola dan melambung. Nah, yang saya bingung kok bisa pemukulnya ikut melambung dan kena Bu Sari?" aduku pada Pak Rama. Lega rasanya bisa menceritakan hal yang sebenarnya terjadi. Bukan ingin mendapat pembelaan, tapi bagiku kejujuran adalah hal utama. Aku melihat sekitar, teman sekelasku tidak ada yang prihatin dengan kecelakaan yang menimpa Bu Sari. Mereka menahan tawa dan ada yang sudah telanjur tertawa. Pak Rama tampak menahan tawa, wajahnya memerah. Mungkin ingin terbahak tapi takut Bu Sari tersinggung. Teman-teman ada yang sebatas senyum dan ada juga yang sengaja ke belakang UKS untuk sekadar tertawa. "Mungkin tidak sengaja Bu Sari, kalo saya dengar ceritanya tadi," kata Pak Rama yang di dengar oleh semua orang yang ada di ruangan UKS. Nada bicara Pak Rama terdengar menahan tawa. Hal ini memicu kemarahan Bu Sari yang sedang sibuk mencari perhatian. Tujuannya supaya aku mendapat hukuman dari wali kelas. . "Sudahlah, Pak, pasti Bapak akan membela Nirina." Bu Sari mengakhiri pembicaraan dengan Pak Rama. Bu Sari tampak sangat kesal karena tidak mendapatkan apa yang diinginkan. Jelaslah, kesalahan bukan hanya ada padaku, ini murni kecelakaan. Apa ada seorang murid dengan sengaja melempar pemukul kasti pada gurunya? Rasanya tidak mungkin, Bu Sari saja yang sibuk berprasangka buruk. Aku masih bingung memikirkan pemukul yang ikut melambung rasanya aneh. Bahkan aku sendiri tidak merasakan kalau melemparkan pemukul kasti itu. Atau benar kata Bu Sari jika pemukulnya terbang sendiri? "Na ... kamu terlalu semangat makanya ikut kelempar tadi pemukulnya," bisik Rini padaku sambil menahan tawa. "Wajah Bu Sari lucu lho pas kena pemukul, harusnya direkam tadi buat kenang-kenangan," lanjut Rini dengan menahan tawa. Rini yang cantik dan jarang menertawakan kesialan yang menimpa orang lain, justru kali ini berbeda. Menyarankan untuk direkam sebagai kenang-kenangan. Kenangan apa? Kenangan indah bukan malah berpotensi membuat orang tertawa tanpa sebab. Aku tidak menanggapi ucapan Rini karena memang tidak melihat sendiri kejadiannya. Akhirnya kami diizinkan pulang cepat karena tragedi pemukul kasti. Bu Sari akhirnya pulang di antar menggunakan mobil milik sekolah. Luka di pelipisnya hanya memar saja. Aku dan teman-teman yang lainnya mengambil tas dan langsung bergegas pulang ke rumah atau tempat indekos masing-masing. Banyak teman yang membahas soal kecelakaan yang menimpa Bu Sari. Mereka tidak prihatin justru terbahak. "Lucu deh ekspresi wajah Bu Sari waktu tiba-tiba pemukul kastinya mampir ke pelipisnya," kata Vina salah satu teman sekelasku. "Wajah kagetnya tuh fenomenal banget," lanjutnya sambil terkikik membuatku tersenyum. Aku memerhatikan sekitar. Pak Reza sedang berjalan menuju kelas kami. Entah menuju kelas kami atau hendak menuju kelas lain. Fokus pada tas yang dan barang-barang yang sedang kukemasi. Beberapa peralatan menulis sudah masuk dalam tas. Tinggal baju seragam putih abu-abu, mungkin akan kubawa biasa saja dengan melipatnya. "Lho kalian mau kemana masih jam dua siang ini, belum waktunya pulang," tegur Pak Reza yang tiba-tiba saja muncul tanpa permisi membuat wajah Rini berbinar bahagia. Sebab, aku pikir tidak menuju kelas ini. "Pulang, Pak, habis olahraga tadi," jawab Rini bersemangat. "Oh ...," jawab Pak Reza singkat. "Nana, katamu di tempat indekosmu ada kamar yang masih kosong? Temanku mau lihat-lihat nanti malam." Pak Reza mengatakannya dengan tersenyum lebar. "Indekosku khusus putri. Bapak ga normal, ya, mau tinggal bareng perempuan." Aku menjawab tanpa berpikir karena sibuk memikirkan pemukul kasti. Pak Reza tersenyum mendengar jawaban yang asal keluar dari mulut ini. Seperti ada yang aneh dengan pertanyaan. Tempat indekosku anggotanya putri semua. Teman Pak Reza harusnya Indekos dengan beliau saja sama-sama laki-laki. Aneh sekali guru PPL satu ini. "Bukan saya yang mau tinggal di sana, tapi teman saya atau kamu berharap saya indekos bareng kamu?" tanyanya dengan nada menggodaku. "Ya ga pa-pa sih kalo punya harapan begitu, tapi mending aku lamar aja sekalian ke orang tuamu," katanya sambil terkekeh. Aku mengerjab mendengarkan ucapannya yang semakin ajaib. Harusnya tadi Pak Reza yang kena pemukul kasti, pasti otaknya akan waras. Aneh benar orang satu ini, rasanya pengen kubuat kapok. Memangnya siapa yang mau dilamar olehnya? Pertanyaannya apa jawabannya beda lagi. Sungguh aneh dan ajaib guru ini. Wajah Rini tampak cemberut, merasa diabaikan oleh Pak Reza. Beliau memang tidak melihat ke arah Rini. Membuat tidak enak hati dengan Rini. "Mohon maaf ya, Pak, biar pun saya jelek dan ga terkenal tapi ogah dah kalo dilamar Bapak," jawabku dengan nada kesal. Rini dan yang lain hanya memperhatikan perdebatan tidak berfaedah antara aku dan guru PPL ajaib ini. Setiap kali berbicara dengannya selalu saja kepalaku sakit memikirkan jawaban telak untuknya. Beliau sesalau saja pandai menjawab dan membalikkan keadaan. Sepertinya lebih baik berbicara dengan tembok. Namun, harus menunggu Bu Sari sembuh untuk mengajarkan caranya. Aku mempercepat langkah kaki menjauhi Pak Reza. Curiga padanya jangan sampai memang dia ingin satu indekos dengan perempuan karena merasa jiwanya perempuan. Menyeramkan sekali jika hal ini benar-benar terjadi. Artinya dia sedikit melamba-lambai dan itu mengerikan. Sepanjang perjalanan pulang menuju tempat indekos, otak ini mengingat Bu Sari. Sungguh malang nasibnya harus terkena pemukul kasti. Bukan salahku, salahkan saja beliau yang tidak hati-hati. Seharusnya saat pemukul terlempar ke arahnya itu menghindar, bukan menerimanya dengan bahagia. Akibatnya, dahi benjol dan aku yang disalahkan. Aneh benar ulah guru satu itu. Suka sekali menyalahkan muridnya. Tidak mengoreksi diri sendiri terlebih dahulu. Senyum menghias wajah ini, ketika melihat gerbang tempat indekosku sudah tampak dan terbuka. Harapan untuk merebahkan badan akan segera terlaksana. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD