Part 10

1003 Words
"Na, langsung balik indekos atau mau kemana?" Bimo menanyakan hal yang menurutku aneh. Mencurigakan! "Langsung balik mau istirahat," jawabku tanpa melihat mereka. Masih berpikir tentang teman Pak Reza yang hendak indekos di tempat yang sama denganku. Rasanya aneh dan tidak wajar. Terlihat seperti dipaksakan, dan tidak jelas tujuannya apa. Entahlah, mengapa harus tempat indekosku yang dituju. Padahal banyak tempat indekos yang dekat dengan sekolah. Fajar dan Bimo mengikutiku sampe tempat indekos. Alasannya ingin main, padahal sebenarnya mereka ingin menumpang minum es batu campur sirup yang disediakan gratis oleh pemilik indekos. Berjalan bertiga membuat banyak pasang mata heran dengan tingkah kami. "Jar ... jalannya jangan gitu dong," pintaku karena sedari tadi Fajar suka jalan dengan arah zig-zag. Cara berjalan Fajar sangat mengundang banyak pasang mata untuk menatap kami bertiga. Rasanya aneh dan membahayakan pengguna jalan lain. Tingkah pria ajaib yang mengaku menjadi sahabatku ini memang kadang di luar akal sehat. Beruntung aku masih berakal sehat hingga detik ini. "Lagi sambil ngehafal senam Poco-Poco. Besok Minggu mau ikut lomba mewakili sekolah." Fajar memberikan alasan dengan mantap. Aku dan Bimo hanya saling berpandangan geli. Aneh saja dengan tingkah Fajar. Tidak biasanya pria maskulin ini mengikuti lomba. Terlebih ini lomba senam yang aduhai. "Jar, latihan ya di tempat indekos aja. Bisa ketabrak mobil kalo gini caranya," tegur Bimo dengan senyum jumawa. Hanya menghela napas panjang karena Fajar abai terhadap peringatan dari Bimo. Sudahlah biarkan saja dia berkreasi. Sesampainya di tempat indekos ternyata Kak Irma sudah pulang dan sedang bersama dengan seorang guru PPL. "Na ... baru pulang?" sapanya ramah."Oh ... ya kenalkan ini Bu Marisa, teman Pak Reza yang akan indekos bareng kita. Seru 'kan bisa tanya-tanya Matematika gratis." Mbak Irma tampak bahagia sekali. Aku heran dengan pandangan sinis Bu Marisa. Apa salah obat atau memang wajahnya seperti itu. Sesekali mungkin harus ganti wajah. Namun, sulit jika wajah yang dia punya hanya itu. Jika berganti wajah mungkin malah banyak orang akan masuk IGD karena serangan jantung. Kaget! Aku melengos masuk ke kamarku tanpa berkenalan dengan guru PPL satu ini. Lagi pula belum jadwal guru pulang tapi sudah kabur. Bukan contoh guru yang baik! Bahaya jika siswa dan siswi mencontohnya. "Na ... buruan ganti bajunya!" Fajar berteriak dari ruang tempat menonton televisi. Aku dengan malas keluar masih menggunakan kaos dan celana olahraga yang tadi kugunakan. Duduk bertiga dan menikmati es sirup bersama camilan yang kubawa dari kamar. Fajar dan Bimo tampak bahagia melihat makanan. Entah berapa hari mereka tidak melihat makanan. "Harusnya Rini ikutan, pasti rame," kata Bimo pada kami berdua. Akhir-akhir ini kulihat Bimo sering mendekati Rini. Sayangnya teman sebangkuku tidak peduli. Mungkin, hatinya tertambat pada sosok salah satu guru PPL. Jika benar, maka Bimo harus siap patah hati. Kasihan! "Halah ... rame apaan? Dia sibuk tuh pedekate sama Pak Reza," aduku pada kedua orang tersebut. Bu Marisa tampak terkejut dengan apa yang kuucapkan. Beliau sampai mendekat dan memandang ke arah kami bertiga. Entah apa yang ada di benaknya. Kami bertiga mengabaikan kehadiran Bu Marisa. "Siapa yang pedekate sama Reza?!" tanyanya dengan suara membentak. "Ke dokter THT, Bu, kurang jelas apa ucapan saya tadi?" tanyaku balik."Lagian kok pengen tahu banget urusan kami bertiga," lanjutku dengan nada ketus. Ibu pemilik indekos ternyata memperhatikan interaksi kami dari awal. Beliau adalah orang yang menginginkan kedamaian di tempat indekos yang dimilikinya. Bu Marisa tidak bisa indekos di sini karena di khawatirkan akan selalu bertengkar denganku. "Aneh banget tuh guru satu, kenal juga enggak udah pake muka sinis aja," keluhku. "Kata Jenny dia ngajar di kelas tuh kacau." Bimo memberikan informasi detail." Kaya ga nguasain materi gitu. Kelas Jenny ramai dan ga paham sampai akhirnya digantikan sama Pak Bambang," lanjutnya. "Ya, gimana mau nguasain materi, orang dia sibuk pake muka sinis gitu," kelakarku. Kak Irma hanya diam mendengar ucapan kami bertiga. Ada raut kecewa di wajahnya. Namun, sudahlah, bukan aku yang memulainya. Bu Marisa saja yang terlalu sensitif. Aneh dengan sikap ya itu. Apakah beliau kekasih Pak Reza? Bahaya jika begitu, bagaimana nasib Rini? Fajar dan Bimo akhirnya pulang sebelum azan Magrib. Aku memutuskan untuk mandi dan tidur cepat. Besok ada pelajaran Bahasa Indonesia. Mata pelajaran yang membuatku sakit kepala. Hari ini ternyata aku terlambat lagi tapi beruntung tidak dipanggil Pak Agus. Mungkin takut mukanya tambah jelek jika berdebat denganku. Pelajaran Bahasa Indonesia belum dimulai. Teman-teman satu kelas masih berdoa sebelum memulai pelajaran. "Nirina terlambat lagi?" tanya Bu Rista selaku guru Bahasa Indonesia. "Hampir terlambat, tapi pelajaran belum mulai 'kan?" tanyaku. Bu Rista hanya menggeleng saja. Malas berdebat tidak ada faedahnya berdebat denganku. Beliau menuliskan sesuatu di papan tulis. Rupanya soal yang harus dikerjakan oleh penghuni kelas ini. Buatlah kalimat dengan menggunakan kata-kata berikut ini: 1. Terpaku 2. Sukses 3. Hampa 4. Hati 5. Pemberitahuan. Kerjakan dalam waktu tiga puluh menit! Begitulah soal yang beliau tulis. Semua siswa bergegas mengerjakannya. Biasanya ada nilainya untuk membantu nilai ulangan yang kadang jelek. Aku mengambil buku tugas dari dalam tas. Menuliskan jawaban dengan cepat. 1. Artis Suzanna meninggal karena terpaku di kepalanya. 2. Orang sukses itu mengerikan. Mereka tidak sadar jika sukses adalah suka sesama jenis. 3. Dia merasa hampa setelah dikeluarkan otaknya dari dalam kepalanya. 4. Hati sapi harus dijaga, agar tidak berpaling. 5. Pemberitahuan! Jawaban soal ini aneh sekali. Selesai sudah tugasku dalam waktu kurang dari tujuh menit. Bu Rista tampak takjub bercampur curiga. Beliau mendekatiku untuk mengecek pekerjaanku. Santai saja ketika beliau mendekat, paling juga diminta membaca di depan kelas. "Nirina, kamu sehat?" tanya Bu Rista. "Sehat kok," jawabku sambil memegang dahi untuk memastikan jika tidak demam. Sedikit heran dengan pertanyaan beliau. Tidak biasanya peduli denganku, baru kali ini menanyakan perihal kesehatanku. Rasanya seperti mendapat durian runtuh. Diperhatikan oleh guru Bahasa Indonesia baru kali ini terjadi. "Kamu sadar dengan jawaban soal kamu?" tanya beliau lagi. "Bu, kadang saya suka heran. Ya jelas saya sadar! Kalo pingsan ya ga bisa nulis jawaban. Ini yang ga sehat saya atau Bu Rista?" tanyaku dengan nada sedikit kesal. Bu Rista hanya menghela napas panjang. Hal yang membuatku heran adalah pertanyaan dari beliau. Aku sehat dan baik-baik saja. Ah ... mungkin beliau yang sedang tidak sehat. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD