Part 11

1102 Words
Suasana kelas hening, teman-teman sibuk mengerjakan tugas dari Bu Rista. Hanya aku saja yang sudah selesai. Teringat PR mata pelajaran Muatan Lokal yang jadwalnya nanti siang dan belum mengerjakan sama sekali. Guru pengampunya adalah sosok yang sangat membingungkan, semua harus sama persis dengan catatan yang pernah diberikan saat mengajar. "Rin, pinjem PR Muatan Lokal dong," pintaku pada Rini sambil berbisik."Aku belum ngerjain, ga punya catatan, bahkan bukuku dari awal pelajaran mulai masih bersih dan suci tanpa coretan sedikit pun," lanjutku. "Masih nanti jam terakhir, santai aja," balas Rini sambil menulis jawaban soal dari Bu Rista. Tanpa menoleh sedikit pun, mungkin saja Rini sedang sakit leher karena salah bantal. "Ntar ga bisa istirahat lama kalo ngerjain jam istirahat. Mending sekarang," rayuku pada Rini membuatnya menoleh ke arahku. "Tapi nanti kalo istirahat makannya yang bareng Pak Reza, ya." Rini mengucapkan dengan penuh semangat walaupun berbisik. "Nana, Rini! Kalo sudah selesai itu dikoreksi. Jangan ribut sendiri!" tegur Bu Rista dengan nada marah. Baru kali ini beliau marah, mungkin saja sedang masanya ingin marah. Aku dan Rini hanya berpandangan, lalu setelahnya sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Buku tugas Muatan Lokal milik teman sebangkuku ternyata ada di dalam laci. Aku diam-diam menyalin PR milik gadis cantik bermata sipit dan berhidung bangir. Tidak sadar jika ternyata Bu Rista sudah berada di belakangku. Tepat saat mengerjakan nomor terakhir, beliau mengambil paksa buku milik Rini. Aku terkejut mendapati hal ini. Bingung dan kaget itu ternyata membuat otak tidak bisa berpikir jernih. Mukaku pasti sudah pias karena kaget, dan Rini juga sama halnya. Kita berdua akhirnya diminta ke ruang BK. Bagi Rini ini adalah musibah, tapi sebaliknya buatku adalah anugrah luar biasa. "Makanya kalo ku bilang ngerjain pas istirahat tuh dengerin Nirin!" Rini marah besar kali ini. Bagi gadis bermata belok masuk ruangan BK adalah pantangan. Berbeda denganku, masuk ruang BK itu kegemaran yang menyenangkan. Rini cemberut sepanjang perjalanan menuju ruangan BK. Ruangan BK adalah tempat paling menakutkan baginya. "Rin, aku yakin Pak Agus bahagia kedatangan kita berdua," kataku menghiburnya agar tidak lagi cemberut."Belum lagi ruangan guru PPL dekat sama Pak Agus, mana tahu ya ada Pak Reza,"lanjutku. Berhasil! Rini tersenyum bahagia, lupa dengan pantangannya yaitu masuk ruang BK. Aku lega setidaknya dia tidak lagi cemberut. Bahaya! Jika ada PR tidak akan boleh menyalinnya. "Kata siapa ruangan guru PPL dekat sama ruang BK?" tanya Rini antusias dengan mata berbinar. "Lah, kataku, ya. 'Kan aku hampir setiap saat dipanggil Pak Agus." Aku menjawab dengan nada meyakinkan. Sepanjang jalan banyak orang yang melihat dengan tatapan beragam, ada yang heran, mencibir, menghina, dan masih banyak lagi tatapan aneh lainnya. Aku tidak peduli, lagi pula bukan urusan mereka. Rini mengetuk pintu ruangan Pak Agus. Lama dibukakan pintunya, mungkin saja sakit encoknya sedang kambuh mendadak. Beliau memang kadang suka aneh, belum manula tapi sudah encok. Apa mungkin mempunyai pekerjaan sampingan sebagai kuli bangunan? Rasanya tidak mungkin. "Kamu kenapa mengajak Rini?" tanya Pak Agus setelah lima belas menunggu dan baru dibukakan pintu ruangan beliau. "Woh, jangan salah paham, Pak, Rini yang mau ikut ke sini," jawabku sesuka hati membuat kedua orang di dekatku melongo. "Pak, bukannya kata Bu Rista saya juga harus ke sini, karena memberikan contekan pada Nana pada jam pelajaran beliau?" tanya Rini dengan polos. Anak ini, kalau saja bukan teman baik sudah aku tendang ke Pluto. Terlalu jujur dan polos, menjelaskan mengapa harus ke ruang BK. Jika begini, pasti hukuman siap menanti. Biasanya hukuman mencontek PR saat pelajaran itu berat. "Kamu kembali ke kelas saja," kata Pak Agus entah pada siapa. Dengan rasa percaya diri yang tinggi, aku segera melangkahkan kaki keluar dari ruangan BK. Sebenarnya hal ini langka dan tidak pernah terjadi sepanjang aku kelas dua ini. Aneh tapi nyata, tidak mendapatkan hukuman. Sayangnya itu hanya salah paham dan pemahamanku yang salah. "Nirina! Bukan kamu yang kembali ke kelas tapi Rini!" bentak Pak Agus dengan nada tinggi. Aku menyodorkan segelas air teh milik beliau, takutnya setelah membentakku justru beliau tiba-tiba radang tenggorokan. Pak Agus menerimanya dengan menyerobot gelas dari tanganku. Bersyukur, akhirnya air teh tersebut tumpah. Baju Pak Agus basah dan berwarna kuning. "Kamu itu! Hukuman kali ini menghitung kendaraan yang lewat depan sekolah! perintahnya dengan nada sangat marah."Saya akan mengawasi, kamu kadang suka kabur jika tidak diawasi saat dihukum!" lanjutnya sambil mengelap bajunya yang basah. Rini akhirnya kembali ke kelas, aku dan Pak Agus ke depan sekolah. Beliau memintaku berdiri di depan gerbang sekolah. Agar jelas melihat kendaraan yang lewat. Memangnya aku rabun, dari depan pos satpam saja sudah tampak mobil, motor, becak, angkutan umum, dan lain sebagainya yang lewat. Tujuannya satu, agar aku kepanasan! "Lho,Pak, bajunya kenapa?" tanya Irwan teman sekelas Arsa yang kebetulan lewat. Entah darimana makhluk aneh biang gosip satu ini. "Itu habis bersihin jamban, jadi muncrat kuning di baju," jawabku pada Irwan membuat Pak Agus melotot. Pak Satpam dan Irwan terbahak sangat keras. Jatuh sudah nama baik guru BK ajaib ini. Bahagia bisa membalas perbuatan Pak Agus. Pasti sebentar lagi heboh, jangan meremehkan Irwan, biang gosip yang handal. "Hukuman saya tambah Nirina!" bentak Pak Agus padaku yang sedang marah karena aku meledeknya. "Tambah aja, Pak, toh udah biasa," jawabku santai."Eh tapi ini termasuk dalam kekejaman loh, menghilangkan hak siswa untuk belajar di kelas,"lanjutku. Mata Pak Agus berkedip, salah satu ciri khas saat beliau memikirkan jawaban. Namun, bisa jadi sedang kelilipan batu kerikil makanya berkedip. Biarlah, sesuka hati beliau jika ingin seharian ini berkedip. Pasti besok akan bergelar raja kunang-kunang. "Bapak udahan dong kedip-kedipnya, atau mau jadi raja kunang-kunang?" tanyaku pada Pak Agus yang membuatnya tambah murka. "Hukuman saya tambah, kamu bersihkan kamar mandi guru sampe bersih!" bentaknya membuat wajah beliau merah padam karena marah. Sangat membingungkan, hukuman menghitung kendaraan saja belum selesai sudah bertambah. Semoga saja beliau sadar bahwa ini pelanggaran. Rasanya hukuman ini baru ada, menghitung kendaraan yang lewat. Tidak jelas tujuannya apa, dan faedahnya apa. Sangat tidak bermanfaat bagi kesehatan jiwa. Irwan dan Pak Satpam yang wajahnya menjengkelkan masih menyimak pertengkaran ini. Mereka terbahak, tidak prihatin dengan apa yang menimpa Pak Agus. Aku setuju dengan ketidakprihatinan mereka berdua. Memang harus begini jika mendapat hukuman harus membuat guru tambah pusing. "Pak, ini dalam berapa lama saya hitung kendaraan yang lewat?" tanyaku."Udah hampir setengah jam, kendaraan yang lewat hampir lima puluh buah." Aku mengatakan dengan asal. "Udah lima puluhan?" tanya Pak Agus terlihat antusias dan aneh." Berarti kalo selama dua setenga jam kurang lebih dua ratus kendaraan yang lewat. Oke baiklah kamu sudah boleh kembali ke kelas!" perintahnya dengan nada sedikit aneh. Aku kembali ke kelas dengan banyak pikiran. Bukankah tadi diminta membersihkan kamar mandi guru? Sudahlah, mungkin saja beliau yang akan membersihkannya sendiri. Membantu petugas kebersihan. "Nirina dari mana?" sapa seseorang yang paling malas kutemui saat ini. Bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD